• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim…. …

    Faktor-faktor Pendorong Mengingat Kematian dan Zuhud Terhadap Dunia

    Kematian bagi setiap manusia adalah sebuah kepastian yang tak mungkin dihindarkan. Berapapun panjangnya usia seseorang, bila saatnya tiba, malaikat maut pasti akan datang kepadanya di saat ajalnya sudah sampai. Namun, tetap saja sebagian manusia lupa terhadap sesuatu yang pasti seperti kematian ini, buktinya tidak ada persiapan untuk menghadapinya dan terus berlomba mengejar fatamorgana kenikmatan dunia yang tidak pernah berakhir. Mengingat mati adalah suatu kemestian bagi setiap muslim agar lebih giat beribadah dan tidak terbuai dengan segala kehidupan dunia dari dua sisinya, senang dan sedih, kaya dan miskin, bahagia dan derita. Selalu sabar dalam menghadapai berbagai cobaan hidup dan tidak terbuai dengan segala kenikmatan dunia, karena ia selalu ingat bahwa semua itu pasti akan ditinggalkannya bila saat tiba.

    Berikut ini adalah beberapa hal yang mengingatkan terhadap mati dan mendorong bersifat zuhud dalam dunia.

    Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah RA , ia berkata, ‘Nabi berziarah ke kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat menangis orang-orang yang ada di sekitarnya, maka beliau bersabda:
    اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي فَزُوْرُوْا اْلقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ

    “Aku meminta ijin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuknya, maka aku tidak diijinkan. Dan aku meminta ijin untuk ziarah ke kuburnya, maka Dia mengijinkan, maka ziarahlah ke kuburan, sesungguhnya ia mengingatkan mati.”

    Dari Abdullah bin Mas’ud RA , ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
    كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ
    “Dahulu aku melarangmu ziarah kubur, maka sekarang ziarahlah, sesungguhnya ia membuat zuhud terhadap dunia dan mengingatkan akhirat.”

    Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa salah satu pendorong agar selalu ingat terhadap kematian adalah melakukan ziarah kubur, karena hal itu sangat membantu bagi setiap orang agar selalu ingat terhadap mati dan tidak mungkin lagi kembali lagi ke dunia yang fana ini.

    Ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunnah menurut kesepakatan para ulama dan diperselisihkan bagi wanita, dan pendapat yang shahih adalah haramnya ziarah bagi perempuan, karena kutukan bagi wanita yang ziarah kubur yang dijelaskan oleh Nabi SAW. Wallahu A’lam.

    Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA , bahwa dia pergi ke kuburan, tatkala sudah sampai ia berkata, ‘Wahai para penghuni kubur, ceritakanlah kepada kami tentang kamu atau kami menceritakan kepadamu. Adapun berita orang yang sebelum kami: maka harta (yang dulu kamu kumpulkan) telah dibagi, wanita-wanita (yang dulu menjadi istrimu) telah menikah, dan tempat tinggal telah dihuni oleh kaum selain kamu.’ Kemudian ia berkata, ‘Demi Allah, jika mereka sanggup niscaya mereka berkata, ‘Kami tidak melihat bekal yang lebih baik dari pada taqwa.”

    Sungguh indah ungkapan Abul ‘Atahiyah dalam sebuah sya’ir:
    Sungguh mengherankan bagi manusia jika mereka berfikir - menghisab diri mereka sendiri lagi melihat

    Mereka melewati dunia menuju negeri yang lain – sesungguhnya dunia bagi mereka hanyalah tempat menyeberang

    Tidak ada kebanggaan kecuali kebanggan orang yang taqwa – besok apabila padang mahsyar mengumpulkan mereka

    Sungguh agar manusia mengetahui bahwa taqwa - dan kebaikan adalah sebaik-baik simpanan
    Aku merasa heran terhadap manusia dalam kebanggaannya – sedang dia esok hari akan dimakamkan di dalam kuburnya

    Apakah perkara orang yang asal mulanya adalah setetes mani – dan akhirnya menjadi bangkai (kenapa ia berani) berbuat fasik.

    Jadilah ia tidak memiliki apa-apa yang bisa diharapkan – dan tidak bisa menunda apa-apa yang ditakutkan. Dan jadilah perkara kepada selainnya – dalam setiap yang diputuskan dan ditentukan.

    Para ulama berkata: tidak ada yang paling berguna untuk hati selain ziarah kubur, terutama hati yang keras, maka orang yang memiliki hati yang keras harus mengobatinya dengan empat perkara, salah satunya adalah ziarah kubur ini :

    Pertama, menghentikan kebiasaan buruknya di masa lalu dengan cara menghadiri majelis-majelis ilmu, nasehat, dan zikir, mendengarkan ancaman dan anjuran, serta cerita orang-orang shalih. Sesungguhnya hal itu termasuk yang melembutkan hati.

    Kedua, ingat terhadap mati, maka ia memperbanyak ingat terhadap yang menghancurkan kenikmatan, meninggalkan jamaah, dan membuat anak-anak menjadi yatim piatu. Diriwayatkan bahwa seorang perempuan datang kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengadukan hatinya yang keras. Maka ia berkata, ‘Perbanyaklah ingat mati, niscaya hatimu menjadi lembut.’ Lalu ia melakukan dan hatinya menjadi lembut. Maka ia datang kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Para ulama berkata: ingat terhadap mati menghentikan berbuat maksiat, melembutkan hati yang keras, menghilangkan kesenangan dunia, dan memudahkan segala musibah dunia.

    Ketiga, menyaksikan orang yang menjelang kematian (saat sakaratul maut). Sesungguhnya memperhatikan mayat dan menyaksikan saat sakaratul mautnya, membayangkan rupanya setelah matinya adalah yang memutuskan kenikmatannya dari jiwa, mengusir kesenangannya dari hati, dan menghalangi kelopak mata untuk tidur, serta menghalangi badan untuk beristirahat, mengbangkitkan semangat beramal, dan menambah bersungguh-sungguh dalam ibadah.

    Diriwayatkan bahwa al-Hasan al-Bashri menengok orang sakit, ternyata dia sedang sakaratul maut, lalu ia memperhatikan kesusahannya dan beratnya yang dialaminya. Lalu ia pulang kepada keluarganya dengan raut muka yang berbeda saat ia keluar rumah meninggalkan mereka, maka mereka bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau ingin makan semoga Allah SWT memberi rahmat kepadamu.’ Ia menjawab, ‘Wahai keluargaku, ambilah makanan dan minumanmu, demi Allah, sesungguhnya aku telah melihat kematian, aku akan terus beribadah hingga bertemu dengan-Nya.’

    Inilah tiga resep yang sepantasnya bagi orang yang keras hatinya dan selalu berlumur dosa, agar meminta bantuan dengannya dan meminta tolong dengannya terhadap berbagai fitnah syetan dan penyesatannya. Jika hal itu bermanfaat maka itulah yang terbaik. Dan jika karat hati sudah terlalu besar dan pendorong berbuat dosa terlalu kuat, maka ziarah kubur adalah faktor penyembuh yang paling kuat, melebihi yang pertama, kedua, dan ketiga. Nabi SAW bersabda:

    لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
    “Kabar itu tidak seperti kenyataan.’

    Menyaksikan orang yang hampir meninggal dunia adalah saat-saat yang sangat menyentuh hati, namun mengambil pelajaran dengan orang yang sakaratul maut tidak bisa dilakukan setiap saat. Berbeda dengan ziarah kubur, adanya lebih cepat dan mengambil manfaat dengannya lebih pantas dan sangat pasti. Maka yang melakukan ziarah hendaknya disertai adab-adab dan menghadirkan hatinya dalam mendatanginya, jangan hanya berkeliling pemakaman tanpa makna, hal seperti itu tidak berbeda dengan binatang –kita berlindung kepada Allah SWT dari hal itu-. Tetapi hendaklah ia berniat karena menjunjung perintah Allah SWT dan bertujuan memperbaiki rusak hatinya, menghindari berjalan di atas kuburan dan duduk di atasnya bila memasuki pemakaman, melepas sendalnya, seperti disebutkan dalam beberapa hadits. Hendaklah ia juga memberi salam kepada para penghuni kubur dan berbicara kepada mereka seperti kepada orang yang masih hidup seraya membaca:

    السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ
    Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai negeri orang-orang yang beriman.
    Seperti itulah yang dibaca Rasulullah SAW. Dan apabila ia telah sampai ke kubur seseorang yang dikenal dan ingin diziarahinya, ia membaca: ‘Alaikas salaam. Sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam sunannya, sesungguhnya seorang laki-laki berkunjung kepada Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Alaikas salaam.’ Maka Nabi SAW bersabda, ‘Janganlah engkau mengatakan: ‘Alaikas salaam, karena ‘alaikas salaam itu adalah penghormatan kepada mayit.”

    Hendaklah orang yang ziarah menghadapkan wajahnya kepada mayit, seperti semasa hidupnya. Kemudian ia mengambil pelajaran dengan orang yang telah berada di bawah tanah, terputus dari keluarga dan orang-orang yang dicintai. Setelah sebelumnya ia memimpin tentara, bersaing dengan teman dan handai taulan, dan mengumpulkan harta dan simpangan. Lalu kematian datang menjemputnya di saat yang tidak diduganya. Peziarah hendaknya merenungkan keadaan teman-teman dan saudara-saudaranya yang telah mencapai cita-cita dan mengumpulkan harta. Bagaimana terputus cita-cita mereka dan harta sudah tidak berguna lagi. Tanah sudah menghapus keindahan wajah mereka dan sendi-sendi tubuh terpisah-pisah di dalam kubur.
    Wallahu A’lam.

    المرجع: التذكرة في أحوال الموتى وأمور الآخرة للإمام القرطبي ، دار الحديث - القاهرة تحقيق عصام الدين الصبابطي، ط 1 -1424هـ
    Dikutip dari kitab:

    - at-Tadzkiran fi ahwalil mauta wa umuril akhirah (Peringatan tentang keadaan orang-orang yang mati dan keadaan akhirat), bab: maa yudzakkirul maut wa lil akhirat, dan yuzahhidu fid dunya (Sesuatu yang mengingatkan mati dan akhirat, serta membuat zuhud terhadap dunia).

    http://www.islamhouse.com/p/180854


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim

    بسم الله الرحمن الرحيم

    AKHLAK MULIA : Abdul Malik Al-Qasim

    Segala puji bagi Allah yang menciptakan segala sesuatu, membaguskan penciptaan-Nya dan menyusunnya. Dialah yang mendidik nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan dengan sebaik-baik pembinaan. Wa ba’du :

    Sesungguhnya kemuliaan akhlak merupakan salah satu dari sifat-sifat para nabi, orang-orang shiddiq dan kalangan shalihin. Dengan sifat ini, berbagai derajat dapat dicapai dan kedudukan-kedudukannya ditinggikan. Sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala mengistimewakan nabi-Nya, Muhammad dengan ayat yang menghimpun baginya segala kemuliaan akhlak dan segenap kebaikan tata pekerti, maka Allah Jalla wa ‘Ala berfirman :
    وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ ﴿٤﴾ سورة القلم
    Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.68:04)

    Husnul khuluq (akhlak yang mulia) memunculkan rasa kasih sayang dan kelembutan. Sedang su’ul khuluq (akhlak yang buruk) membuahkan rasa saling benci, dengki dan memusuhi.

    Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menstimulasi agar berakhlak mulia (husnul khuluq) dan konsisten terhadapnya. Dimana beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghimpun secara bersama antara penyebutan at-taqwa (ketakwaan) dan penyebutan husnul khuluq (akhlak yang mulia) ini. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

    « أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ ، تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ »
    “Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, (adalah) takwa kepada Allah dan husnul khuluq (berperilaku baik). ” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim).

    Husnul khuluq itu adalah wajah yang berseri, memberikan kebajikan, menahan diri dari menyakiti manusia, beserta segala yang sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk bertutur kata yang baik dan menahan amarah serta sabar menanggung beban.

    Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dengan sebuah wasiat agung, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « عَلَيْكَ بِحُسْنِ الْخُلُقِ »

    “Wahai Abu Hurairah, seyogyanya anda untuk berperilaku baik (husnul khuluq).”
    Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Apakah husnul khuluq itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ، وَتَعْفُو عَمَّنْ ظَلَمَكَ، وَتُعْطِي مَنْ حَرَمَكَ »

    “Anda menyambung (tali persaudaraan kepada) orang yang memutuskan (hubungan dengan)mu, dan anda memaafkan (kesalahan atas) orang yang menzalimimu, dan anda memberi orang yang enggan memberi kepadamu.” (HR. Al-Baihaqi).

    Simaklah -wahai saudaraku yang mulia- sebuah pengaruh yang dahsyat dan ganjaran yang besar untuk pekerti yang mulia dan tabiat yang baik ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « إِنَّ الرَّجُلَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ الْخُلُقِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ »

    “Sesungguhnya seseorang dengan husnul khuluq akan memperoleh derajat ash-sha`im (ahli puasa) dan al-qa`im (ahli shalat malam).” (HR. Ahmad).

    Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menilai amalan husnul khuluq bagian dari (barometer) kesempurnaan iman. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا »
    “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

    Seyogyanya anda sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
    « أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ ، وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِي الْمُسْلِمِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي الْمَسْجِدِ شَهْرًا »
    “Manusia yang paling dicintai di sisi Allah adalah yang paling bermanfaat diantara mereka, dan amalan yang paling dicintai di sisi Allah (adalah) kebahagiaan yang anda masukkan ke (hati) seorang muslim, atau anda membebaskan kesusahannya, atau anda membayarkan hutangnya, atau anda menghilangkan rasa laparnya. Karena itu aku berjalan bersama saudaraku yang muslim dalam suatu keperluannya lebih aku sukai daripada aku beri’tikaf di masjid (yaitu: masjid Madinah, pent.) ini sebulan lamanya .” (HR. Thabrani).

    Seorang muslim diperintahkan untuk berkata halus dan lembut sehingga ucapannya tersebut menjadi amalan yang memberatkan timbangan kebajikannya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ »
    “Kata baik (yang terlontar terbilang) sedekah.” (Muttafaqun ‘Alaihi).

    Bahkan sebuah senyuman ringan yang tidak membebani seorang muslimpun dalam melakukannya, diberikan balasan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
    « تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ »
    “Senyummu terhadap saudaramu merupakan sebuah sedekah.” (HR. At-Tirmidzi).

    Pengarahan-pengarahan Nabi dalam menyemangati amalan husnul khuluq ini dan sikap menanggung derita beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang banyak dan populer, serta perjalanan hidupnya merupakan contoh hidup yang dapat dipetik dari sikap beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri terhadap dirinya, keluarga, tetangga, kalangan kaum muslimin yang lemah, orang-orang bodoh di antara mereka, bahkan terhadap orang kafir sekalipun. Allah Ta’ala berfirman :
    وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى ﴿٨﴾ سورة المآئدة
    Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS.68:04)

    Sesungguhnya ciri-ciri perangai yang baik (husnul khuluq) itu terhimpun dalam berbagai sifat yang banyak. Maka kenalilah ciri-ciri tersebut –wahai saudara muslimku- dan konsistenlah dengannya. Secara umum, yaitu :

    Seorang yang banyak malu, sedikit menyakiti, banyak kebaikannya, jujur lisannya, sedikit bicaranya, banyak kerja, sedikit kekhilafan dan sikap berlebih-lebihannya. Seorang yang berbakti, suka memberi, berwibawa, penyabar, bersyukur, ridha, santun, lembut, menjaga diri, belas kasih. Tidak suka melaknat dan mencemooh, menghasut, ngerumpi, serta tidak tergesa-gesa, tidak pula dengki, pelit, apalagi hasad. Seseorang yang berwajah ramah dan periang, mencintai dan menyukai sesuatu karena Allah, serta membenci sesuatu karena Allah pula.

    Pangkal dari segala akhlak yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah) adalah kesombongan, penghinaan dan peremehan. Sedangkan pangkal dari segala akhlak yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) adalah khusyu’ dan kemauan yang kuat. Maka berbangga-banggan, kufur nikmat, berpoya-poya, takjub terhadap diri sendiri, dengki, sewenang-wenang, angkuh, zhalim, kasar dan arogan, pamer, enggan menerima nasihat, mementingkan diri sendiri, minta diangkat, gila kedudukan dan jabatan, dan lain sebagainya. Itu semua bersumber dari al-kibr (kesombongan).

    Adapun dusta, khianat, riya, muslihat, tipu daya, kerakusan, pengecut, kebakhilan, kelemahan, kemalasan, menghinakan diri kepada selain Allah, dan sikap mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik, dan lain sebagainya. Maka semua itu bersumber dari penghinaan dan peremehan serta kerdilnya jiwa.

    Sekiranya anda mencari ketakwaan, anda akan mendapati
    seorang lelaki membenarkan ucapannya dengan perbuatannya.
    Sekiranya seorang bertakwa kepada Allah dan menaati-Nya
    maka kedua tangannya diantara kemulian dan ketinggian akan ketakwaan.
    Sekiranya ia mengakar dalam ketakwaan

    Ada dua mahkota, mahkota ketenangan dan kebesaran
    Sekiranya anda menyebutkan nasab hubungan keturunan, maka saya tidak melihat
    silsilah hubungan (yang seerat) seperti (diantara hubungan) amal-amal shaleh.

    Saudara muslimku :
    Sesungguhnya dia adalah momentum mulia dimana anda dapat memperoleh ganjaran berperilaku dengan sifat-sifat yang baik, dan mengarahkan diri anda untuk menggenggamnya, dan bekerja keras dalam hal tersebut. Jauhi dan tinggalkanlah sifat iri dan benci, kekejian lisan, ketidakadilan, dan ghibah, mengadu domba, kikir, memutuskan tali silaturahmi. Aku terheran terhadap orang yang membersihkan wajahnya 5 (lima) kali sehari dalam rangka menyembut seruan Allah, namun ia enggan membersihkan dirinya sekali saja dalam setahun untuk sekedar menghilangkan berbagai daki-daki dunia yang melekat, serta kepekatan hati dan kemungkaran akhlaknya !!

    Berantusiaslah terhadap upaya melatih diri dari menahan amarah, dan gembirakanlah orang-orang sekitar anda, diantaranya kedua orangtua, istri dan anak-anak, para sahabat dan relasi dengan interaksi yang baik, tutur kata yang manis, muka yang berseri, dan berharaplah akan pahala pada segala hal demikian itu.

    Dan seyogyanya anda –Saudara muslimku- sebagaimana yang diwasiatkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bahasa yang ringkas padat (al-jami’ah). Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
    « اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ »
    “Bertakwalah kepada Allah dimana pun anda berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan yang akan menghapusnya, dan perlakukanlah manusia dengan perlakuan yang baik.” (HR. At-Tirmidzi).

    Semoga Allah menjadikan kita dan segenap kalian termasuk orang-orang yang disabdakan oleh Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
    « إِنَّ أَقْرَبَكُمْ مِنِّى مَجْلِساً يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ خُلُقاً »
    “Sesungguhnya yang paling dekat kedudukan diantara kalian dariku pada hari Kiamat (adalah) yang paling baik akhlaknya diantara kalian.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

    Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu pengampunan, kesehatan, perlindungan selamanya. Ya Allah, baguskan akhlak-akhlak kami dan perindahilah perangai-perangai kami. Ya Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan rupa kami, maka baguskanlah akhlak kami dengan segala karunia-Mu. Ya Rabb kami, ampunilah kami, kedua orangtua kami dan seluruh kaum muslimin. Semoga shalawat senantiasa tercurah atas Nabi kami, Muhammad, dan kepada keluarga dan segenap sahabatnya.

    http://www.islamhouse.com/p/249573
    ====================


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim

    Penyusun: Ummu Rumman
    Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
    Saudariku, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

    “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling benci membenci, saling membelakangi, jangan menjual atas penjualan orang lain, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.

    Sesama Muslim itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya, merendahkannya, dan menghinanya. Taqwa itu ada di sini (sambil menunjuk dadanya, beliau mengucapkannya tiga kali).

    Seseorang cukup dianggap jahat apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram mengganggu darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

    Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mengatakan “Laa tahaasaduu…” atau janganlah kalian dengki antara satu dengan yang lain. Dengki adalah tidak senang kepada orang lain yang diberi nikmat oleh Allah. Misalnya, engkau tidak senang ketika Allah memberi nikmat kepada seseorang, baik yang berupa harta, keturunan, istri, ilmu, ibadah, maupun yang lainnya, baik kamu berharap agar nikmat itu hilang darinya maupun tidak. (Lihat Syarah Riyadush Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin)

    Mungkin engkau akan mengatakan betapa sulitnya untuk tidak hasad. Bukankah setiap orang itu memiliki harapan, maka wajar dan manusiawi jika kemudian ia merasa iri karena nikmat yang ia harapkan justru didapat oleh orang lain. Dan siapa pula yang bisa terbebas dari rasa hasad?

    Saudariku, benarlah apa yang kau katakan. Membebaskan hati dari hasad adalah perkara yang sangat berat. Tidak akan terbebas darinya kecuali mereka yang dijaga Allah. Maka sungguh tepat apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Jasad tidak pernah kosong dari hasad, yang buruk adalah yang menampakkannya dan yang mulia adalah yang menyembunyikannya.”

    Allah memerintahkan kita di Al Qur’an surah Al Falaq ayat 5 agar kita berlindung kepada Allah dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Allah menyebutkan pendengki ini akan berpengaruh kedengkiannya tatkala ia dengki saja. Karena terkadang seseorang yang memiliki rasa dengki, tapi kemudian ia mendiamkannya, maka rasa dengkinya itu tidak akan menimbulkan pengaruh jahat.

    Maka, apa yang harus kita lakukan ketika hasad menyerang ???

    1. Mendiamkan dan menyembunyikannya.

    Janganlah sekali-kali engkau tampakkan rasa hasadmu, baik kepada orang yang engkau dengki maupun pada orang lain. Cegahlah agar jangan sampai hasadmu terwujud menjadi usaha untuk menghilangkan nikmat dari orang yang engkau dengki. Baik hanya sekedar menghilangkan atau agar nikmat itu berpindah pada dirimu. Ketahuilah, ini adalah sejelek-jelek hasad!

    2. Berdoa memohon kepada Allah agar hasad itu dihilangkan dari hati kita.

    Bagaimanapun rasa hasad tidak boleh dibiarkan tetap ada. Karena bisa jadi ketika iman kita sedang lemah, maka setan akan berupaya agar kita berbuat jahat disebabkan rasa hasad tersebut.

    “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Hasyr: 10)

    3. Berusaha ridho dengan takdir Allah.

    Orang yang hasad berarti ia menentang takdir dan ketetapan Allah. Setiap manusia yang lahir ke dunia, telah Allah tetapkan rezekinya. Dan sesungguhnya Allah membagi rezekidan nikmat-Nya dengan ilmu-Nya. Dengan hikmah-Nya Allah Memberi kepada siapa saja yang Dia hendaki, dan dengan keadilan-Nya Dia tidak memberi kepada siapa saja yang Dia hendaki. Dia berbuat sekehendak-Nya, namun tidaklah sekali-kali Dia mendzalimi hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,

    “Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al Furqon: 2)

    Saudariku, pupuklah rasa qona’ah dan syukur dalam dirimu. Janganlah engkau resah dengan sesuatu yang memang bukan untukmu. Apa yang diberikan Allah untukmu, itulah yang terbaik untukmu. Apa yang tidak diberikan Allah, bisa jadi memang bukan hal yang kita butuhkan, bahkan bisa menimbulkan kemudharatan bagi kita. Kita memohon kepada Allah hati, lisan dan badan yang senantiasa bersyukur atas nikmat-Nya. Kita memohon pula agar Allah menjadikan hati kita ridha dengan takdir-Nya.

    4. Berbuat baik kepada orang yang kita dengki
    Tersenyumlah! Pasanglah wajah yang cerah, ucapkan salam dan ucapkanlah perkataan yang baik padanya! Saudariku, berbuat baik kepada orang yang kita dengki memang perkara yang sulit, tetapi insya Allah ini adalah salah satu obat mujarab untuk mengobati penyakit hasad di hatimu.

    Semakin engkau merasa penyakit hasadmu bertambah parah, maka berusahalah untuk semakin bersikap baik padanya. Awalnya memang terasa sulit dan harus dipaksakan. Tapi begitulah, meski pahit tetapi ia menyembuhkan. Bahkan bila engkau mau, berilah ia hadiah. Karena hadiah bisa lebih mendekatkan hubungan. Jika engkau tidak mampu, maka ada hadiah lain yang tak kalah istimewa. Doakanlah kebaikan baginya. Dan semoga engkau pun akan mendapatkan kebaikan sebagaimana kebaikan yang engkau inginkan bagi dirinya.

    Tanamkan dalam hati kewajiban menginginkan untuk saudaramu sesama muslim yang kita inginkan untuk diri kita sendiri, sehingga seharusnya ia turut bahagia ketika melihat saudaranya mendapatkan nikmat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (Muttafaqun Alaihi)

    Ibnu Rajab berkata, “Dan yang demikian itu termasuk tingkatan iman yang tertinggi, dan pelakunya adalah orang yang sempurna imannya, yang mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya.”

    5. Jadikanlah surga dan ridha Allah sebagai cita-cita tertinggimu.

    Salah satu sebab hasad adalah karena kesempitan hati yang lebih memandang dunia. Karena itu, cara mengobatinya adalah berusaha zuhud dengan dunia dan membawa diri ke alam akhirat. Ambillah dunia hanya sebatas kebutuhan serta hanya digunakan dalam rangka berbuat ketaatan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

    “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Thoha: 131)

    Ketika seorang muslimah telah menjadikan ridha Allah sebagai tujuan hidupnya, maka buat apa lagi ia hasad terhadap nikmat yang didapat orang lain. Karena pikiran, hati dan tubuhnya telah tersibukkan dengan upaya untuk mendapatkan ridha Allah, mendapatkan keselamatan di akhirat serta mendapatkan kenikmatan Surga. Surga, yang luasnya seluas langit dan bumi. Surga, yang di dalamnya tersimpan berbagai kenikmatan yang menyedapkan mata.

    Sesungguhnya memelihara hasad hanya akan merugikan diri kita sendiri. Ia hanyalah akan menjadi penambah beban hati. Maka, buanglah ia jauh-jauh dari hati. Hidup dengan hati yang qona’ah dan selalu bersyukur dengan nikmat Allah … Inilah yang lebih indah dan menentramkan.

    Saudariku, setiap dari kita sangat menginginkan surga. Maka, jadikanlah usahamu untuk membebaskan diri dari hasad adalah salah satu usaha untuk menggapainya. Sebagaimana seorang sahabat yang disebut-sebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penghuni surga. Ternyata, kedudukan mulia itu didapatnya karena kebersihan hatinya dari hasad terhadap nikmat orang lain. Wallahu Ta’ala a’lam.

    Maraji’:
    MP3 Kajian “Bala Hasad” oleh ustadz Armen Halim Naro
    Syarah Riyadhush Shalihin (edisi Terjemah), Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, penerbit Darul Falah
    Tafsir Surat al Falaq (Ust. Muhammad Aunus Shofy), Majalah Al Mawaddah edisi ke-7 tahun ke-1

    ***

    Artikel muslimah.or.id


    your comment
  • Assalaamu’alaykum Wa rahmatullahi wa barakaatuhu
    Bismillaahirrahmanirrahim…….

    Firqah Selamat “Memegang Manhaj”

    Renungan
    أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي اْلجَنَّةِ وَ هِيَ اْلجَمَاعَةُ

    “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab telah terpecah menjadi 72 millah (prinsip dasar agama), sedangkan ummat ini akan terpecah menjasi 73 millah, 72 di neraka dan satu di syurga, yaitu al-Jama’ah”

    (HR. Abu Dawud ath-Thayalisiy: 275, Ahmad dalam Musnadnya 4/102, Abu Dawud: 5/5, ad-Darimiy: 2/158, Ibnu Abi ‘ Ashim: 1/7, al-Mirwaziy: 19,20, al-Ajuriy dalam asy-Syari’ah:18, ath-Thabraniy dalam al-Kabir: 19/376, al-Akbariy dalam al-Ibanah:1/371, al-Hakim :1/217, al-Lalikaiy dalam Syarh I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah:1/101, al-Bayhaqiy dalam Dala’il an-Nubuwwah: 6/541,542 dan al-Ashbahaniy dalam al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah: 1/253. al-Hafidz al-‘Iraqiy dalam Takhrij al-Ihya berkata:

    “Sanad-sanadnya jayyid” dan Ibnu Hajar dalam Tarikh al-Kasysyaf: “Sanadnya hasan”.

    Di dalam riwayat lain satu kelompok yang akan masuk surga itu adalah:

    مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي

    “Sesuatu yang dilakoni olehku dan para shahabatku”

    (HR. at-Tirmidziy dalam as-Sunnah: 59, al-‘Uqayliy dalam ad-Du’afa: 2/262,Ibnu Baththah: 1/368, al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/218, al-Ajurriy dalam

    asy-Syari’ah: 15,16, al-Lalikaiy: 1/99 dan Ibnu al-Jawziy dalam Talbis Iblis: 7)

    Hadits Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam yang mulia ini me-ngajarkan kepada kita beberapa prinsip manhaj (metode) beragama sebagai berikut:

    Sudah menjadi sunnatullah bahwa furqah (perpecahan) pasti akan terjadi. Peristiwa akan terjadinya furqah telah difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam al-Qur`an dan disabdakan Rasul-Nya. Dan kini fakta itu dapat kita lihat dan kita saksikan di dalam kehidupan kaum muslimin. Maha Benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala firman-Nya dan begitu pula apa yang disabdakan Rasul-Nya Salallohu Alaihi Wasalam.

    كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

    “Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengu-tus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurun-kan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

    Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.

    Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebe-naran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” [QS. al-Baqa-rah (2): 213]

    وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

    “Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.

    Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (kepu-tusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” [QS. Hūd (11): 118-119]

    al-Iftirāq (perpecahan) berarti:

    “Keluar dari Sunnah dan Jama`ah dalam salah satu atau beberapa masalah ushuluddin (pokok-pokok agama), baik yang bersifat i`tiqad mau-pun amal perbuatan, atau yang berkaitan dengan masalah-masalah besar bagi ummat”

    Mengapa hal itu sampai terjadi….?

    Setidaknya ada 8 (delapan) hal yang me-nyebabkan terjadinya iftiraq

    1. Ketidak benaran dalam menentukan sumber pengambilan dalil.

    Islam mengajarkan bahwa sumber pengambilan dalil adalah al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Ijma` (kesepakatan ulama tentang masalah agama), khususnya ijma` as-salaf ash-shaleh.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” [QS. an-Nisā’ (4): 59]

    Akan tetapi, setelah Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam dan para shahabatnya wafat, tampak sekali di antara kaum muslimin ada sebagian ummat yang mengambil sumber agamanya bukan dari ketiga sumber tersebut.

    Di antara me-reka ada yang mengambil sumber dalil dari para filosof (padahal mereka adalah orang-orang kafir) seperti konsep JIL, ada yang melalui mimpi seorang syaikh, imam atau yang mereka sebut wali seperti mayo-ritas para penganut thariqat taSalallohu Alaihi Wasalamwuf, ada yang menjadikan akal sebagai standar kebenaran seperti kaum rasionalis, dan masih banyak lagi sumber lainnya.

    2. Kesalahan dalam memilih methode pemahaman dalil.

    Pemahaman al-Qur’an dan Hadits harus sesuai dengan pemahaman shahabat dan metode pemahaman mereka.

    Prinsip ini sangat kuat dan sangat penting dalam Islam. Kepentingan dan keutamaan-nya didukung oleh dalil yang kuat sekali. Di antara dalil-dalil yang mendukung prinsip ini adalah:

    a. Para shahabat telah dipuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala di banyak ayat suci al-Qur’an.

    Pujian yang diabadikan dan tidak diberikan kepada orang-orang sesudah mereka.

    مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

    “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud, demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat.

    Dan sifat-sifat mereka dalam Injil seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, dengan mereka Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. al-Fath (48): 29]

    Semua pujian ini menunjukan dengan nyata akan kebenaran manhaj para shahabat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mungkin memuji satu kaum dengan manhaj yang tidak diridhai-Nya.

    b. Para shahabat telah diakui sebagai ummat terbaik sepanjang sejarah dan telah diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

    “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah…” [QS. Āli Imrān (3): 110]

    Dengan sendirinya, ummat terbaik adalah ummat yang memiliki manhaj yang terbaik pula.

    c. Manhaj para shahabat telah dijadikan ukuran standar untuk mengukur keimanan setiap orang.

    Barangsiapa yang keimanannya cocok dengan keimanan shahabat, maka mereka telah mendapat hidayah, dan barangsiapa yang tidak demikian, atau bahkan malahan menolak manhaj shahabat, maka mereka adalah orang-orang yang sesat dan telah berbuat kesesatan.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ

    “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan” [QS. al-Baqarah (2): 137]

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengancam setiap orang yang tidak mengikuti jalan shahabat.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengkuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. an-Nisā’ (4): 115]

    3. Kejahilan, penyelewengan dan penyingkiran terhadap agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Kebodohan dan kezaliman merupakan dua sebab di antara berbagai sebab penyim-pangan.

    Ada furqah yang disebabkan kebodohan (ketidaktahuan) tentang manhaj (metode) bergama as-salaf ash-shaleh, ada yang bodoh tentang hakekat wahyu dan rasionalitas yang sehat, ada pula karena lemahnya ilmu dan sedikitnya kefaqihan dalam agama, ada yang disebabkan kebodohan tentang makna-makna nash dan sebab-sebab turunnya ayat serta ada pula yang bodoh terhadap maqashid syari`ah (tujuan syari`ah).

    4. Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir.

    Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam bersabda:

    لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقَذَّةِ بِالْقَذَّةِ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ

    “Sesungguhnya kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum, kalian sejengkal demi sejengkal, sampai-sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun, kalian pasti akan mengikutinya”

    Para shahabat bertanya:

    يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَ النَّصَارَى؟

    “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nashrani?”

    Maka beliau menjawab:

    (( فَمَنْ ))

    “Kalau bukan mereka, siapa lagi!” (HR. Ah-mad: 4/125 dan disebutkan oleh Ibn al-Atsīr dalam Jāmi` al-Ushūl: 10/34)

    Di antara penyimpangan-penyimpangan yang muncul adalah disebabkan sikap meniru orang-orang kafir, seperti:

    a. Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shalih.

    Seperti munculnya thariqat-thariqat, meng-anggap Nabi Khidir masih hidup, ziarah untuk meminta berkah ke kuburan orang-orang yang dianggap wali dan lain-lain.

    b. Menyelewengkan Kalamullah, baik lafazh maupun makna.

    Seperti melakukan pena`wilan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala oleh para penganut Asy `ariyyah, mengarahkan lafazh-lafazh yang dicela Allah kepada para shahabat Nabi Salallohu Alaihi Wasalam oleh orang-orang Syi`ah Rafidhah dan lain-lain.

    5. Mengikuti hawa nafsu, ghuluw (berlebih-lebihan) dan ta`ashshub (fanatik selain kepada kebenaran).

    Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

    “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus” [QS. al-Mā’idah (5): 77]

    Ghuluw dan fanatik terhadap madzhab, partai atau ras tertentu telah banyak menje-rumuskan sebagian kaum muslimin ke dalam perpecahan yang tiada henti.

    Saudara-saudaraku kaum muslimin…..

    Walaupun terjadinya furqah merupakan sunnatullah yang pasti terjadi, akan tetapi Ra-sulullah Salallohu Alaihi Wasalam memberikan solusi (jalan keluar) dari semua itu dengan jama`ah.

    Apakah Jama`ah itu?

    Dalam bahasa, Jama`ah berarti persatuan atau orang-orang yang bersatu. Sedangkan dalam istilah, arti Jama`ah sama dengan arti bahasanya dengan tambahan “di atas Sunnah”, hal ini berasal dari dua kalimat yang berbeda untuk satu makna yaitu “Jama’ah” dan “mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku”.

    Jadi kalimat kedua (dalam hadits kedua) menafsirkan arti Jama`ah (yang ada dalam hadits pertama), dengan demikian arti Jama’ah dalam istilah adalah “persatuan di atas sunnah” atau “orang orang yang bersatu di atas sunnah”.

    Demikianlah keadaan para shahabat da-lam kehidupan mereka. Oleh karena itu, pen-dapat yang mengatakan bahwa Jama`ah ber-arti “shahabat” adalah benar.

    Berdasarkan arti-arti tersebut di atas, maka penafsiran Imam al-Bukhariy dan para ulama lainnya, dari para ulama salaf dan para pengikut mereka, bahwa Jama`ah adalah “para ulama sunnah”, termasuk dalam penafsiran yang benar.

    Arti Jama`ah secara syari`i juga berarti “Jama`atul muslimin (Jama`ah Ahlussunnah) yang dipimpin oleh seorang imam”.

    Maka, berpegang teguhlah kepada jama-`ah sunniyyah, (manhaj atau metode) kese-lamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

    Jangan tertipu oleh berbagai tindak penyelewengan dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama`ah, walaupun dibawa dan diajarkan oleh orang yang dianggap sebagai manusia paling terhormat atau paling pintar sekali-pun, baik syaikh, kyai ataupun seorang yang mengaku intelek, cendekiawan atau pakar.

    Ingatlah, manhaj bukanlah figuritas!

    http://hasmi.org


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim
    Bagaimanakah kita Memanfaatkan Waktu?

    Segala puji hanya bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama yang tidak ada Nabi setelahnya, amma ba’du:

    Barang siapa yang mengikuti kabar tentang umat manusia dan memperhatikan keadaan mereka, dia akan mengetahui bagaimana mereka menghabiskan waktu, bagaimana mereka menghabiskan umur, sehingga dia akan mengetahui bahwa kebanyakan dari mereka menyia-nyiakan waktunya, mereka terhindar dari kenikmatan dapat memanfaatkan umur dan menggunakan waktu, oleh karena itu kita melihat mereka menafkahkan waktunya dan menghabiskan umurnya dengan apa-apa yang tidak mendatangkan manfaat baginya.

    Sesungguhnya seseorang ada yang merasa heran dari kesenangan mereka dengan berjalannya hari serta berbahagia dengan berlalunya ia, mereka lupa bahwa setiap menit bahkan setiap saat yang telah berlalu dari umurnya akan mendekatkan dirinya kepada kubur dan akherat, serta menjauhkannya dari dunia.

    Sesungguhnya kita senang akan hari yang dilalui ***
    setiap hari akan berlalu sebagian dari umur ini

    Apabila waktu adalah kehidupan dan dia adalah umur yang sebenarnya bagi manusia, dan bahwa penjagaannya merupakan pokok setiap kebaikan, penyia-nyiaannya merupakan pokok setiap kejelekan, maka ia mengharuskan suatu renungan yang menjelaskan tentang berharganya waktu dalam kehidupan seorang Muslim, apa yang diwajibkan bagi seorang Muslim terhadap waktunya, apa saja penyebab-penyebab yang dapat membantu untuk menjaga waktu, dan dengan apa seorang Muslim dapat memanfaatkan waktunya.

    Kita meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari dia yang dipanjangkan umur dan baik amalannya, serta mengaruniai kita dengan kebaikan dalam memanfaatkan waktu, karena Dia-lah sebaik-baik yang diminta.

    Keberhargaan waktu dan kepentingannya:

    Apabila manusia mengetahui keberhargaan sesuatu dan kepentingannya, niscaya dia akan menjaga dan menghindar dari menyia-nyiakan serta kehilangannya, dan ini merupakan suatu yang lazim. Oleh karena itu apabila seorang Muslim mengetahui akan keberhargaaan serta kepentingan waktunya, maka dia akan lebih berhati-hati dalam menjaga dan memanfaatkannya pada apa-apa yang mendekatkan dirinya kepada Allah,

    inilah Imam Ibnul Qoyyim yang menjelaskan akan hakekat ini dengan perkataannya:

    [waktu manusia adalah umur dia pada hakekatnya, ia adalah unsur kehidupan yang kekal dalam kenikmatan yang abadi, dan unsur kehidupannya yang sempit dalam adzab yang pedih, ia akan berlalu secepat berlalunya awan, barang siapa yang waktunya untuk Allah dan pada Allah, maka itulah kehidupan dan umurnya, dan yang selain itu tidak akan dihisab dari kehidupannya… apabila dia habiskan waktunya dalam kelalaian, kesia-siaan dan angan-angan yang batil, yang mana suatu terbaik yang dia habiskan adalah tidur dan kekosongan, maka kematian bagi orang ini akan lebih baik dari kehidupannya].
    Ibnul Jauzi berkata: [setiap manusia berkewajiban untuk mengetahui kemuliaan zaman dan keberhargaan waktunya, sehingga tidak ada yang hilang darinya sedikitpun selain dari taqarrub, dia akan mengedepankan padanya apa yang terbaik dari perkataan dan perbuatan, hendaklah niatnya tegak berada pada kebaikan tanpa henti dengan apa yang tidak melemahkan badan dari beramal].

    Al-Qur’an dan Sunnah sangat perhatian terhadap waktu dari berbagai sisi dan dengan gambaran yang bermacam-macam, Allah telah bersumpah dengannya pada awal beberapa surah dalam beberapa juz yang berbeda, seperti: demi malam, demi siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, demi masa, sebagaimana firman-Nya: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1) dan siang apabila terang benderang” [QS. Al-Lail: 1-2], “Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh” [QS. Al-Fajr: 1-2], “Demi waktu matahari sepenggalahan naik (1) dan demi malam” [QS. Adh-Dhuha: 1-2], “Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” [QS. Al-'Ashr: 1-2].

    Sudah diketahui bahwasanya apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka ia menunjukkan kepentingan dan keagungannya, dan juga untuk menarik perhatian kepadanya serta menyadari akan besarnya manfaat yang ada padanya.

    Sunnah datang untuk lebih menekankan tentang pentingnya waktu serta berharganya zaman, dan telah diulang-ulang bahwa manusia akan bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat. Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah bersabda:

    ” لا تزول قدم عبد يوم القيامة حتى يُسأل عن أربع خصال: عن عمره فيم أفناه, وعن شبابه فيم أبلاه, وعن ماله من أين اكتسبه وفيم أنفقه, وعن علمه ماذا عمل فيه ”

    “Tidak akan bergerak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya pada apa dia habiskan, tentang masa mudanya pada apa dia luangkan, tentang hartanya darimana dia dapatkan dan untuk apa dia pergunakan, dan tentang ilmunya apa yang dia amalkan padanya” [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani].

    Dan Nabi-pun mengabarkan bahwa waktu merupakan salah satu dari nikmat-nikmat Allah terhadap makhluk-Nya, seorang hamba diharuskan untuk mensyukuri nikmat yang dia dapat, dan jika tidak maka ia akan ditarik dan hilang darinya. Mensyukuri nikmat waktu dilakukan dengan menggunakannya pada keta’atan dan memanfaatkannya pada amal-amal saleh, bersabda Rasulullah :
    ” نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ ”

    “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu padanya: kesehatan dan waktu luang” [HR. Bukhori]

    Kewajiban seorang Muslim terhadap waktunya:

    Selama untuk waktu terdapat seluruh kepentingan-kepentingan ini, bahkan sampai dianggap kalau ia adalah kehidupan yang sebenarnya, maka bagi setiap Muslim terdapat kewajiban-kewajiban sekitar waktunya, dia harus meraihnya dan meletakkan dihadapan matanya, diantara kewajiban-kewajiban tersebut:

    • Menjaga untuk selalu mengambil manfaat dari waktu:

    Apabila manusia sangat perhatian sekali terhadap hartanya, sangat menjaga dan memanfaatkannya, dan dia mengetahui bahwa harta itu akan datang dan pergi, maka dia harus memperhatikan waktu dan memanfaatkan seluruhnya pada apa yang akan bermanfaat baginya dalam agama dan dunianya, karena apa yang akan kembali kepadanya dari kebaikan dan kebahagiaan akan lebih besar, terutama jika dia ketahui bahwa apa yang telah pergi darinya tidak akan kembali.

    Orang-orang saleh terdahulu selalu sangat perhatian sekali terhadap waktunya; karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui akan keberhargaannya, mereka menjaga dengan sebenarnya agar tidak melewati satu hari atau satu saat dari zaman walaupun sangat pendek, tanpa menambah padanya dengan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, melawan hawa nafsu atau memberikan manfaat terhadap orang lain, berkata Al-Hasan: saya telah mendapati beberapa orang yang terhadap waktunya lebih sangat menjaga daripada kalian terhadap uang dirham dan dinar yang kalian miliki.

    • Pengaturan waktu:

    Diantara kewajiban-kewajiban seorang Muslim terhadap waktunya adalah menyusunnya antara kewajiban-kewajiban dengan amalan-amalan yang berbeda, baik itu secara agama ataupun keduniawiaan, sehingga sebagiannya tidak mengalahkan sebagian yang lain, dan tidak pula yang tidak penting mengalahkan yang penting.

    Berkata salah seorang saleh: [waktu seorang hamba ada empat dan tidak ada yang kelima darinya: nikmat, cobaan, ta'at dan maksiat. Untuk Allah atas anda, pada setiap waktu darinya anda harus menyisihkan untuk ibadah yang dilakukan dengan hak sebagai hukum Rububiyyah: barang siapa yang waktunya pada keta'atan, maka jalannya adalah persaksian karunia dari Allah yang telah memberinya hidayah dan memberinya kemudahan ketika melaksanakannya, barang siapa yang waktunya pada kenikmatan maka jalannya adalah bersyukur, barang siapa yang waktunya pada kemaksiatan maka jalannya adalah bertaubat dan meminta ampunan, dan barang siapa yang waktunya pada cobaan maka jalannya adalah keridhoan dan kesabaran].

    • Memanfaatkan waktu luangnya:

    Waktu luang adalah kenikmatan yang dilalaikan oleh kebanyakan orang, sehingga kita melihat mereka dalam keadaan tidak menunaikan rasa syukurnya dan tidak pula menghargai dengan sebenarnya. Dari Ibnu Abbas: bahwa Nabi bersabda:

    ” نعمتان من نعم الله مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ ”

    “Dua nikmat diantara nikmat-nikmat Allah yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang” [HR. Bukhori]. Dan Nabi-pun telah menganjurkan untuk memanfaatkannya dalam sabda beliau: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara…”, beliau menyebutkan diantaranya: “waktu luangmu sebelum waktu sibukmu” [HR. Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani]

    Berkata salah seorang saleh: [Kosongnya waktu dari pekerjaan merupakan kenikmatan yang sangat besar, sehingga apabila seorang hamba mengkufuri nikmat ini dengan membuka dirinya kepada pintu hawa nafsu dan terjerumus dalam syahwat maka Allah akan balikkan kenikmatan hatinya, serta mengambil apa yang dia dapati dari kebersihan hati].

    Seorang yang berakal harus menyibukkan waktu luangnya dengan kebaikan, dan jika tidak maka nikmat luangnya akan berbalik menjadi malapetaka terhadap dirinya, oleh karena itu dikatakan: [waktu luang bagi laki-laki adalah kelalaian dan bagi wanita adalah ghulmah" atau penggerak syahwat.

    Beberapa penyebab yang membantu dalam menjaga waktu:

    • Muhasabah diri: ia termasuk perantara terpenting yang dapat membantu seorang Muslim untuk memanfaatkan waktunya dalam keta'atan kepada Allah. Ia adalah perbuatan orang-orang saleh dan jalannya mereka yang bertaqwa. Oleh karena itu hisablah diri anda wahai saudaraku yang Muslim dan tanyakanlah kepadanya apa yang telah ia lakukan pada hari yang telah dilaluinya? Pada apa ia nafkahkan waktunya? Dan pada apa saja anda habiskan jam-jam keseharian anda? Apakah bertambah padanya kebaikan ataukah bertambah padanya kejelekan?

    • Mendidik jiwa atas tingginya harapan: barang siapa yang membiasakan dirinya untuk selalu bergantung pada perkara-perkara yang tinggi dan menjauh dari kerendahannya, maka dia akan menjadi yang paling menjaga dalam memanfaatkan waktunya, barang siapa memiliki ketinggian harapan, maka dia tidak akan merasa puas dengan kekurangan, dan sesuai dengan ukurannya, harapan akan datang seperti apa yang diharapkannya:

    Apabila tidak tinggi harapan seseorang, akan dilempar ia ***
    dan merasa cukup dengan kerendahan dia yang rendah

    • Berteman dengan mereka yang menjaga waktunya: karena sesungguhnya berteman dan bergaul bersama mereka, serta berusaha mendekati dan mengikutinya akan dapat membantu anda dalam memanfaatkan waktu, juga menguatkan diri dalam memanfaatkan usia untuk keta'atan kepada Allah, semoga Allah merahmati dia yang berkata:

    Jika anda berada pada suatu kaum maka gaulilah yang terbaiknya ***
    janganlah berteman dengan yang rendah sehingga anda menjadi rendah
    Tentang seseorang janganlah ditanyakan tapi tanya siapa temannya ***
    karena setiap pendamping akan mencontoh pendampingnya

    • Mengetahui keadaan salaf bersama waktu: karena mengetahui keadaan mereka serta dengan membaca sejarahnya merupakan bantuan terbesar bagi seorang Muslim dalam memanfaatkan waktu, karena mereka adalah orang-orang terbaik yang memahami keberhargaan waktu dan kepentingan usia, mereka adalah contoh terbaik dalam memanfaatkan setiap menitnya dari umur dan memanfaatkan setiap nafasnya dalam keta'atan kepada Allah.

    • Meragamkan apa yang dipergunakan dari waktu: karena jiwa ini menurut tabiatnya adalah cepat bosan dan selalu menghindar dari segala sesuatu yang diulang-ulang. Peragaman pekerjaan akan membantu jiwa dalam memanfaatkan bagian yang sebesar mungkin dari waktu.

    • Memahami bahwa apa yang telah lalu dari waktu tidak akan kembali dan tidak pula bisa diganti: setiap hari yang telah dilampaui, setiap jam yang telah lewat dan setiap saat yang telah berlalu tidak mungkin untuk dapat dikembalikan, oleh karena itu tidak mungkin untuk dapat diganti, inilah arti dari perkataan Al-Hasan: [Tidak ada suatu haripun yang berlalu dari anak Adam kecuali ia akan berkata: wahai anak Adam, aku adalah hari baru dan akan menjadi saksi atas amalanmu, apabila telah pergi darimu aku tidak akan kembali lagi, maka hidangkanlah sesuai kehendakmu karena kamu akan mendapatkannya dihadapanmu, dan akhirkanlah sesuai kehendakmu karena ia tidak akan kembali kepadamu selamanya].

    • Mengingat kematian dan saat menjelang kematiaan: tatkala manusia meninggalkan dunia, menghadap akherat dan berharap jika seandainya dia diberi sedikit saja kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak dan meraih apa yang telah terlewat, akan tetapi betapa tidak mungkinnya hal tersebut, karena masa beramal telah habis dan telah tiba masa perhitungan dan pembalasan. Maka teringatnya seseorang akan ini menjadikannya perhatian terhadap pemanfaatan waktunya dalam keridhoan terhadap Allah Ta’ala.

    • Menjauh dari teman yang menyia-nyiakan waktu: sesungguhnya berteman dengan orang-orang malas serta bergaul bersama mereka yang suka membuang-buang waktu merupakan penyia-nyiaan terhadap kemampuan manusia dan waktu, sedangkan seseorang diukur dari teman dan pendampingnya, oleh karena itu berkata Abdullah bin Mas’ud: [Anggaplah seseorang itu dengan siapa dia berteman, karena seseorang akan berteman dengan yang semisalnya].

    • Mengingat akan pertanyaan tentang waktu pada hari kiamat: tatkala seseorang berdiri dihadapan Rabb-nya pada hari yang menakutkan tersebut, dia akan ditanya tentang waktu dan umurnya, bagaimana dia habiskan? Untuk apa dia pergunakan? Pada apa dia manfaatkan? Dan dengan apa dia penuhi? Bersabda Rasulullah :

    ” لن تزول قدما عبد حتى يسأل عن خمس: عن عمره فيم أفناه؟ وعن شبابه فيم أبلاه؟… ”

    “Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba hingga ditanya tentang lima perkara: tentang umurnya pada apa dia habiskan? Tentang masa mudanya pada apa dua luangkan?…” [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani]. Mengingat terhadap permasalahan seperti ini akan membantu seorang Muslim dalam menjaga waktunya, serta memanfaatkannya pada apa yang Allah ridhoi.

    Diantara keadaan-keadaan salaf bersama waktu:

    • Berkata Al-Hasan Al-Bashri: [Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya kamu ini hanya beberapa hari, apabila berlalu satu hari maka telah pergi sebagian darimu]. Dalam kesempatan lain berkata pula: [Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya siangmu merupakan tamu untukmu, oleh karena itu berbuat baiklah kepadanya, karena apabila kamu berbuat baik kepadanya, maka ia akan pergi dengan memujimu, sedangkan jika kamu berbuat buruk kepadanya, ia akan pergi sambil mencelamu, begitu pula dengan malammu].

    Pada saat lain dia berkata: [Dunia ini tiga hari: adapun kemarin, maka sesungguhnya ia telah pergi dengan apa yang ada padanya, adapun besok bisa jadi anda tidak akan mendapatkannya, sedangkan hari ini adalah untukmu, maka beramalah padanya].

    • Berkata Ibnu Mas’ud: [Tidak ada penyesalan bagiku yang melebihi penyesalanku atas suatu hari yang mataharinya telah terbenam, umurku telah berkurang, namun amalanku tidak bertambah padanya].

    • Berkata Ibnul Qoyyim: [Penyia-nyiaan terhadap waktu lebih berbahaya dari kematian, karena penyia-nyiaan waktu memutuskan hubungan antara anda dengan Allah dan akherat, sedangkan kematian memutuskan anda dari dunia dan penghuninya].

    • Berkata As-Surri bin Al-Muflis: [Jika anda bersedih dari apa yang berkurang dari hartamu maka menangislah atas apa yang berkurang dari usiamu].

    Dengan apa kita dapat memanfaatkan waktu?

    Sesungguhnya kesempatan-kesempatan untuk memanfaatkan waktu sangatlah banyak, bagi seorang Muslim hendaklah dia memilih darinya apa yang sesuai dan lebih pantas untuknya, diantaranya:

    • Menghafal Kitab Allah dan mempelajarinya: ini adalah kesibukkan terbaik yang dapat dimanfaatkan dari waktunya oleh seorang Muslim, dan Nabi telah memberi semangat untuk mempelajari Kitab Allah dalam sabdanya:
    ” خيركم من تعلم القرآن وعلّمه ” رواه البخاري
    “Yang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Bukhori]

    • Menuntut ilmu: pada zaman dahulu para salafus sholeh lebih banyak menjaga untuk memanfaatkan waktunya dalam menuntut ilmu dan mempelajarinya; karena mereka mengetahui bahwa mereka membutuhkannya melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Memanfaatkan waktu dalam menuntut ilmu serta mempelajarinya memiliki beberapa gambaran, diantaranya: menghadiri ceramah-ceramah penting, mendengarkan kaset-kaset bermanfaat, membaca serta membeli buku-buku yang menghasilkan faedah.

    • Berdzikir kepada Allah: tidak ada suatu amalanpun yang mencukupi segala waktu seperti dzikir, ia adalah kesempatan yang bermanfaat dan mudah, tidak membebani seorang Muslim baik dari segi harta maupun pengorbanan, dan telah berwasiat Nabi kepada salah seorang sahabatnya seraya bersabda: “Hendaklah lidah kamu selalu basah oleh dzikir kepada Allah” [HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]. Betapa indahnya jika hati seorang Muslim dimakmurkan oleh dzikir kepada Penciptanya, apabila berbicara maka dibarengi oleh dzikir kepada-Nya, dan jika bergerak karena perintah-Nya.

    • Memperbanyak amalan sunnah: ia merupakan kesempatan penting untuk memanfaatkan waktu dalam keta’atan kepada Allah, juga merupakan perbuatan penting dalam mendidik jiwa dan mensucikannya, yang mana ia merupakan kesempatan untuk menggantikan kekurangan yang terjadi pada saat melaksanakan ibadah yang fardhu, dan yang lebih besar dari semua itu adalah bahwa ia merupakan penyebab untuk mendapatkan kecintaan Allah “Terus-menerus hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya” [HR. Bukhori].

    • Berdakwah kepada Allah, Amar ma’ruf, Nahi munkar dan menasehati kaum Muslimin: semua ini adalah kesempatan-kesempatan berharga untuk memanfaatkan usia. Berdakwah kepada Allah termasuk kepentingan para Rasul dan risalah para Nabi, Allah Ta’ala telah berfirman:

    ” قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ”
    “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku” [QS. Yusuf: 108]. Jagalah wahai saudaraku untuk selalu memanfaatkan waktu anda untuk berdakwah, baik melalui ceramah, pembagian buku, kaset ataupun dengan mendakwahi keluarga, kerabat maupun tetangga.

    • Mengunjungi kerabat dan bersilaturrahmi: ia merupakan penyebab masuknya surga, medapatkannya rahmat serta menambah umur dan melapangkan rejeki, bersabda Rasulullah :
    ” من أحب أن يبسط له في رزقه, وينسأ له في أثره, فليصل رحمه ” ( رواه البخاري )
    “Barang siapa yang ingin dilapangkan rejekinya dan diakhirkan ajalnya, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahminya” [HR. Bukhori].

    • Memanfaatkan waktu kosong pada setiap harinya: seperti setelah shalat, antara adzan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, pada saat mendengar adzan dan setelah shalat subuh sampai terbit matahari. Setiap waktu tersebut memiliki ibadah-ibadah utama yang dianjurkan oleh syari’at untuk dilakukan padanya agar seorang hamba bisa mendapatkan ganjaran yang besar dan pahala yang agung.

    • Mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat: seperti computer, berbagai jenis bahasa, mekanik, listrik, perkayuan dan lain sebagainya, dengan tujuan agar dia yang beragama Islam mendapat manfaat dan begitu pula dengan saudara-saudaranya..

    Saudaraku Muslim, inilah beberapa kesempatan berharga, perantara yang banyak dan kesempatan beragam yang telah kami sebutkan untuk anda sebagai contohnya –sedangkan pintu kebaikan tidaklah terbatas- agar anda dapat memanfaatkan waktu padanya disamping kewajiban-kewajiban utama yang diharuskan atas anda.

    Rintangan yang membunuh waktu:

    Disana terdapat beberapa rintangan dan kendala cukup banyak yang menyebabkan seorang Muslim menyia-nyiakan waktunya, bahkan hampir sampai menghabiskan seluruh umurnya jika dia tidak memahaminya dan berlepas diri darinya, diantara rintangan dan kendala-kendala ini adalah:

    Kelalaian: ia merupakan penyakit berbahaya yang menjadi cobaan bagi kebanyakan kaum Muslimin, sampai mereka kehilangan perasaan yang memiliki perhatikan terhadap waktu, Al-Qur’an telah memperingati tentang kelalaian ini dengan peringatan yang keras, bahkan sampai menjadikan pelakunya sebagai kayu bakar neraka jahanam, Allah berfirman:

    ” وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ ”

    “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” [QS. Al-A'raaf: 179]

    Berandai-andai: ia merupakan rintangan yang menghancurkan waktu dan membunuh usia, namun sangat disayangkan, kata “seandainya” telah menjadi ciri khas bagi kebanyakan kaum Muslimin dan menjadi kebiasaan bagi mereka.

    Al-Hasan berkata: [Hati-hatilah anda dengan andai-andai, karena anda berada pada hari ini dan tidak sedang berada pada esok hari].

    Hati-hatilah anda wahai saudara Muslimku dari berandai-andai, karena anda tidak bisa menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari, dan jika anda dapat menjamin akan dapat hidup sampai esok hari, namun tidak dapat menjamin dari rintangan-rintangan yang seperti sakit mendadak, pekerjaan yang menghadang ataupun musibah yang datang. Ketahuilah bahwa setiap hari ada pekerjaan dan setiap waktu ada kewajiban-kewajibannya, tidak ada yang namanya waktu luang dalam kehidupan seorang Muslim, sebagaimana juga andai-andai dalam melaksanakan keta’atan akan menjadikan jiwa menjadi terbiasa untuk meninggalkannya, jadilah seperti yang dikatakan oleh seorang penya’ir”

    Berbekalah ketakwaan karena kamu tidak tahu ***
    apabila datang malam akankah hidup sampai subuh
    Berapa banyak dari yang sehat meninggal tanpa sebab ***
    dan berapa banyak dari yang sakit hidup lebih lama
    Berapa banyak dari pemuda yang sore dan paginya aman ***

    dan telah disulam kafannya sedang dia tidak ketahui
    Oleh karena itu bersegeralah wahai saudaraku dengan memanfaatkan waktu dalam usiamu untuk ta’at kepada Allah, dan berhati-hatilah dari berandai-andai dan bermalas-malasan, berapa banyak di kuburan yang terbunuh oleh angan-angan. Andai-andai adalah pedang yang memotong seseorang dari pemanfaatan nafasnya dalam menta’ati Rabb-nya, berhati-hatilah untuk menjadi orang terbunuh dan korbannya.

    Wasallallahu ‘ala Nabiyyihi Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

    http://www.islamhouse.com/p/207441


    your comment