• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ……

    Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Kode Etiknya

    Orang muslim beriman kepada kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar bagi semua orang Muslim yang mukallaf, mampu, mengetahui ma’ruf (kebaikan), melihat ma’ruf tersebut ditinggalkan manusia, atau mengetahui mungkar, melihat mungkar tersebut dikerjakan manusia, mampu memberikan perintah, dan mampu melakukan perubahan dengan tangannya, atau lisannya.

    Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban agama terbesar seteah kewajiban iman kepada Allah Ta’ala. Sebab, Allah Ta’ala menyebutkannya dalam Al-Qur’an bersanding dengan iman kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Kalian umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110).

    Orang muslim meyakini itu semua karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal.

    Dalil-Dalil Wahyu

    1. Perintah Allah Ta’ala kepada muslimin untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam firman-Nya, “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104).

    2. Penjelasan Allah Ta’ala tentang orang-orang yang berhak mendapatkan pertolongan-Nya dan kepemihakan-Nya, bahwa mereka adalah yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam firman-firman-Nya seperti berikut.

    * “(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” (Al-Hajj: 41).

    * “‘Dan laki-laki beriman dan wanita-wanita beriman sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (At-Taubah: 71)

    * Firman Allah Ta’ala tentang wali-Nya, Luqman, ketika menasihati anaknya, “Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17).

    * Firman Allah Ta’ala ketika mencela Bani Israel, “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)

    * Firman Allah Ta’ala tentang Bani Israel, bahwa Dia menyelamatkan orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, dan membinasakan orang-orang yang meninggalkannya. “Dan Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Al-A’raaf: 165).

    3. Perintah Rasulullah saw. untuk mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar dalam hadits-haditsnya, seperti dalam hadits-hadits berikut.

    * “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan tangannya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak bisa melakukannya dengan lisannya, hendaklah ia melakukan dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah.” (Diriwayatkan Muslim).

    * “Kalian harus menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, atau (kalau tidak) Allah akan mengirim hukuman kepada kalian, kemudian kalian berdoa kepada-Nya. Namun Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia meng-hasan-kannya).

    4. Penjelasan Rasulullah saw. tentang amar ma’ruf nahi mungkar dalam sabda- sabdanya, seperti dalam sabda- sabdanya berikut ini.

    * “Tidaklah satu kaum itu melakukan kemaksiatan-kemaksiatan dan di kalangan mereka terdapat orang yang mampu mencegahnya dari mereka namun ia tidak melakukannya, melainkan Allah meratakan siksa dari-Nya kepada mereka.” (Diriwayatkan At-Tarmidzi dan ia berkata bahwa hadits ini hasan shahih).

    Abu Tsa’labah Al-Khusyani r.a. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah Ta’ala, “Orang sesat tidak akan memberikan madzarat kepada kalian jika kalian telah mendapatkan petunjuk,” (Al-Maidah: 105) maka beliau bersabda,

    “Hai Abu Tsa’labah, jika engkau melihat kekikiran ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang mempunyai pendapat dan bangga dengan pendapatnya, maka jagalah dirimu, dan tidak usah menggubris orang-orang awam. Karena, di belakang kalian, berpegang teguh padanya ketika itu mendapatkan pahala lima puluh orang dari kalian.” Ditanyakan, “(Pahala lima puluh) orang dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Tidak, namun seperti pahala lima puluh orang dari kalian. Karena kalian mendapatkan penolong dalam kebaikan, sedang mereka tidak mendapatkan penolong dalam kebaikan.” (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kan nya).

    * “Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allah kepada salah satu umat sebelumku, melainkan ia mempunyai hawariyyun dari umatnya, orang-orang yang mengambil sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian sesudah mereka datanglah generasi-generasi yang berkata apa yang tidak mereka katakan, dan mengerjakan apa yang mereka tidak diperintahkan untuk mengerjakannya. Maka, barangsiapa berjihad melawan mereka dengan tangannya, ia orang Mukmin. Dan barang siapa berjihad melawan mereka dengan hatinya, ia orang Mukmin dan di hati orang tersebut tidak ada iman seberat biji pun.” (Diriwayatkan Muslim).

    * Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang jihad yang paling utama, beliau bersabda, “(yaitu) mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zhalim.” (Diriwayatkan Ibnu Majah, Ahmad, dan An-Nasai. Hadits ni shahih).

    Dalil-Dalil Akal

    1. Pengalaman empiris membuktikan, bahwa jika penyakit dibiarkan begitu saja dan tidak diobati, maka ia akan merayap ke dalam tubuh. Dan akan menjadi sulit diobati jika telah melekat di badan dan merayap di dalamnya. Kemungkaran juga begitu. Jika dibiarkan begitu saja dan tidak diubah, maka tidak lama kemudian kemungkaran tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dan dikerjakan semua orang, dewasa dan anak kecil.

    Jika itu telah terjadi, maka kemungkaran tersebut sulit diubah atau dihilangkan. Ketika itulah, para pelakunya berhak mendapatkan hukuman dari Allah Ta’ala. Hukuman tidak mungkin bisa dipungkiri apa pun alasannya, sebab, ia berjalan di atas ketetapan-ketetapan Allah Ta’ala yang tidak berganti dan tidak berubah. Allah Ta’ala berfirman,

    “Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Fathir: 43).

    2. Pengalaman empiris juga membuktikan, bahwa jika sebuah rumah tidak diurus, tidak dibersihkan, dan kotoran-kotorannya tidak dibuang hingga waktu tertentu, maka akhirnya akhirnya rumah tersebut tidak layak dihuni, baunya tidak sedap, hawanya beracun, dan kuman-kuman penyakit tersebar di dalamnya. Karena kotoran-kotoran menumpuk dan terkumpul di dalamnya dalam waktu yang lama. Begitu juga, jika kemungkaran di sebagian kaum Mukminin dibiarkan begitu saja, tidak diubah, dan kebaikan tidak diperintahkan kepada mereka, maka tidak lama berselang, mereka menjadi orang-orang yang beruhani buruk, orang-orang jahat, tidak menyuruh kepada kebaikan, dan tidak melarang dari kemungkaran. Jika itu telah terjadi, maka tidak layak hidup, kemudian Allah membinasakan mereka dengan sebab-sebab dan perantaraan-perantaraan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya kekuatan Tuhanmu itu dahsyat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Perkasa, dan Maha Pemberi Hukuman.

    3. Dari hasil pengamatan sehari-hari dapat diketahui, bahwa jika jiwa manusia terbiasa dengan keburukan, maka keburukan akan menjadi wataknya. Itulah kerja amar ma’ruf nahi mungkar. Jika kebaikan ditinggalkan dan tidak diperintahkan pada saat ditinggalkan, maka tidak lama kemudian, manusia terbiasa meninggalkannya, dan akhirnya mengerjakan kebaikan tersebut menjadi kemungkaran menurut mereka. Begitu juga kemungkaran jika tidak segera diubah, dan tidak cepat dihilangkan, maka beberapa saat kemudian, kemungkaran tersebut merebak, beredar luas, terbiasa dikerjakan, dianggap sebagai kewajaran, kemudian dianggap bukan kemungkaran oleh pelakunya, atau bahkan mereka menganggapnya sebagai kebaikan. Ini hati nurani yang rusak, penyimpangan pola pikir, - semoga Allah melindungi kita daripadanya - . Oleh karena itu, Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan mewajibkannya kepada kaum Muslimin untuk menjaga kesucian mereka, kebaikan mereka, dan kedudukan tinggi mereka di antara bangsa-bangsa.

    Kode Etik Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

    1. Orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mugnkar harus mengetahui hakikat sesuatu yang ia perintahkan, bahwa sesuatu tersebut adalah kebaikan dalam Syariat, dan bahwa kebaikan tersebut terbukti ditinggalkan dan tidak diamalkan. Ia juga harus mengetahui hakikat kemungkaran yang ia larang, dan ingin ia ubah, bahwa kemungkaran tersebut betul-betul telah dikerjakan, dan bahwa kemungkaran tersebut termasuk kemaksiatan, hal-hal yang diharamkan Syariat.

    2. Ia harus wara’ (menjauhkan diri dari maksiat, dan syubhat), tidak mengerjakan kemungkaran yang ia larang, dan tidak meninggalkan kebaikan yang ia perintahkan, karena Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat ? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (Ash-Shaff: 2-3).

    Dan karena Allah Ta’ala berfirman, “Kenapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kalian berpikir ?” (Al-Baqarah: 44).

    3. Ia harus berakhlak mulia, penyabar, menyuruh dengan lemah-lembut, melarang dengan ramah, tidak marah jika mendapatkan gangguan dari orang yang ia larang, tidak naik darah jika mendapatkan gangguan dari orang yang ia perintahkan kepada kebaikan, bersabar, dan memaafkan, karena firman Allah Ta’ala, “Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17).

    4. Ia tidak boleh mengetahui kemungkaran dengan memata-matai. Sebab, untuk mengetahui kemungkaran, ia tidak boleh memata-matai manusia di rumah-rumah mereka, atau membuka pakaian salah seorang dari mereka untuk melihat apa yang ada di balik pakaiannya, atau membuka tutup salah satu tempat untuk mengetahui apa yang ada di dalam tempat tersebut. Sebab lain, karena Allah Ta’ala memerintahkan kaum Muslimin menutup aurat manusia, dan melarang mengadakan spionase terhadap mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian memata-matai orang lain.” (Al-Hujurat: 12).

    Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian memata-matai orang lain.” (Diriwatkan Al-Bukhari).

    Rasullullah saw. bersabda, “Barang siapa menutup (aurat) seorang Muslim, maka Allah menutup (aurat)nya di dunia dan di akhirat.” (Diriwatkan Muslim).

    5. Sebelum ia memerintahkan kebaikan kepada seseorang, ia harus mengenalkan kebaikan tersebut kepadanya. Sebab, bisa jadi, ia meninggalkan kebaikan tersebut karena ia tidak tahu bahwa kebaikan tersebut adalah kebaikan. Ia harus menjelaskan kemungkaran kepada orang yang hendak ia larang, bahwa perbuatannya adalah kemungakaran. Sebab, bisa jadi, ia mengerjakan kemungkaran tersebut karena tidak tahu bahwa kemungkaran tersebut adalah kemungkaran yang harus ditinggalkan.

    6. Ia harus menyuruh dan melarang dengan cara yang baik. Jika seseorang tidak mengerjakan kebaikan yang ia perintahkan, atau tidak berhenti dari kemungkaran yang ia larang, ia harus menasihatinya dengan sesuatu yang bisa menggugah hatinya. Misalnya, dengan menyebutkan dalil-dalil tentang ajakan dan ancaman yang ada di dalam Syari’at. Jika ini tidak membuahkan hasil, ia pergunakan bahasa-bahasa yang tegas dan keras. Jika cara ini juga tidak ampuh, ia mengubah kemungkaran tersebut dengan tangannya. Jika ia tidak mampu melakukannya, ia meminta bantuan kepada pemerintah, atau teman-temannya.

    7. Jika ia tidak sanggup mengubah kemungkaran dengan tangannya dan lisannya, karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu pada dirinya, atau hartanya, atau kehormatannya, dan tidak sanggup bersabar terhadap apa yang diterimanya, maka ia cukup mengubah kemungkaran tersebut dengan hatinya, karena sabda Rasulullah saw., “Barangsiapa salah seorang dari kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup mengubahnya dengan tangannnya, hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Jika ia tidak sanggup mengubahnya dengan lisannya, hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman.”

    Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 85-91.

    http://hidayah-islam.blogspot.com/2008/05/beriman-kepada-kewajiban-amar-maruf.html


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ..

    Kajian Islam :
    Tiga Landasan Utama
    oleh : Syaikh Muhammad At-Tamimi

    MENGENAL ALLAH subhanahu wata’aala

    Kilauan Mutiara Hikmah Dari Perkataan Salaful Ummah

    Apabila anda ditanya; Siapakah Tuhanmu? Maka katakanlah: Tuhanku adalah Allah yang telah memelihara diriku dan memelihara semesta alam ini dengan segala ni’mat yang dikaruniakan-Nya. Dan Dialah Sembahanku, tiada bagiku sesembahan yang haq selain Dia. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Segala puji hanya milik Allah Tuhan Pemelihara semesta alam.” (Surah Al-Fatihah: 2)

    Semua yang ada selain Allah disebut alam, dan aku adalah bagian dari semesta alam.

    Selanjutnya, jika anda ditanya: Melalui apa anda mengenal Tuhan? Maka hendaklah anda jawab: Melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan melalui ciptaan-Nya. Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Sedang di antara ciptaan-Nya ialah tujuh langit dan tujuh bumi serta yang ada di antara keduanya. Firman Allah subhanahu wata’aala yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” (Surah Fushsilat: 37).

    Dan firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang, senantiasa mengikutinya dengan cepat. Dan Dia (ciptakan pula) matahari dan bulan serta bintang-bintang (semuanya) tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah hanya hak Allah mencipta dan memerintah itu. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam” (Surah Al-A’raf: 54)

    Tuhan inilah yang haq disembah. Dalilnya, firman Allah Ta’ala yang artinya: “Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi ini sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Surah Al-Baqarah: 21-22).

    Ibnu Katsir-(1) rahimahullah, mengatakan: “Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah.”-(2)

    Dan macam-macam ibadah yang diperintahkan Allah subhanahu wata’aala itu, antara lain: Islam-(3), iman, ihsan, doa, khauf (takut), raja’ (pengharapan), tawakal, raghbah (penuh minat), rahbah (cemas), khusyu’ (tunduk), khasyyah (takut), inabah (kembali kepada Allah), isti’anah (memohon pertolongan), isti’adzah (memohon perlindungan), istighatsah (memohon pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan), dzabh (penyembelihan), nadzar, dan macam-macam ibadah lainya yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’aala.

    Allah subhanahu wata’aala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah, karena itu janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Surah Al-Jinn: 18)

    Karena itu, barangsiapa menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah subhanahu wata’aala, maka ia adalah musyrik dan kafir. Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalil pun baginya tentang ini, maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang kafir itu.” (Surah Al-Mu’minuun: 117)

    Dalil macam-macam ibadah:

    *Dalil doa:

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kamu kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagimu’. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina dina.” (Surah Ghaafir: 60)

    Dan diriwayatkan dalam hadits:

    الدُّعَـاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ.

    “Doa itu adalah sari ibadah”-(4)
    *Dalil khauf (takut)

    Firman Allah subhanahu wata’aala yang artinya: “Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Surah Ali ‘Imran: 175)

    *Dalil raja’ (pengharapan):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Untuk itu, barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Surah Al-Kahfi: 110)


    *Dalil tawakkal (berserah diri):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan hanya kepada Allahlah supaya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Surah Al-Maa’idah: 23)

    Dan firman-Nya yang artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dialah Yang Mencukupinya.” (Surah Ath-Thalaaq: 3).


    *Dalil raghbah (penuh minat), rahbah (cemas) dan khusyu’ (tunduk):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam (mengerjakan) kebaikan-kebaikan serta mereka berdoa kepada Kami dengan penuh minat (kepada rahmat Kami) dan cemas (akan siksa Kami), sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami.” (Surah Al-Anbiyaa’: 90).
    *Dalil khasyyah (takut)

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku.” (Surah Al-Baqarah: 150).

    *Dalil inabah (kembali kepada Allah):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Dan kembalilah kepda Tuhanmu serta berserahdirilah kepada-Nya (dengan menaati perintah-Nya) sebelum datang adzab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat tertolong lagi.” (Surah Az-Zumar: 54)

    *Dalil isti’anah (memohon pertolongan):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Al-Fatihah: 4)

    Dan diriwayatkan dalam hadits:

    إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ.

    “Apabila kamu memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.”-(5)

    *Dalil isti’adzah (memohon pelindungan):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Shubuh.” (Surah Al-Falaq: 1)

    Dan firman-Nya yang artinya: “Katakanlah: ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Penguasa manusia…’.” (Surah An-Naas: 1-2)

    *Dalil istighatsah (memohon pertolongan kepada Tuhanmu untuk dimenangkan atau diselamatkan):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “(Ingatlah) tatkala kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu untuk dimenangkan (atas kaum musyrikin), lalu diperkenankan-Nya bagimu…”. (Surah Al-Anfal: 9)

    *Dalil dzabh (pemyembelihan):

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, penyem-belihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam; tiada sesuatupun sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang-orang yang pertama kali berserah diri kepada-Nya)’”. (Surah Al-An’aam: 162-163)

    Dan dalil dari Sunnah:

    لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ.

    “Allah melaknat orang yang menyembelih (binatang) bukan karena Allah..”.-(6)
    *

    Dalil nadzar:

    Firman Allah Ta’ala yang artinya: “Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang siksanya merata di mana-mana.” (Surah Al-Insaan: 7).

    CATATAN KAKI
    o(1). Abu Al-Fidaa’: Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi (701-774 H = 1302 – 1373 M). Seorang ahli hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Di antara karyanya: Tafsir Al-Qur’an Al-Azhiim, Thabaqaat Al-Fuqahaa’ Asy-Syaafi’iyyin, Al-Bidaayah Wan-Nihaayah (Sejarah), Ikhtisar Uluum Al-Hadits, Syarh Shahih Al-Bukhari (belum sempat diselesaikan)
    o(2). Lihat Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhiim, (Cairo: Maktabah Dar At-Turats, 1400 H). jilid 1, hal. 57.
    o(3). Islam, yang dimaksud di sini, adalah: syahadat, shalat, shiyam, zakat dan haji.
    o(4). Hadits riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jaami’ Ash-Shahih, kitab Ad-Da’awaaat. Bab 1. Dan maksud hadits ini: Bahwa segala macam ibadah, baik yang umum maupun yang khusus, yang dilakukan seorang mu’min, seperti; mencari nafkah yang halal untuk keluarga, menyantuni anak yatim dll. Semestinya diiringi dengan permohonan ridha Allah dan pengharapan balasan ukhrawi. Oleh karena itu, doa (permohonan dan pengharapan tersebut) disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, sebagai sari atau otak ibadah, karena senantiasa harus mengiringi gerak ibadah.
    o(5). Hadits riwayat At-Tirmidzi dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, kitab Shifaat Al-Qiyammah war Raqaa’iq wa-l-Wara’, bab 59; dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1403 H), jilid 1, hal. 293, 303, 307.

    o(6). Hadits riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-Adhaahi, bab 8; dan riwayat Imam Ahmad dalam Al-Musnad, jilid 1, hal. 108 dan 152.

    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ..

    Kiat Menggapai Akhlak Mulia (1)

    Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para pengikutnya, segenap sahabatnya dan orang-orang yang setia kepadanya. Amma ba’du.

    Sesungguhnya kemuliaan akhlak itu terwujud dengan memberikan apa yang dipunyai kepada orang lain, menahan diri sehingga tidak menyakiti, dan menghadapi gangguan atau tekanan dengan penuh kesabaran. Hal itu akan bisa digapai dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat rendah lagi tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Simpul kemuliaan akhlak itu adalah: kamu tetap menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain yang menzalimi dirimu.

    Akhlak yang mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kemuliaan akhlak seorang akan memperoleh ketinggian derajat. Dengan sebab kemuliaan akhlak pula berbagai problema akan menjadi mudah, aib-aib akan tertutupi dan hati manusia akan tunduk dan menyukai sang pemilik akhlak yang mulia ini. Dengan akhlak yang mulia juga, seorang akan terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain. Dia pandai menunaikan kewajibannya dan melengkapinya dengan hal-hal yang disunnahkan. Sebagaimana ia akan terjauhkan dari akibat buruk sikap tergesa-gesa dan serampangan. Dengan akhlak yang mulia pikiran akan tenteram dan kehidupan terasa nikmat.

    Tidak diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh manusia untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan tersebut adalah:

    1. Memiliki Aqidah yang Selamat

    Aqidah adalah urusan yang sangat agung dan mulia. Perilaku merupakan hasil dari pikiran dan keyakinan di dalam jiwa. Penyimpangan perilaku biasanya muncul akibat penyimpangan aqidah. Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Apabila aqidah seseorang baik maka akan baik pula akhlaknya. Sehingga aqidah yang benar akan menuntun pemiliknya untuk bisa memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur, dermawan, lemah lembut, berani, dan lain sebagainya. Sebagaimana kemuliaan akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan perilaku-perilaku yang jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan, dan lain sebagainya.

    2. Senantiasa Berdoa Memohon Akhlak Mulia

    Doa merupakan pintu (kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan untuk seorang hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan keberkahan akan tercurah kepadanya. Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya. Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau kemuliaan akhlak. Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah, “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771). Salah satu doa yang beliau ucapkan juga, “Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi). Beliau juga berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari [7/159] dan Muslim [2706]).

    3. Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri

    Kesungguh-sungguhan akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini. Sebab kemuliaan akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan jalan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69). Barangsiapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya. Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali, namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Rabbmu hingga datang kematian kepadamu.” (QS. Al Hijr: 99).

    4. Introspeksi/Muhasabah

    Yakni dengan cara mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri agar tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu. Namun hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah semangat.

    5. Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia

    Sesungguhnya memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan memunculkan motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka setiap kali hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat dampak positif tersebut. Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan lapang. Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.

    6. Memikirkan Dampak Buruk Akhlak yang Jelek

    Yaitu dengan memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong untuk mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang mulia.

    7. Tidak Putus Asa untuk Memperbaiki Diri

    Sebagian orang yang berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin untuk diperbaiki dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali atau beberapa kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia pun berputus asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya. Sikap semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya. Betapa banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan tabiat buruknya.

    8. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi

    Cita-cita tinggi akan melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak mau tercecer di barisan orang-orang yang rendah dan hina. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan maka dia telah memiliki (sumber) segala akhlak mulia. Sedangkan orang yang rendah cita-citanya dan hawa nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat dengan setiap akhlak yang rendah dan tercela.” Jiwa-jiwa yang mulia tidak merasa ridha kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia, tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai perkara-perkara yang rendah dan kotor sebagaimana halnya seekor lalat yang senang hinggap di barang-barang yang kotor. Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri, demikian pula tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada harus melakukan itu semua. Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki karakter yang bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.

    9. Bersabar

    Sabar merupakan fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan ketabahan, menahan amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak tergesa-gesa, dan tidak suka bersikap kasar.

    10. Menjaga Kehormatan/Iffah

    Sifat ini akan membawa pelakunya untuk senantiasa menjauhi perkara-perkara yang rendah dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun perbuatan. Dia akan memiliki rasa malu yang itu merupakan sumber segala kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari melakukan perbuatan keji, bakhil, dusta, ghibah maupun namimah/adu domba.

    11. Keberanian

    Hal ini akan membawa pelakunya untuk memiliki jiwa yang tangguh dan mulia. Selain itu keberanian akan menuntun untuk senantiasa mengutamakan akhlak mulia, berusaha untuk mengerahkan kebaikan yang bisa dilakukannya dalam rangka memberikan manfaat kepada orang lain. Keberanian juga akan menggembleng jiwa untuk rela meninggalkan sesuatu yang disukai dan menyingkirkannya. Keberanian akan menuntun kepada sifat suka menahan amarah dan berlaku lembut.

    12. Bersikap Adil

    Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan. Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.

    13. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama muslim) adalah sedekah untukmu.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah: 272). Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.

    14. Mudah Memaafkan

    Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.

    15. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah

    Hilm atau tidak suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.

    16. Meninggalkan Orang-Orang Bodoh

    Berpaling dari tindakan orang-orang jahil akan menyelamatkan harga diri dan menjaga kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang dan telinganya akan terbebas dari mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi kejelekan adalah bagian dari upaya untuk mencari kebaikan.”

    17. Tidak Suka Mencela

    Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa aku bukan orang gila.”

    18. Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita

    Orang yang suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini merupakan bukti kemuliaan pribadi dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada orang yang mencaci maki Al Ahnaf bin Qais berulang-ulang namun sama sekali tidak digubris olehnya. Maka si pencela mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang menghalanginya untuk membalas celaanku selain kehinaan diriku dalam pandangannya.”

    19. Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti Dirinya

    Yaitu dengan cara anda melupakan orang lain yang pernah melakukan perbuatan buruk kepada anda. Agar hati anda menjadi bersih dan tidak gelisah karena ulahnya. Orang yang terus mengingat-ingat perbuatan jelek saudaranya kepada dirinya maka kecintaan dirinya kepada saudaranya tidak akan bisa bersih (dari kepentingan dunia). Orang yang senantiasa mengenang kejelekan orang lain kepada dirinya niscaya tidak akan bisa merasakan kenikmatan hidup bersama mereka.

    20. Mudah Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan Dengan Kebaikan

    Hal ini merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang tinggi dan derajat yang mulia. Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan hati, manisnya iman, dan kemuliaan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah akan menambahkan kepada seorang hamba dengan sifat pemaaf yang dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim). Ibnul Qayyim menceritakan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa memadukan sifat-sifat ini -berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik kepada orang lain- daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya- ketika itu sebagian para sahabatnya yang senior mengatakan, ‘Aku sangat ingin bersikap kepada para sahabatku sebagaimana beliau bersikap kepada musuh-musuhnya.’ Aku tidak pernah melihat beliau mendoakan kejelekan kepada salah seorang di antara musuhnya itu. Bahkan beliau biasa mendoakan kebaikan bagi mereka.” [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

    -bersambung insya Allah-

    ***

    Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
    Artikel www.muslim.or.id


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim …..

    Prinsip Prinsip mengkaji Agama Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi

    Menuntut ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuannya agar tidak bingung menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting, tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang!

    Dewasa ini banyak sekali ‘jalan’ yang ditawarkan untuk mempelajari dienul Islam. Masing-masing pihak sudah pasti mengklaim jalannya sebagai yang terbaik dan benar. Melalui berbagai cara mereka berusaha meraih pengikut sebanyak-banyaknya. Lihatlah sekeliling kita. Ada yang menawarkan jalan dengan memenej qalbunya, ada yang mengajak untuk ikut hura-huranya politik, ada yang menyeru umat untuk segera mendirikan Khilafah Islamiyah, ada pula yang berkelana dari daerah satu ke daerah lain mengajak manusia ramai-ramai ke masjid.

    Namun lihat pula sekeliling kita. Kondisi umat Islam masih begini-begini saja. Kebodohan dan ketidakberdayaan masih menyelimuti. Bahkan sepertinya makin bertambah parah.
    Adakah yang salah dari tindakan mereka? Ya, bila melihat kondisi umat yang semakin jatuh dalam kegelapan, sudah pasti ada yang salah. Mengapa mereka tidak mengajak umat untuk kembali mempelajari agamanya saja? Mengapa mereka justru menyibukkan umat dengan sesuatu yang berujung kesia-siaan?

    Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai pewaris Nabi selalu berusaha mengamalkan apa yang diwasiatkan Rasulullah untuk mengajak umat kembali mempelajari agamanya. Dalam berbagai hal, Ahlussunnah tidak akan pernah keluar dari jalan yang telah digariskan oleh Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam. Lebih-lebih dalam mengambil dan memahami agama di mana hal itu merupakan sesuatu yang sangat asasi pada kehidupan. Inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan umat.

    Berikut kami akan menguraikan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam mengkaji agama, namun kami hanya akan menyebutkan hal-hal yang sangat pokok dan mendesak untuk diungkapkan. Tidak mungkin kita menyebut semuanya karena banyaknya sementara ruang yang ada terbatas.

    Makna Manhaj

    Manhaj dalam bahasa Arab adalah sebuah jalan terang yang ditempuh. Sebagaimana dalam firman Allah:

    “Dan kami jadikan untuk masing-masing kalian syariat dan minhaj.” (Al-Maidah: 48)

    Kata minhaj , sama dengan kata manhaj . Kata minhaj dalam ayat tersebut diterangkan oleh Imam ahli tafsir Ibnu Abbas, maknanya adalah sunnah. Sedang sunnah artinya jalan yang ditempuh dan sangat terang. Demikian pula Ibnu Katsir menjelaskan (lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/67-68 dan Mu’jamul Wasith).

    Yang diinginkan dengan pembahasan ini adalah untuk menjelaskan jalan yang ditempuh Ahlussunnah dalam mendapatkan ilmu agama. Dengan jalan itulah, insya Allah kita akan selamat dari berbagai kesalahan atau kerancuan dalam mendapatkan ilmu agama. Inilah rambu-rambu yang harus dipegang dalam mencari ilmu agama:

    1. Mengambil ilmu agama dari sumber aslinya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman:

    “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan jangan kalian mengikuti para pimpinan selain-Nya. Sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya.” (Al-A’raf: 3)

    Dan Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

    “Ketahuilah bahwasanya aku diberi Al Qur’an dan yang serupa dengannya bersamanya. ” (Shahih, HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Miqdam bin Ma’di Karib. Lihat Shahihul Jami’ N0. 2643)

    2. Memahami Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shalih yakni para sahabat dan yang mengikuti mereka dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam:

    “Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian yang setelah mereka kemudian yang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim )

    Kebaikan yang berada pada mereka adalah kebaikan yang mencakup segala hal yang berkaitan dengan agama, baik ilmu, pemahaman, pengamalan dan dakwah.

    Ibnul Qayyim berkata: “Nabi mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya secara mutlak. Itu berarti bahwa merekalah yang paling utama dalam segala pintu-pintu kebaikan. Kalau tidak demikian, yakni mereka baik dalam sebagian sisi saja maka mereka bukan sebaik-baik generasi secara mutlak.” (lihat Bashair Dzawis Syaraf: 62)

    Dengan demikian, pemahaman mereka terhadap agama ini sudah dijamin oleh Nabi. Sehingga, kita tidak meragukannya lagi bahwa kebenaran itu pasti bersama mereka dan itu sangat wajar karena mereka adalah orang yang paling tahu setelah Nabi. Mereka menyaksikan di mana dan kapan turunnya wahyu dan mereka tahu di saat apa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengucapkan hadits. Keadaan yang semacam ini tentu sangat mendukung terhadap pemahaman agama. Oleh karenanya, para ulama mengatakan bahwa ketika para shahabat bersepakat terhadap sesuatu, kita tidak boleh menyelisihi mereka. Dan tatkala mereka berselisih, maka tidak boleh kita keluar dari perselisihan mereka. Artinya kita harus memilih salah satu dari pendapat mereka dan tidak boleh membuat pendapat baru di luar pendapat mereka.

    Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka (para shahabat) di atas kita dalam segala ilmu, ijtihad, wara’ (sikap hati-hati), akal dan pada perkara yang mendatangkan ilmu atau diambil darinya ilmu. Pendapat mereka lebih terpuji dan lebih utama buat kita dari pendapat kita sendiri -wallahu a’lam- … Demikian kami katakan. Jika mereka bersepakat, kami mengambil kesepakatan mereka. Jika seorang dari mereka memiliki sebuah pendapat yang tidak diselisihi yang lain maka kita mengambil pendapatnya dan jika mereka berbeda pendapat maka kami mengambil sebagian pendapat mereka. Kami tidak akan keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan.” (Al-Madkhal Ilas Sunan Al-Kubra: 110 dari Intishar li Ahlil Hadits: 78].

    Begitu pula Muhammad bin Al Hasan mengatakan: “Ilmu itu empat macam, pertama apa yang terdapat dalam kitab Allah atau yang serupa dengannya, kedua apa yang terdapat dalam Sunnah Rasulullah atau yang semacamnya, ketiga apa yang disepakati oleh para shahabat Nabi atau yang serupa dengannya dan jika mereka berselisih padanya, kita tidak boleh keluar dari perselisihan mereka …, keempat apa yang diangap baik oleh para ahli fikih atau yang serupa dengannya. Ilmu itu tidak keluar dari empat macam ini.” (Intishar li Ahlil Hadits: 31)

    Oleh karenanya Ibnu Taimiyyah berkata: ” Setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup di masa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang terdahulu, maka itu salah.” Imam Ahmad mengatakan: “Jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya. ” (Majmu’ Fatawa: 21/291)

    Hal itu -wallahu a’lam- karena Nabi bersabda:

    “Sesungguhnya Allah melindungi umatku untuk berkumpul di atas kesesatan.” (Hasan, HR Abu Dawud no:4253, Ibnu Majah:395, dan Ibnu Abi Ashim dari Ka’b bin Ashim no:82, 83 dihasankan oleh As Syaikh al Albani dalam Silsilah As- Shahihah:1331]

    Jadi tidak mungkin dalam sebuah perkara agama yang diperselisihkan oleh mereka, semua pendapat adalah salah. Karena jika demikian berarti mereka telah berkumpul di atas kesalahan. Karenanya pasti kebenaran itu ada pada salah satu pendapat mereka, sehingga kita tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Kalau kita keluar dari pendapat mereka, maka dipastikan salah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas.

    3. Tidak melakukan taqlid atau ta’ashshub (fanatik) madzhab. Allah berfirman:

    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)

    “Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

    Dengan jelas ayat di atas menganjurkan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah baik berupa Al Qur’an atau hadits. Maka ucapan siapapun yang tidak sesuai dengan keduanya berarti harus ditinggalkan. Imam Syafi’i mengatakan: “Kaum muslimin bersepakat bahwa siapapun yang telah jelas baginya Sunnah Nabi maka dia tidak boleh berpaling darinya kepada ucapan seseorang, siapapun dia.” (Sifat Shalat Nabi: 50)

    Demikian pula kebenaran itu tidak terbatas pada pendapat salah satu dari Imam madzhab yang empat. Selain mereka, masih banyak ulama yang lain, baik yang sezaman atau yang lebih dulu dari mereka. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorangpun dari ahlussunnah mengatakan bahwa kesepakatan empat Imam itu adalah hujjah yang tidak mungkin salah. Dan tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas padanya dan bahwa yang keluar darinya berarti batil. Bahkan jika seorang yang bukan dari pengikut Imam-imam itu seperti Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits bin Sa’ad dan yang sebelum mereka atau Ahlul Ijtihadyang setelah mereka mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi pendapat Imam-imam itu, maka perselisihan mereka dikembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan pendapat yang paling kuat adalah yang berada di atas dalil.” (Minhajus Sunnah: 3/412 dari Al Iqna’: 95).

    Sebaliknya, ta’ashshub (fanatik) pada madzhab akan menghalangi seseorang untuk sampai kepada kebenaran. Tak heran kalau sampai ada dari kalangan ulama madzhab mengatakan: “Setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami maka itu mansukh (terhapus hukumnya) atau harus ditakwilkan (yakni diarahkan kepada makna yang lain).”

    Akhirnya madzhablah yang menjadi ukuran kebenaran bukan ayat atau hadits. Bahkan ta’ashub semacam itu membuat kesan jelek terhadap agama Islam sehingga menghalangi masuk Islamnya seseorang sebagaimana terjadi di Tokyo ketika beberapa orang ingin masuk Islam dan ditunjukkan kepada orang-orang India maka mereka menyarankan untuk memilih madzhab Hanafi. Ketika datang kepada orang-orang Jawa atau Indonesia mereka menyarankan untuk memilih madzhab Syafi’i. Mendengar jawaban-jawaban itu mereka sangat keheranan dan bingung sehingga sempat menghambat dari jalan Islam [Lihat Muqaddimah Sifat Shalat Nabi hal: 68 edisi bahasa Arab)

    4. Waspada dari para da'i jahat. Jahat yang dimaksud bukan dari sisi kriminal tapi lebih khusus adalah dari tinjauan keagamaan. Artinya mereka yang membawa ajaran-ajaran yang menyimpang dari aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, sedikit atau banyak. Di antara ciri-ciri mereka adalah yang suka berdalil dengan ayat-ayat yang belum begitu jelas maknanya untuk bisa mereka tafsirkan semau mereka. Dengan itu mereka maksudkan menebar fitnah yakni menyesatkan para pengikutnya. Allah berfirman:

    "Adapun yang dalam hatinya terdapat penyelewengan (dari kebenaran) maka mereka mengikuti apa yang belum jelas dari ayat-ayat itu, (mereka) inginkan dengannya fitnah dan ingin mentakwilkannya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah." (Ali-Imran: 7)

    Ibnu Katsir mengatakan: "Menginginkan fitnah artinya ingin menyesatkan para pengikutnya dengan mengesankan bahwa mereka berhujjah dengan Al Qur'an untuk (membela) bid'ah mereka padahal Al Qur'an itu sendiri menyelisihinya. Ingin mentakwilkannya artinya menyelewengkan maknanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan." (Tafsir Ibnu Katsir: 1/353]

    5. Memilih guru yang dikenal berpegang teguh kepada Sunnah Nabi dalam berakidah, beribadah, berakhlak dan mu’amalah . Hal itu karena urusan ilmu adalah urusan agama sehingga tidak bisa seseorang sembarangan atau asal comot dalam mengambilnya tanpa peduli dari siapa dia dapatkan karena ini akan berakibat fatal sampai di akhirat kelak. Maka ia harus tahu siapa yang akan ia ambil ilmu agamanya.

    Jangan sampai dia ambil agamanya dari orang yang memusuhi Sunnah atau memusuhi Ahlussunnah atau tidak pernah diketahui belajar akidah yang benar karena selama ini yang dipelajari adalah akidah-akidah yang salah atau mendapat ilmu hanya sekedar hasil bacaan tanpa bimbingan para ulama Ahlussunnah. Sangat dikhawatirkan, ia memiliki pemahaman-pemahaman yang salah karena hal tersebut.

    Seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian. ” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

    Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

    “Keberkahan itu berada pada orang-orang besar kalian.” (Shahih, HR. Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas, dalam kitab Jami’ Bayanul Ilm hal:614 dengan tahqiq Abul Asybal, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’:2887 dan As Shahihah:1778)

    Dalam ucapan Abdullah bin Mas’ud:

    “Manusia tetap akan baik selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang besar mereka, jika mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan jahat di antara mereka, maka mereka akan binasa.” Diriwayatkan pula yang semakna dengannya dari shahabat Umar bin Khattab. (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilm hal: 615 dan 616, tahqiq Abul Asybal dan dishahihkan olehnya)

    Ibnu Abdil Bar menukilkan dari sebagian ahlul ilmi (ulama) maksud dari hadits di atas: “Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kecil dalam hadits Umar dan hadits-hadits yang semakna dengannya adalah orang yang dimintai fatwa padahal tidak punya ilmu. Dan orang yang besar artinya yang berilmu tentang segala hal. Atau yang mengambil ilmu dari para shahabat.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilm: 617).

    6. Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio, karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:

    “Katakanlah (Ya, Muhammad): ’sesungguhnya aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.” (Al-Anbiya: 45)

    “Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

    Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan, dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkannya pun lemah.

    Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akalnya di hadapan keduanya.

    Ali bin Abi Thalib berkata: “Seandainya agama ini dengan akal maka tentunya bagian bawah khuf (semacam kaos kaki yang terbuat dari kulit) lebih utama untuk diusap (pada saat berwudhu-red) daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.” (shahih, HR Abu Dawud dishahihkan As-Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no:162).

    Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf-nya atau kaos kaki atau sepatunya ketika berwudhu dan tidak perlu mencopotnya jika terpenuhi syaratnya sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atasnya, bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawahnya karena itulah yang kotor.

    Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalahnya, terkadang akal tidak memahami hikmahnya, seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.

    Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendaknya kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.

    Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan Akidah Ahlussunnah, katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka, mencari agama dari keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka dapati tidak sesuai dengan keduanya mereka meninggalkannya dan mengambil Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq (kebenaran), sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits: 99)

    Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
    a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
    b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, serta memahami dan mengambil hukum darinya.
    c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ (nama) Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
    d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah.
    e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
    Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. (lihat, I’lam Muwaqqi’in: 1/104-106, Al- Intishar: 21,24, dan Al Aql wa Manzilatuhu)

    7. Menghindari perdebatan dalam agama. Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

    “Tidaklah sebuah kaum sesat setelah mereka berada di atas petunjuk kecuali mereka akan diberi sifat jadal (berdebat). Lalu beliau membaca ayat, artinya: ‘Bahkan mereka adalah kaum yang suka berbantah-bantahan’.” (Hasan, HR Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahili, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no: 5633)

    Ibnu Rajab mengatakan: ” Di antara sesuatu yang diingkari para Imam salafus shalih adalah perdebatan, berbantah-bantahan dalam masalah halal dan haram. Itu bukan jalannya para Imam agama ini.” (Fadl Ilm Salaf 57 dari Al-Intishar: 94).

    Ibnu Abil Izz menerangkan makna mira’ (berbantah-bantahan) dalam agama Allah adalah membantah ahlul haq (pemegang kebenaran) dengan menyebutkan syubhat-syubhat ahlul bathil, dengan tujuan membuat keraguan padanya dan menyimpangkannya. Karena perbuatan yang demikian ini mengandung ajakan kepada kebatilan dan menyamarkan yang hak serta merusak agama Islam. (Syarh Aqidah Thahawiyah: 313)

    Oleh karenanya Allah memerintahkan berdebat dengan yang paling baik. Firman-Nya:

    “Ajaklah kepada jalan Rabb-Mu dengan hikmah, mau’idhah (nasihat) yang baik dan berdebatlah dengan yang paling baik.” (An-Nahl: 125).

    Para ulama menerangkan bahwa perdebatan yang paling baik bisa terwujud jika niat masing-masing dari dua belah pihak baik. Masalah yang diperdebatkan juga baik dan mungkin dicapai kebenarannya dengan diskusi. Masing-masing beradab dengan adab yang baik, dan memang punya kemampuan ilmu serta siap menerima yang haq jika kebenaran itu muncul dari hasil perdebatan mereka. Juga bersikap adil serta menerima kembalinya orang yang kembali kepada kebenaran. (lihat rinciannya dalam Mauqif Ahlussunnah 2/587-611 dan Ar-Rad ‘Alal Mukhalif hal:56-62).

    Perdebatan para shahabat dalam sebuah masalah adalah perdebatan musyawarah dan nasehat. Bisa jadi mereka berselisih dalam sebuah masalah ilmiah atau amaliah dengan tetap bersatu dan berukhuwwah. (Majmu’ Fatawa 24/172)

    Inilah beberapa rambu-rambu dalam mengambil ilmu agama sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an maupun hadits yang shahih serta keterangan para ulama. Kiranya itu bisa menjadi titik perhatian kita dalam kehidupan beragama ini, sehingga kita berharap bisa beragama sesuai yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

    http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=67


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ….

    Yang Kita Lupakan Dalam Menuntut Ilmu

    Bertahun-tahun sudah kita luangkan waktu kita untuk menuntut ilmu. Suka duka yang dirasakan juga begitu banyak. Mengingat masa lalu terkadang membuat kita tersenyum, tertawa dan terkadang membuat kita menangis. Inilah kehidupan yang harus kita jalani. Kehidupan sebagai seorang thalibul’ilmi. Akan tetapi, mungkin kita sering melupakan, apakah ilmu yang kita dapatkan adalah ilmu yang bermanfaat ataukah sebaliknya.

    Penulis teringat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang bernama Zaid bin Arqam radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata,

    اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

    Artinya: “Ya Allah. Sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah merasa kenyang dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR Muslim No. 6906 dan yang lainnya dengan lafaz-lafaz yang mirip)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang dijamin oleh Allah untuk menjadi pemimpin Bani Adam di hari akhir nanti, sangat sering mengulang doa-doa ini, apalagi kita, yang sangat banyak berlumuran dosa, sudah seharusnya selalu membacanya.

    Mengetahui ciri-ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat sangatlah penting. Oleh karena itu, berikut ini penulis sebutkan beberapa ciri ilmu yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat yang penulis ambil dari kitab Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali yang berjudul Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf.

    Ciri-ciri ilmu yang bermanfaat di dalam diri seseorang:

    1.Menghasilkan rasa takut dan cinta kepada Allah.

    2.Menjadikan hati tunduk atau khusyuk kepada Allah dan merasa hina di hadapan-Nya dan selalu bersikap tawaduk.

    3.Membuat jiwa selalu merasa cukup (qanaah) dengan hal-hal yang halal walaupun sedikit yang itu merupakan bagian dari dunia.

    4.Menumbuhkan rasa zuhud terhadap dunia.

    5.Senantiasa didengar doanya.

    6.Ilmu itu senantiasa berada di hatinya.

    7.Menganggap bahwa dirinya tidak memiliki sesuatu dan kedudukan.

    8.Menjadikannya benci akan tazkiah dan pujian.

    9.Selalu mengharapkan akhirat.

    10.Menunjukkan kepadanya agar lari dan menjauhi dunia. Yang paling menggiurkan dari dunia adalah kepemimpinan, kemasyhuran dan pujian.

    11.Tidak mengatakan bahwa dia itu memiliki ilmu dan tidak mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah dan ahlussunnah. Sesungguhnya dia mengatakan hal itu karena hak-hak Allah, bukan untuk kepentingan pribadinya.

    12.Berbaik sangka terhadap ulama-ulama salaf (terdahulu) dan berburuk sangka pada dirinya.

    13.Mengakui keutamaan-keutamaan orang-orang yang terdahulu di dalam ilmu dan merasa tidak bisa menyaingi martabat mereka.

    14.Sedikit berbicara karena takut jika terjadi kesalahan dan tidak berbicara kecuali dengan ilmu. Sesungguhnhya, sedikitnya perkataan-perkataan yang dinukil dari orang-orang yang terdahulu bukanlah karena mereka tidak mampu untuk berbicara, tetapi karena mereka memiliki sifat wara’ dan takut pada Allah Taala.

    Adapun ciri-ciri ilmu yang tidak bermanfaat di dalam diri seseorang:

    1.Ilmu yang diperoleh hanya di lisan bukan di hati.

    2.Tidak menumbuhkan rasa takut pada Allah.

    3.Tidak pernah kenyang dengan dunia bahkan semakin bertambah semangat dalam mengejarnya.

    4.Tidak dikabulkan doanya.

    5.Tidak menjauhkannya dari apa-apa yang membuat Allah murka.

    6.Semakin menjadikannya sombong dan angkuh.

    7.Mencari kedudukan yang tinggi di dunia dan berlomba-lomba untuk mencapainya.

    8.Mencoba untuk menyaing-nyaingi para ulama dan suka berdebat dengan orang-orang bodoh.

    9.Tidak menerima kebenaran dan sombong terhadap orang yang mengatakan kebenaran atau berpura-pura meluruskan kesalahan karena takut orang-orang lari darinya dan menampakkan sikap kembali kepada kebenaran.

    10.Mengatakan orang lain bodoh, lalai dan lupa serta merasa bahwa dirinya selalu benar dengan apa-apa yang dimilikinya.

    11.Selalu berburuk sangka terhadap orang-orang yang terdahulu.

    12.Banyak bicara dan tidak bisa mengontrol kata-kata.

    Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata, “Di saat sekarang ini, manusia boleh memilih apakah dia itu ridha untuk dikatakan sebagai seorang ulama di sisi Allah ataukah dia itu tidak ridha kecuali disebut sebagai seorang ulama oleh manusia di masanya. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang pertama, maka dia akan merasa cukup dengan itu… Barang siapa yang tidak ridha kecuali ingin disebut sebagai seorang ulama di hadapan manusia, maka jatuhlah ia (pada ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam),

    من طلب العلم ليباهي به العلماء أو يماري به السفهاء أو يصرف وجوه الناس إليه فليتبوأ مقعده من النار

    Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk menyaing-nyaingi para ulama, mendebat orang-orang bodoh atau memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya, maka dia itu telah mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.” (*)

    *) Dengan Lafaz yang seperti ini, penulis belum menemukannya dengan sanad yang shahih. Akan tetapi, terdapat lafaz yang mirip dengannya di Sunan At-Tirmidzi No. 2653 dengan sanad yang hasan, yaitu:

    من طلب العلم ليجاري به العلماء أو ليماري به السفهاء أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار

    ***

    اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا و عملا متقبلاز آمين

    Maraji’:

    1.Bayan Fadhli ‘Ilmissalaf ‘ala ‘Ilmilkhalaf oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hanbali, Dar Al-Basya’ir Al-Islamiah
    2.Shahih Muslim, Dar As-Salam
    3.Sunan At-Tirmidzi, Maktabah Al-Ma’arif

    www.muslim.or.id


    your comment