-
- Kilauan Mutiara Bab 16-18
Written by atjenese in Kilauan Mutiara Hikmah Dari Perkataan Salaful Ummah on 24 August 2010 à 06:05Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim ....BAB 16 : Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan Keadaan Seseorang
--------------------------------------------------------------------------------
146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu membicarakan seseorang?”
Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham 1/127)
147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
[Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :Saya bertanya kepada Imam Malik dan Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’d --saya menduganya Al Auza’iy-- tentang seseorang yang tertuduh dalam periwayatan hadits atau tidak hafal. Mereka mengatakan :
“Terangkan keadaannya itu.”
Dan sebagian ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sesungguhnya berat bagiku mengatakan bahwa Fulan begitu, Fulan begini.”
Maka kata beliau : “Jika kamu dan saya diam dalam masalah ini maka kapan orang yang jahil itu tahu mana hadits yang shahih dan mana yang cacat?! Dan seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki berbagai pendapat dan ibadah yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan manusia dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin (Ahli Ilmu).”Sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Seseorang berpuasa, shalat, i’tikaf lebih Anda cintai ataukah jika ia menerangkan keadaan ahli bid’ah?”
Beliau berkata : “Jika ia puasa, shalat, dan i’tikaf maka itu untuk dirinya sendiri sedangkan apabila ia menerangkan keadaan ahli bid’ah maka ini adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan ini lebih utama maka menerangkan perkara ini agar berguna bagi kaum Muslimin dalam agama mereka termasuk salah satu jihad di jalan Allah sebab membersihkan jalan Allah dan agama, manhaj, dan syariat-Nya serta menghalau kejahatan ahli bid’ah dan permusuhan mereka adalah Fardlu Kifayah menurut kesepakatan kaum Muslimin.
Dan apabila tidak ada orang yang Allah bangkitkan untuk menolak bahaya ahli bid’ah ini benar-benar akan hancurlah agama ini. Dan kerusakannya jauh lebih besar daripada kerusakan akibat penjajahan musuh dari kalangan orang-orang yang kafir yang mesti diperangi. Sebab mereka ini jika berkuasa belum tentu mampu merusak hati manusia yang dijajahnya kecuali pada kesempatan berikutnya sedangkan ahli bid’ah ini jika mereka berkuasa akan merusak hati lebih dahulu.” ] (Majmu’ Fatawa 28/231 dan 232)
BAB 17 : Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat Teman Dekatnya
--------------------------------------------------------------------------------
148. Abu Qilabah berkata :
[ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang mengucapkan syair :
Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya
Karena setiap orang akan meniru temannya ]
Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.”
Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”
149. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)
150. Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)
151. Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)
152. Beliau melanjutkan :
“Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)
153. Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)
154. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda :
“Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)
155. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata :
“Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” (Al Ibanah 2/479- 480 nomor 511)
156. Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)
157. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)
158. Al Auza’iy berkata :
“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)
159. Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)
160. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata :
“Kemarilah --kepada-- temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)
161. Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)
162. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)
163. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
“Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”
164. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
“Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)
165. Ia --juga-- mengatakan :
“Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”
166. Ibnu Aun mengatakan :
“Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)
167. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab : “Qadary.”
Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah 2/453 nomor 421)
Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta apa- apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118) ]
168. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)
169. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah) --dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka-- kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)
170. Utbah Al Ghulam berkata :
“Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)
171. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)
172. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata :
“Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)
173. Ibnu Mas’ud berkata :
“Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”
174. Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
“Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)
175. Ahmad bin Hanbal berkata :
“Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)
176. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
“Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)
177. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
“Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)BAB 18 : Bukanlah Ghibah Menceritakan Keadaan Ahli Bid’ah Menurut Salafus Shalih
--------------------------------------------------------------------------------
178. Dari Al A’masy dari Ibrahim ia berkata :
“Bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/140 nomor 276)
179. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan kefasikan orang yang berbuat fasiq terang- terangan bukan perbuatan ghibah.” (Al Lalikai nomor 279-280)
180. Dan kata beliau selanjutnya :
“Bukanlah ghibah menceritakan kesalahan (aib) ahli bid’ah.” (Ibid nomor 279-280)
181. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah maka tidak ada kehormatan baginya.” (Al Lalikai nomor 282)
182. Dari Sufyan bin Uyainah berkata, Syu’bah pernah berkata :
“Kemarilah kita (berbuat) ghibah di jalan Allah Azza wa Jalla.” (Al Kifayah 91 dan Syarah Ilal At Tirmidzy 1/349)
183. Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwiy berkata, Syu’bah mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata :
“Ini bukanlah hari (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari ghibah, marilah melakukan ghibah tentang para pembohong itu.” (Al Kifayah 91)
184. Dari Makky bin Ibrahim ia berkata, Syu’bah mendatangi Imran bin Hudair dan berkata : “Hai Imran, marilah kita ghibah sesaat di jalan Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian mereka menyebut-nyebut kejelekan (kesalahan) para perawi hadits. (Al Kifayah 91)
185. Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, saya mendengar Abu Mushir (ketika) ditanya tentang seorang rawi yang keliru dan kacau serta menambah-nambah dalam meriwayatkan hadits, ia berkata : “Terangkan keadaan orang itu!”
Maka saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah itu tidak Anda anggap ghibah?”
Ia menjawab : “Tidak.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349 dan Al Kifayah 91 dan 92)
186. Ibnul Mubarak berkata : “Al Ma’la bin Hilal adalah rawi hanya saja jika datang satu hadits ia berdusta (berbuat dusta dengan hadits itu).”
Seorang Sufi berkata : “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah?”
Maka beliau menjawab : “Diamlah kau! Jika kami tidak menerangkan hal ini bagaimana mungkin dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil?” (Al Kifayah 91 dan 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)
187. Abdullah bin (Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Turab An Nakhsyabi datang kepada ayahku lalu beliau mulai berkata : “Si Fulan dlaif, si Fulan tsiqah.”
Berkatalah Abu Turab : “Wahai Syaikh, janganlah mengghibah ulama.”
Ayahku segera menoleh ke arahnya dan berkata : “Celakalah kamu! Ini adalah nasihat bukan ghibah.” (Al Kifayah 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)
188. Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjaniy berkata, saya mengatakan kepada Imam Ahmad bahwa sangat berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan dlaif, si Fulan pendusta.
Maka beliau berkata : “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang awam mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)
189. Dari Syaudzab (katanya) dari Katsir Abu Sahl ia berkata :
“Dikatakan bahwa ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai kehormatan.” (Al Lalikai 1/140 nomor 281)
190. Dari Al Hasan bin Aly Al Iskafy ia berkata, saya bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang pengertian ghibah, beliau menerangkan : “Ghibah itu ialah jika kamu tidak menolak aib seseorang.”
Saya bertanya lagi, bagaimana dengan seorang yang mengatakan : “Si Fulan tidak mendengar hadits dari seseorang dan si Fulan keliru?”
Beliau menjawab : “Seandainya hal ini ditinggalkan manusia maka tidak akan pernah diketahui shahih atau tidaknya suatu hadits.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)
191. Ismail Al Khathaby berkata, Abdullah bin (Imam) Ahmad menceritakan kepada kami bahwa ia berkata kepada ayahandanya :
“Apa yang Anda katakan mengenai para rawi yang mendatangi seorang syaikh yang barangkali ia seorang Murjiah atau Syi’iy atau dalam diri syaikh itu terdapat perkara yang menyelisihi As Sunnah apakah ada kelonggaran buat saya untuk diam dalam hal ini ataukah saya harus memperingatkan manusia agar berhati-hati dari syaikh ini?”
Ayahku menjawab : “Jika ia mengajak orang kepada bid’ah sedangkan dia adalah imam ahli bid’ah maka benar kamu harus memperingatkan manusia dari syaikh ini.” (Al Kifayah 93 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)
Tags: bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah menurut salafus shalih
-
Comments