• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim …

    Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah

    Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.

    Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    واعلم أن النصر مع الصبر ، وأن الفرج مع الكرب ، وأن مع العسر يسرا

    “Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.

    Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid

    Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah).

    Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:

    “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

    Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

    Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”

    Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

    Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”

    Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

    Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

    Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah

    Allah ta’ala berfirman yang artinya,

    مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِيَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

    “Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya. Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

    Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).

    Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

    Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:

    “Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).

    ---------------------


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ….

    Mewabahnya Virus di Tengah Umat

    Sungguh aneh bin ajaib kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa pada saat ini dakwah yang menyerukan kepada tauhid dan mengingatkan pada syirik adalah sudah tidak relevan. Sebab di zaman yang modern seperti ini sudah banyak orang yang mempercayai adanya Tuhan dan sangat jarang ditemui ada orang yang menyembah patung, bintang, matahari, berhala dan sebagainya. Mereka juga mengatakan bahwa sekarang ini kita harus memfokuskan dan memperhatikan bagaimana kita harus melawan orang-orang kafir dan merebut kekuasaan.

    Pandangan seperti ini muncul karena memang dangkalnya ilmu dan pemahaman yang ada pada orang tersebut, tidak faham apa itu pengertian tauhid dan syirik dengan benar, serta tidak faham dengan inti dakwah setiap rosul. Bukan berarti bahwa melawan orang kafir itu tidak penting. Tidak, sekali-kali tidak! Dengan tulisan ini semoga dapat mendudukkan masalah ini secara benar dan dapat menyadarkan kaum muslimin dari keterlenaannya.

    Tauhid Bukan Sekedar Percaya Adanya Tuhan

    Sebagian kaum muslimin yang beranggapan bahwa apabila seorang itu telah mengakui adanya Tuhan, maka dia sudah dikatakan bertauhid. Mereka lupa bahwa ini hanyalah bagian dari tauhid, bahkan hanya bagian kecil darinya. Dan belumlah seseorang itu dianggap bertauhid hanya dengan bagian yang ini saja. Sedangkan bagian tauhid yang lain bahkan yang paling pokok di antaranya justru tidak faham. Setiap orang wajib mengesakan Alloh dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa shifat-Nya. Jika ketinggalan satu saja dari ketiga tauhid tersebut belumlah dia dikatakan sebagai seorang yang bertauhid.

    Lihatlah kaum musyrik quroisy, bukankah mereka juga mengakui adanya Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, bahkan bukankah mereka juga menyembah Alloh? Kenapa mereka masih diperangi oleh Rosululloh? Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: ”Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Alloh’. Maka katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak betakwa (kepada-Nya)?” (QS: Yunus: 31)

    Syirik Bukan Sekedar Sujud Kepada Patung

    Syirik adalah menyamakan selain Alloh Subhanallohu wa Ta’ala dengan Alloh dalam perkara yang menjadi kekhususan atau hak bagi Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Dari definisi ini, maka jelaslah bagi kita syirik itu tidak hanya sebatas menyembah dan sujud kepada berhala, patung, matahari dan lain-lain, namun lebih luas daripada ini.

    Kita lihat juga kaum musyrik yang diperangi oleh Rosululloh shollallohu ’alaihi wassalam dulu, apakah mereka murni benar-benar menyembah atau sujud kepada berhala dan yang lainnya hanya karena mereka batu dan pohon? Ternyata tidak, Alloh Subhanallohu wa Ta’ala menceritakan ucapan mereka, yang artinya: “Tidaklah kami menyembah mereka melainkan agar mereka dapat mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya.” (QS: Az-Zumar: 3). Mereka menyembah berbagai sesembahan tersebut dengan harapan akan memerantarai pada Alloh.

    Syirik juga tidak terhenti di sini, ada juga syirik dalam ketaatan. Tatkala Rosululloh shollallohu ’alaihi wassalam membacakan ayat, yang artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tandingan (tuhan) selain Alloh.” (QS: At-Taubah: 31). Sahabat Adi bin Abi Hatim yang pada waktu itu baru masuk Islam menyanggah: “Tidaklah kami itu menyembah mereka”. Maka Rosululloh menjawab, yang artinya: “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut mengharamkan, dan bukankah mereka menghalalkan apa yang diharamkan oleh Alloh lalu kalian pun ikut menghalalkan?” Maka Adi bin Abi Hatim pun menjawab: “Benar”. Rosululloh berkata: ”Itulah peribadahan kepada mereka”. Lalu sekarang, betapa banyak kaum muslimin yang mereka ikut menghalalkan yang semestinya harom dengan landasan hawa nafsu? Na’udzu billah.

    Syirik tidak hanya terbatas pada amalan badan, namun juga amalan hati dan lisan. Alloh berfirman, yang artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh.” (QS: Al Baqoroh: 165)

    Realita Yang Ada di Masyarakat Sekarang Ini

    Sungguh aneh masyarakat kita sekarang ini, mereka akan begitu sangat marah apabila ada orang non islam yang mempropagandakan agama mereka dan mengajak orang lain kepada agama mereka. Namun pada saat yang sama, dia telah membiarkan dirinya, anak-anaknya dan keluarganya untuk diseret dan dipengaruhi oleh kesyirikan dan dijauhkan dari aqidah yang lurus, yakni dengan membiarkan di rumahnya sebuah televisi yang tiap harinya selalu dijejali dengan acara-cara kesyirikan. Seolah-olah mereka mengatakan: “Mari silakan masuk, ajari dan pengaruhi keluarga kami dengan acara-acara syirik, bid’ah dan maksiat kalian”. Na’udzu billah!! Bukankah ini terjadi karena tidak fahamnya mereka terhadap apa itu syirik, ancaman dan bahayanya? Ataukah merasa juga telah merasa aman dan jauh akan terjatuh di dalamnya?

    Anak-anak kita sudah terbiasa disuguhi dengan film tentang peri, hantu, dukun, sihir, jimat-jimat dan film misteri yang penuh kesyirikan. Sementara anak mudanya tenggelam dalam ramalan bintang/zodiak. Sadarlah wahai saudaraku! itu semua adalah termasuk amalan-amalan kesyirikan.

    Dengan Dalih Budaya dan Adat Istiadat

    Lebih ironi lagi, ternyata kita juga hidup disuatu masyarakat yang diantara adat istiadat dan budaya mereka merupakan amalan-amalan kesyirikan. Ketika kita mengingatkan mereka ternyata mereka malah balik menuduh bahwa kita adalah orang yang kaku dan tidak faham terhadap esensi dan transformasi nilai. Namun sayang ketika mereka berusaha untuk dijelaskan dan diajak untuk “sedikit” berpikir, hati mereka sudah diliputi oleh dua penyakit yaitu taqlid (ikut-ikutan) dan ta’ashshub (fanatik). Kalau begitu, bagaimana kebenaran ini akan sampai?

    Alloh berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh,’ mereka menjawab: ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS: Al-Baqoroh: 170)

    Kita lihat di sana ada acara nyadran, sekaten, ngelarung, sedekah bumi/laut, suronan dan lain-lain, yang mana acara-acara itu di masyarakat kita sudah mendarah daging, bahkan sudah menjadi komoditi bisnis dan mata pencaharian. Sungguh ironi, mereka beralasan bahwa ini adalah budaya nenek moyang yang harus dilestarikan. Allohu akbar!! Inilah alasan yang menjadi jurus pamungkas kaum musyrikin zaman Rosululloh shollallohu ’alaihi wassalam tatkala mulut mereka tidak mampu lagi menjawab hujjah Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, Na’udzu billah.

    Mengingat akan parahnya keadaan ini, maka sudah menjadi tugas kita semua untuk saling mengingatkan dan terus untuk mengingatkan. “Dan tetaplah beri peringatan, karena peringatan itu memberikan manfaat terhadap orang-orang yang beriman.” (QS: Adz-Dzariyat: 55)

    (Sumber Rujukan: Kitab Tauhid dan berbagai sumber)

    http://assunnah-qatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=372&Itemid=199


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ….

    Wahai Anakku, Beginilah Cara Minum Rasulullah

    Penyusun: Ummu Nafisah
    Muroja’ah: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

    Para ibu muslimah yang semoga dirahmati oleh Allah, mendidik anak adalah salah satu tugas mulia seorang ibu. Ketika kita berusaha untuk mendidik anak kita sebaik mungkin dan dengan mengharapkan ridha Allah, maka usaha kita tersebut dapat berbuah pahala. Bagaimana tidak, bukankah membina anak agar menjadi generasi yang sholih dan sholihah adalah salah satu bentuk jihadnya para ibu?

    Salah satu bentuk pengajaran kepada si kecil adalah mengajarinya tentang adab dan akhlak mulia dalam Islam. Karena bagaimanapun, seorang ibu memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan pribadi anak. Jika sang ibu berakhlak baik maka si kecil pun akan meniru ibunya karena biasanya waktu anak lebih banyak bersama ibunya. Diantara adab yang semestinya kita ajarkan kepada si kecil adalah adab ketika minum.

    Inilah Adab Minum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
    Aktivitas minum merupakan aktivitas yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sehingga hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan pengajaran bagi anak-anak kita dan melatihnya agar terbiasa minum sesuai dengan tauladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beberapa adab minum yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam antara lain:

    1. Meniatkan minum untuk dapat beribadah kepada Allah agar bernilai pahala.Segala perkara yang mubah dapat bernilai pahala jika disertai dengan niat untuk beribadah. Wahai ibu, maka niatkanlah aktivitas minum kita dengan niat agar dapat beribadah kepada Allah. Dan janganlah lupa memberitahukan anak tentang hal ini.

    2. Memulai minum dengan membaca basmallah. Diantara sunnah Nabi adalah mengucapkan basmallah sebelum minum. Hal ini berdasarkan hadits yang memerintahkan membaca ‘bismillah’ sebelum makan. Bacaan bismillah yang sesuai dengan sunnah adalah cukup dengan bismillah tanpa tambahan ar-Rahman dan ar-Rahim.

    Dari Amr bin Abi Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, jika engkau hendak makan ucapkanlah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang berada di dekatmu.” (HR Thabrani dalam Mu’jam Kabir)

    Dalam silsilah hadits shahihah, 1/611 Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanad hadits ini shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim)Wahai ibu, jangan lupa untuk mengingatkan anak-anak kita untuk membaca ‘bismillah’ ketika hendak minum, agar setan tidak ikut serta menikmati makanan dan minuman yang sedang kita konsumsi.

    3. Minum dengan tangan kanan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang dari kalian hendak makan, hendaklah makan dengan tangan kanan. Dan apabila ingin minum, hendaklah minum dengan tangan kanan. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim)

    Ajarkanlah pada si kecil untuk selalu menggunakan tangan kanan ketika makan dan minum. Seringkali si kecil lupa meskipun telah kita ajari, apalagi ketika menyantap makanan ringan (snack) bersama teman mainnya. Nah, saat kita melihatnya, ingatkanlah ia. Janganlah bosan dan merasa jemu untuk mengingatkan anak kita. Insyaa Allah jika kita melakukannya dengan ikhlas mengharap ridha Allah, Allah akan mengganti usaha kita tersebut dengan pahala.

    4. Tidak bernafas dan meniup air minum.Termasuk adab ketika minum adalah tidak bernafas dan meniup air minum. Ada beberapa hadits mengenai hal ini:Dari Abu Qatadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian minum maka janganlah bernafas dalam wadah air minumnya.” (HR. Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 263)

    Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernafas atau meniup wadah air minum.” (HR. Turmudzi no. 1888 dan Abu Dawud no. 3728, hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani).Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan, “Larangan bernafas dalam wadah air minum adalah termasuk etika karena dikhawatirkan hal tersebut mengotori air minum atau menimbulkan bau yang tidak enak atau dikhawatirkan ada sesuatu dari mulut dan hidung yang jatuh ke dalamnya dan hal-hal semacam itu.

    Dalam Zaadul Maad IV/325 Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat larangan meniup minuman karena hal itu menimbulkan bau yang tidak enak yang berasal dari mulut. Bau tidak enak ini bisa menyebabkan orang tidak mau meminumnya lebih-lebih jika orang yang meniup tadi bau mulutnya sedang berubah. Ringkasnya hal ini disebabkan nafas orang yang meniup itu akan bercampur dengan minuman. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua hal sekaligus yaitu mengambil nafas dalam wadah air minum dan meniupinya.

    5. Bernafas tiga kali ketika minum.Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum beliau mengambil nafas di luar wadah air minum sebanyak tiga kali.” Dan beliau bersabda, “Hal itu lebih segar, lebih enak dan lebih nikmat.”

    Anas mengatakan, “Oleh karena itu ketika aku minum, aku bernafas tiga kali.” (HR. Bukhari no. 45631 dan Muslim no. 2028). Yang dimaksud bernafas tiga kali dalam hadits di atas adalah bernafas di luar wadah air minum dengan menjauhkan wadah tersebut dari mulut terlebih dahulu, karena bernafas dalam wadah air minum adalah satu hal yang terlarang sebagaimana penjelasan di atas.

    6. Larangan minum langsung dari mulut teko/ceret.Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari no. 5627).

    Menurut sebagian ulama minum langsung dari mulut teko hukumnya adalah haram, namun mayoritas ulama mengatakan hukumnya makruh. Ketahuilah wahai para ibu muslimah, yang sesuai dengan adab islami adalah menuangkan air tersebut ke dalam gelas kemudian baru meminumnya.Dari Kabsyah al-Anshariyyah, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahku lalu beliau minum dari mulut qirbah yang digantungkan sambil berdiri. Aku lantas menuju qirbah tersebut dan memutus mulut qirbah itu.” (HR. Turmudzi no. 1892, Ibnu Majah no. 3423 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

    Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air. Untuk mengkompromikan dengan hadits-hadits yang melarang, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Hadits yang menunjukkan bolehnya minum dari mulut wadah air itu berlaku dalam kondisi terpaksa.” Mengompromikan dua jenis hadits yang nampak bertentangan itu lebih baik daripada menyatakan bahwa salah satunya itu mansukh (tidak berlaku).”(Fathul Baari, X/94)

    7. Minum dengan posisi duduk.Terdapat hadits yang melarang minum sambil berdiri. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum sambil berdiri. Barang siapa lupa sehingga minum sambil berdiri, maka hendaklah ia berusaha untuk memuntahkannya.” (HR. Ahmad no 8135)

    Namun disamping itu, terdapat pula hadits yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil berdiri. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027)Dalam hadits yang pertama Rasulullah melarang minum sambil berdiri sedangkan hadits kedua adalah dalil bolehnya minum sambil berdiri. Kedua hadits tersebut adalah shahih. Lalu bagaimana mengkompromikannya?

    Mengenai hadits di atas, ada ulama yang berkesimpulan minum sambil berdiri diperbolehkan, meski yang lebih utama adalah minum sambil duduk. Diantara ulama tersebut adalah Imam Nawawi dan Syaikh Utsaimin. Meskipun minum sambil berdiri diperbolehkan, namun yang lebih utama adalah sambil duduk karena makan dan minum sambil duduk adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Minum sambil berdiri tidaklah haram akan tetapi melakukan hal yang kurang utama.

    8. Menutup bejana air pada malam hari.Biasakan diri kita untuk menutup bejana air pada malam hari dan jangan lupa mengajarkan anak kita tentang hal ini. Sebagaimana hadits dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda,

    “Tutuplah bejana-bejana dan wadah air. Karena dalam satu tahun ada satu malam, ketika ituturun wabah, tidaklah ia melewati bejana-bejana yang tidak tertutup, ataupun wadah air yang tidak diikat melainkan akan turun padanya bibit penyakit.” (HR. Muslim)

    9. Puas dengan minuman yang ada dan tidak mencelanya.
    Ajarkan pula kepada anak, bahwa kita tidak boleh mencela makanan walaupun kita tidak menyukainya.

    Para ibu muslimah, itulah beberapa adab ketika minum sesuai kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Alangkah senangnya hati ini ketika kita melihat anak-anak kita meniru kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan membiasakan adab islami kepada anak semenjak kecil, Insya Allah saat dewasa kelak anak-anak akan lebih mudah untuk melaksanakan adab-adab dalam islam dalam kesehariannya, karena ia sudah terbiasa. Maka janganlah bosan untuk mengingatkan si kecil. Semoga Allah membalas usaha kita dengan pahala yang berlipat ganda. Amiin.

    Disusun ulang dari:Artikel Ustadz Aris Munandar tentang “Adab-Adab Makan Seorang Muslim” di www.muslim.or.id
    Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim..

    Kiat Agar Tetap Istiqomah

    Seorang sahabat kami tercinta, dulunya adalah orang yang menuntun kami untuk mengenal ajaran islam yang haq (yang benar). Awalnya, ia begitu gigih menjalankan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun selalu memberikan wejangan dan memberikan beberapa bacaan tentang Islam kepada kami. Namun beberapa tahun kemudian, kami melihatnya begitu berubah. Ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah suatu yang wajib bagi seorang pria, lambat laun menjadi pudar dari dirinya. Ajaran tersebut tertanggal satu demi satu. Dan setelah lepas dari dunia kampus, kabarnya pun sudah semakin tidak jelas. Kami hanya berdo’a semoga sahabat kami ini diberi petunjuk oleh Allah.

    Berlatar belakang inilah, kami menyusun risalah ini. Dengan tujuan agar kaum muslimin yang telah mengenal agama Islam yang hanif ini dan telah mengenal lebih mendalam ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa mengetahui bagaimanakah kiat agar tetap istiqomah dalam beragama, mengikuti ajaran Nabi dan agar bisa tegar dalam beramal. Semoga bermanfaat.

    Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah

    Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.

    Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,
    إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

    “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

    Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:

    1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
    2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
    3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]

    Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.

    Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. [4]

    Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.
    Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]

    Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
    إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ, أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)

    Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,
    يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِى فِى الإِسْلاَمِ قَوْلاً لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ – وَفِى حَدِيثِ أَبِى أُسَامَةَ غَيْرَكَ – قَالَ « قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».

    “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]

    Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah

    Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
    قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

    “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).

    Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]

    Kiat Agar Tetap Istiqomah

    Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.

    Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
    Allah Ta’ala berfirman,
    يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

    “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

    Tafsiran ayat “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” dijelaskan dalam hadits berikut.
    الْمُسْلِمُ إِذَا سُئِلَ فِى الْقَبْرِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ .

    “Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.“[9]

    Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan sholih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur (ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir, pen).” Perkataan semacam Qotadah diriwayatkan dari ulama salaf lainnya.[10]

    Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik.

    Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

    Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.

    Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
    قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

    “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)[11] menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

    Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat,
    وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلا

    “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)

    Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. [12] Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
    هُوَ لِلَّذِينَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ

    “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44). Qotadah mengatakan, “Allah telah menghiasi Al Qur’an sebagai cahaya dan keberkahan serta sebagai obat penawar bagi orang-orang beriman.”[13] Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, “Katakanlah wahai Muhammad, Al Qur’an adalah petunjuk bagi hati orang beriman dan obat penawar bagi hati dari berbagai keraguan.”[14]

    Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

    Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah

    Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

    “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [15]

    An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”[16]

    Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.”[17] Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.

    Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
    يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

    “Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.”[18]

    Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.

    Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.

    Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
    وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

    “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11)

    Contohnya kita bisa mengambil kisah istiqomahnya Nabi Ibrahim.
    قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70)

    “Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS. Al Anbiya’: 68-70)

    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
    آخِرَ قَوْلِ إِبْرَاهِيمَ حِينَ أُلْقِىَ فِى النَّارِ حَسْبِىَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

    “Akhir perkataan Ibrahim ketika dilemparkan dalam kobaran api adalah “hasbiyallahu wa ni’mal wakil” (Cukuplah Allah sebagai penolong dan sebaik-baik tempat bersandar).”[19] Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian tersebut? Beliau menyandarkan semua urusannya pada Allah, sehingga ia pun selamat. Begitu pula kita ketika hendak istiqomah, juga sudah seharusnya melakukan sebagaimana yang Nabi Ibrahim contohkan. Ini satu pelajaran penting dari kisah seorang Nabi.

    Begitu pula kita dapat mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa ‘alaihis salam dalam firman Allah,
    فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ, قَالَ كَلا إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ

    “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.” (QS. Asy Syu’aro: 61-62). Lihatlah bagaimana keteguhan Nabi Musa ‘alaihis salam ketika berada dalam kondisi sempit? Dia begitu yakin dengan pertolongan Allah yang begitu dekat. Inilah yang bisa kita contoh.

    Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan sebagaimana mereka katakan berikut ini.

    Basyr bin Al Harits Al Hafi mengatakan,
    أَنَّ أَقْوَامًا مَوْتَى تَحْيَا القُلُوْبَ بِذِكْرِهِمْ وَأَنَّ أَقْوَامًا أَحْيَاءَ تَعْمَى الأَبْصَارَ بِالنَّظَرِ إِلَيْهِمْ

    “Betapa banyak manusia yang telah mati (yaitu orang-orang yang sholih, pen) membuat hati menjadi hidup karena mengingat mereka. Namun sebaliknya, ada manusia yang masih hidup (yaitu orang-orang fasik, pen) membuat hati ini mati karena melihat mereka.“[20] Itulah orang-orang sholih yang jika dipelajari jalan hidupnya akan membuat hati semakin hidup, walaupun mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Namun berbeda halnya jika yang dipelajari adalah kisah-kisah para artis, yang menjadi public figure. Walaupun mereka hidup, bukan malah membuat hati semakin hidup. Mengetahui kisah-kisah mereka mati membuat kita semakin tamak pada dunia dan gila harta. Wallahul muwaffiq.

    Imam Abu Hanifah juga lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih. Beliau rahimahullah mengatakan,
    الْحِكَايَاتُ عَنْ الْعُلَمَاءِ وَمُجَالَسَتِهِمْ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ كَثِيرٍ مِنْ الْفِقْهِ لِأَنَّهَا آدَابُ الْقَوْمِ وَأَخْلَاقُهُمْ

    “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.“[21]

    Begitu pula yang dilakukan oleh Ibnul Mubarok yang memiliki nasehat-nasehat yang menyentuh qolbu. Sampai-sampai ‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan mengenai Ibnul Mubarok, “Kedua mataku ini tidak pernah melihat pemberi nasehat yang paling bagus dari umat ini kecuali Ibnul Mubarok.“[22]

    Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnul Mubarok biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang menanyakan pada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnul Mubarok menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” [23] Maksudnya, Ibnul Mubarok tidak pernah merasa kesepian karena sibuk mempelajari jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.

    Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.

    Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman,
    وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146) وَمَا كَانَ قَوْلَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (147) فَآَتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْآَخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (148

    “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).

    Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
    رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

    “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)

    Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah,
    رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

    “Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron:
    Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,
    يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

    “Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

    Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
    يَا أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ أَزَاغَ

    “Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.“[24]
    Dalam riwayat lain dikatakan,
    إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا

    “Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.“[25]

    Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.

    Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman,
    وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آَيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

    “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)

    Allah juga memerintahkan agar selalu bersama dengan orang-orang yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

    “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
    مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

    “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” [26]

    Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[27]

    Para ulama pun memiliki nasehat agar kita selalu dekat dengan orang sholih.

    Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
    نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ

    “Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengilapkan hati.“[28] Maksud beliau adalah dengan hanya memandang orang sholih, hati seseorang bisa kembali tegar. Oleh karenanya, jika orang-orang sholih dahulu kurang semangat dan tidak tegar dalam ibadah, mereka pun mendatangi orang-orang sholih lainnya.

    ‘Abdullah bin Al Mubarok mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.”

    Ja’far bin Sulaiman mengatakan, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi’.”[29]
    Ibnul Qayyim mengisahkan, “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan sempit dalam menjalani hidup, kami segera mendatangi Ibnu Taimiyah untuk meminta nasehat. Maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.[30]

    Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada kebaikan.

    Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.

    Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.

    ***

    Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 20 Dzulhijah 1430 H

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
    Artikel www.muslim.or.id
    [1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.
    [2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.
    [3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
    [4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.
    [5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245.
    [6] HR. Muslim no. 38.
    [7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246.
    [8] Idem
    [9] HR. Bukhari no. 4699 dan Muslim no. 2871, dari Al Barro’ bin ‘Azib.
    [10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4/502.
    [11] Malaikat Jibril disebut ruhul qudus oleh Allah agar beliau tersucikan dari segala macam ‘aib, sifat khianat, dan kekeliruan (Lihat Taisir Al Karimir Rohman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 449, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H). Sehingga tidak boleh dikatakan bahwa Jibril memanipulasi ayat atau menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Jibril dan bukan dari Allah. Ini sungguh telah menyatakan Jibril khianat dalam menyampaikan wahyu dari Allah. Wallahul muwaffiq.
    [12] Lihat Wasa-il Ats Tsabat, Syaikh Sholih Al Munajjid, hal. 2-3, Asy Syamilah.
    [13] Lihat Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 21/438, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
    [14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/184.
    [15] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
    [16] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/71, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, tahun 1392 H.
    [17] Fathul Baari lii Ibni Rajab, 1/84, Asy Syamilah
    [18] HR. Bukhari no. 1152.
    [19] HR. Bukhari no. 4564.
    [20] Shifatush Shofwah, Ibnul Jauziy, 2/333, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1399 H.
    [21] Al Madkhol, 1/164, Mawqi’ Al Islam
    [22] Shifatush Shofwah, 1/438.
    [23] Idem.
    [24] HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
    [25] HR. Ahmad (3/257). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim.
    [26] HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
    [27] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
    [28] Siyar A’lam An Nubala’, 8/435, Mawqi’ Ya’sub.
    [29] Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Sayyid bin Husain Al ‘Afani, hal. 466, Darul ‘Affani, cetakan pertama, tahun 1421 H
    [30] Lihat Shahih Al Wabilush Shoyyib, antara hal. 91-96, Dar Ibnul Jauziy

    http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/kiat-agar-tetap-istiqomah.html


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ….

    Kerajaan Saudi Arabia – Riyadh
    Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
    1430 H – 2009 M

    Apakah Anda Serius Dalam Belajar Agama?

    Makalah singkat: Menjelaskan pentingnya serius dalam menuntut ilmu disertai ungkapan-ungkapan para ulama terkait hal itu, dan menerangkan bahwa memahami ilmu agama menuntun kepada kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat, kemudian menyebutkan tahapan-tahapan dalam menunut ilmu….

    الحمد لله تعالى الذي علم الإنسان. وهدى إلى الفرقان. والص
    لاة والسلام على النبي المرسل بالقرآن. وعلى آله وأصحابه سادة أهل الإيمان.
    Saudaraku: Sesungguhnya beribadah kepada Allah SWT adalah tujuan utama penciptaan makhluk di dunia hanya untuk itu mereka diciptaka dan orang yang bahagia diantara mereka adalah orang yang sibuk dengan tugas ibadah.

    Ibadah tidak menjadi benar kecuali jika dilakukan dengan pengetahuan yang jelas, karena itu Allah SWT mengutus para rasul a.s., diturunkanya kitab-kitab, semua itu agar membimbing manusia kepada jalan yang lurus. Para pengikut rasul berada di atas pengetahuan yang jelas, mereka adalah manusia yang paling mengerti bagaimana beribadah kepada Tuhanya, karena mereka telah mempelajari wahyu, adapun orang yang buta akan ilmu wahyu, maka itulah orang yang bingung dan tidak akan dapat menyembah Tuhanya dengan pengetahuan yang jelas.

    Wahai saudaraku, marilah kita merenungi muhasabah ini:
    Seriuskah anda dalam belajar tentang agama anda?

    Ini adalah tema muhasabah kita, dan ini adalah pertanyaan yang harus ditanyakan oleh setiap muslim kepada dirinya…

    Saudaraku, keseriusan anda dalam mempelajari agama anda adalah awal keberuntungan anda..karena anda akan meniti jalan menuju surga

    Imam Hasan Al-Bashri mengatakan: “ Sesungguhnya seseorang belajar satu bab tentang masalah agama, lalu ia mengamalkan, itu lebih baik dari dunia dan segala isinya”
    Sofyan Al-Tsauri mengatakan:” Tiada sesuatu yang dimaksudkan untuk Allah yang lebih utama dari menuntut ilmu, dan tidak ada menuntut ilmu di suatu masa yang lebih baik dari masa sekarang, alangkah membutuhkanya anda wahai saudaraku muslim akan ilmu yang bermanfaat yang denganya anda mengenal Tuhanmu, lalu kamu meng-Esakan-Nya(tidak menyekutukan-Nya) dalam beribadah dan menyembah-Nya dengan pengetahuan yang jelas, dan kemulian ilmu itu sesuai dengan kemulian yang dipelajari, dan ilmu syar’i itu mulia semata-mata karena kemuliaan agama, dan itu adalah harta yang termahal.

    Rasulullah saw bersabda:
    ((الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها، إلا ذكر الله وما والاه، أو عالماً أو متعلما)) (رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما:السلسلة الصحيحة:2797(
    “ Dunia itu berisi laknat, seluruh isinya terlaknat, kecuali zikir kepada Allah dan yang terkait denganya, atau orang yang berilmu atau terpelajar.” (HR: Tirmizi, Ibnu Majah dll).

    Wajib atasmu wahai orang muslim, untuk mengetahui bahwa mempelajari agama bagi anda adalah kebutuhan yang jauh lebih penting dari sekedar makan dan minum!
    Sebagaimana anda serius dalam mencari rezki untuk hidup, maka hendaklah anda juga serius dalam mempelajari agama anda, karena itulah kehidupan yang sebenarnya yang tanpanya anda ibarat mati.

    Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: ” Manusia lebih membutuhkan ilmu dari sekedar membutuhkan makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali sehari, sedang ilmu senantiasa dibutuhkan selama nafas masih dikandung badan.”
    Ibnu Al-Qayim mengatakan:” Orang-orang yang memilki pengetahuan tentang Tuhan-Nya dan tentang perintah-Nya, mereka itulah ruh kehidupan sebenarnya, mereka senantiasa dibutuhkan dan tidak pernah tidak walau sekejap, kebutuhan hati akan ilmu tidak sama dengan kebutuhan nafas akan udara, ia lebih besar!, secara umum ilmu bagi hati ibarat air bagi ikan, jika ia kehilangan maka ia mati, ilmu yang datang kepada hati ibarat cahaya datang kepada mata.”

    Wahai saudaraku, Berangkat dari kebutuhan yang besar inilah, maka wajib bagi setiap muslim untuk belajar tentang agamanya sesuatu yang dapat membimbingnya agar beribadah kepada Allah SWT dengan pengetahuan yang jelas.

    Rasulullah saw bersabda:
    ((طلب العلم فريضة على كل مسلم) (رواه ابن ماجه:صحيح ابن ماجه للألباني:184)
    “ Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim” ( HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah milik Al-Albani: 184).

    Imam Malik pernah ditanya tentang menuntut ilmu, apakah wajib? Ia menjawab:“ Adapun pengetahuan tentang syariat-syariatnya, sunah-sunahnya dan fiqhnya yang nampak maka hal itu wajib, dan yang selainya termasuk darinya, barang siapa lemah (tidak ada kemampuan) dalam mengetahuinya maka tidak ada kewajiban atasnya“

    Ibnu Abdul Barr mengatakan: “ Para ulama bersepakat bahwa ilmu ada yang fardhu ain atas setiap orang, dan ada yang fardhu kifayah, yaitu jika ada yang telah melaksanakanya maka kewajibanya gugur atas yang lain, dan mereka berbeda pendapat dalam perincianya , adapun yang wajib atas semua orang dari hal tersebut adalah kewajiban-kewajiban yang tidak ada keleluasaan bagi manusia untuk tidak mengetahuinya.“

    Ia menyebutkan diantara hal tersebut adalah: Ma’rifatullah (mengenal Allah), tauhid, shalat lima waktu beserta pekerjaan-pekerjaan yang wajib untuk dilakukan di dalamnya, puasa ramadhan dan syarat-syarat syah maupun syarat-syarat yang membatalkanya, haji jika memiliki kemampuan untuk melakukanya, zakat jika memiliki harta, dan segala hal yang tidak ada udzur untuk tidak mengetahuinya, seperti; haramnya zina, riba, khamr, memakan daging babi, memakan bangkai, ghasab, menyogok, persaksian palsu, memakan harta orang dengan cara batil, haramnya berbuat zalim, dan keharaman-keharaman yang lain.

    Wahai saudaraku, perkara-perkara di atas adalah hal-hal yang tidak layak bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya, intropeksilah diri anda: seberapa bagian ilmu syar’i yang telah anda milki?

    Manusia berbeda-beda tingkat keseriusanya dalam belajar agama, saya akan menyebutkan tingkatan-tingkatan tersebut dari perkataan para ulama, lihatlah diri anda ada tigkatan manakah?

    Imam Ali r.a. berkata: “ Manusia itu ada tiga; ulama robbani, pelajar yang meniti jalan keselamatan, dan orang yang hina yang mengikuti setiap seruan(baik ataupun buruk) terombang-ambing oleh angin“

    Ibnu Mas’ud berkata:“ Jadilah kamu ulama atau pelajar, dan jangan menjadi antara keduanya“

    Dari Humaid dari Al-Hasan bahwasanya Abu Darda‘ berkata: “ Jadilah kamu ulama atau pelajar, atau pecinta, atau pengikut,dan jangan menjadi yang kelima, karena kamu akan binasa!

    Humaid berkata: Aku bertanya kepada Al-Hasan: Apa yang kelima?
    Ia menjawab: Mubtadi‘ (Ahli bid’ah).
    Saudaraku, Hisablah dirimu; kamu berada digolongan mana dari golongan-golangan tersebut?

    Jangan sekali-kali kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak memperdulikan aturan agama dan fiqh!

    Berapa banyak orang shalat sedang ia tidak mengetahui cara shalat yang benar sebagaimana shalatnya Rasulullah saw!
    Dan berapa banyak orang berpuasa yang melakukan banyak pelanggaran sedang ia tidak menyadarinya!

    Dan berapa banyak orang yang berangkat haji ke baitul haram sedang ia tidak mengetahui bagaimana manasik yang benar.!

    Dan berapa banyak pelaku bid’ah yang yang melakukan berbagai perbuatan bid’ah sedang ia menyangkah hal itu bagian dari sunah!

    Dan berapa banyak pedagang yang mempraktekan berbagai macam bentuk muamalah yang haram, sedang ia menyangka hal itu adalah halal!

    Dan berapa banyak orang yang memakan harta manusia secara batil dalam keadaan ia tidak mampu membedakan antara yang halal dan yang haram!

    Dalam semua itu anda akan mendapatkan bahwa mayoritas penyebabnya adalah kebodohan akan hukum syariat, dan yang aneh lagi adalah anda akan menemukan fakta di atas terjadi pada sekelompok orang dalam usia yang tidak layak bagi mereka untuk tidak mengetahui hukum-hukum syariat, khususnya dalam situasi yang banyak didapatkan berbagai sarana untuk belajar hukum-hukum syariat, sehingga menjadi mudah bagi muslim untuk mengenal agamanya.

    Abdullah bin Al-Mubarak pernah ditanya: Sampai kapan seseorang masih harus belajar? Ia menjawab: selama kebodohan itu tidak pantas baginya, ia masih harus belajar.“
    Muhamad bin Al-Fadhl As-Samarqandi Al-Wa’idz berkata: Berapa banyak orang bodoh mendapatkan ilmu maka ia selamat, dan berapa banyak ahli ibadah yang beramal dengan amalan orang bodoh maka ia binasa, hadirlah, berilmulah, jika niat tidak hadir kepadamu, maka sesungguhnya engkau dapat mencarinya dengan ilmu, dan sesungguhnya sesuatu yang nampak pertama kali dari hamba adalah lisanya, dan sesuatu yang pertama kali nampak dari akalnya adalah kedewasaanya.“

    Wahai saudaraku, antusiaslah dalam mempelajari agamamu, hilangkan segala hambatan yang yang menghambatmu darinya, sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar. Dan hambatan pertama yang menghalangi seseorang dari belajar ilmu syar’i: malu dan sombong.

    Mujahid berkata: “ Tidak akan belajar orang yang malu dan sombong.“
    Adapun malu, maka setiap rasa malu yang mencegah seseorang dari kemuliaan, maka itu bukanlah malu, karena malu adalah perangai yang mencegah seseorang dari keburukan, sedang orang yang tidak datang kepada majlis-majlis ilmu, dan tidak bertanya kepada ulama tentang sesuatu yang tidak ia fahami, maka ia berada dalam bahaya yang besar! Karena ia akan melakukan sesuatu tanpa ilmu!

    Dan adapun orang sombong, Maka ia terjatuh ke dalam dosa besar, terkait orang sombong Rasulullah saw bersabda:
    )) لا يدخل الجنة من في قلبه خردلة من كبر ) ((رواه الحاكم والطبراني:صحيح الترغيب للألباني:2910(
    “ Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kesombongan” (HR: Al-Hakim dan At-Tabrani: Shahih at-targib imam al-bani)
    Saudaraku, sungguh faham agama adalah indikasi kebaikan dan keberuntunganmu, karena jika kamu memiliki pehaman tentang agamamu, maka kamu akan menjadi orang yang dapat beribadah kepada Allah dengan pengetahuan yang jelas, sehingga kamu akan semakin dekat kepada-Nya.

    Rasulullah saw bersabda:
    ))من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين… ) ((رواه البخاري ومسلم(
    “ Barang siapa dikehendaki Allah suatu kebaikan, niscaya ia akan diberi pehaman tentang agama” (HR; Bukhari Muslim)
    Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan:“ Maksud hadits di atas adalah barang siapa tidak bertafaquh(belajar/memahami) agama atau tidak mempelajari kaidah-kaidah islam dan cabang-cabang yang terkait denganya, maka ia tercegah dari mendapatkan kebaikan, karena orang yang tidak mengenal perkara-perkara tentang agamanya tidak dikatakan faqih (ahli fiqh/agama), tidak pula dikatakan thalib fiqh(pelajar fiqh/agama), sehingga pantas untuk dikatakan sebagai orang yang tidak dikehendaki padanya kebaikan, hal itu menunjukan dengan jelas keutamaan para ulama atas manusia selainya, disamping menunjukan bahwa tafaquh fi ad-din (belajar agama) lebih utama atas belajar ilmu-ilmu yang lain.

    Intropeksilah diri kalian wahai orang yang berakal, tidakah anda menginginkan untuk masuk ke dalam barisan orang-orang yang dikehendaki padanya kebaikan ini!
    Sungguh tidak sama antara orang yang faham agamanya dengan orang yang bodoh tentang agamanya!

    قُل هَلْ يَسْتوِي الذِينَ يَعْلَمُونَ وَالذيِنَ لا يَعْلَمُونَ إنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الأَلبَابِ ) الزمر:9(
    “ Katakanlah, apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran“ (QS: Az-Zumar: 9).

    Abu Darda’ mengatakan:” Allah SWT memberikan rezki kepada orang-orang yang bahagia, dan mencegahnya dari orang-orang yang sengsara.”
    Ibnu Qayim berkata:” Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan jiwa, ruh dan hati, yakni kebahagiaan ilmu yang membuahkan manfaat, dialah yang kekal dalam kondisi apapun, dan dialah yang selalu menyertai hamba dalam seluruh perjalananya, dan dalam tiga waktunya( pagi, siang dan malam), denganya ia naik ke tangga keutamaan dan derajat kesemurnaan, semakin lama akan semakin kuat dan tinggi.”

    Akan tetapi alangkah banyaknya jumlah orang-orang yang lengah dari mencari kebahagiaan ini!. Anda melihat diantara mereka ada yang berambisi dalam mengeruk dinar dan dirham, serius dalam mempelajari sarana-sarana dalam mendapatkan rezki dan menumpuk harta, namun anda mendapatkanya zuhud dalam mempelajari agamanya dan dalam menumpuk tabungan ilmu yang bermanfaat!
    Mereka cemas jika rugi dalam hartanya, meski sedikit…. namun tidak pernah cemas saat rugi besar dalam agamanya.

    Mereka gembira jika mendapatkan sedikit harta….. namun tidak merasa gembira ketika mendapatkan ilmu tentang agamanya.
    عن عقبة بن عامر قال: خرج رسول الله ونحن في الصفة، فقال: أيكم يحب أن يغدو كل يوم إلى بطحان، أو إلى العقيق؛ فيأتي منه بناقتين كوماوين، في غير إثم ولا قطع رحم؟! فقلنا: يا رسول الله نحب ذلك، قال: أفلا يغدو أحدكم إلى المسجد؛ فيعلم أو يقرأ آيتين من كتاب الله عز وجل خير له من ناقتين، وثلاث خير له من ثلاث، وأربع خير له من أربعٍ، ومن أعدادهن من الإبل؟ (رواه مسلم)

    “ Dari Uqbah bin Amir, ia berkata: Rasulullah saw keluar ketika kami berada di shuffah(tempat di masjid nabawi), lalu bersabada:” Siapa diantara kalian yang mau pergi setiap hari ke bath’han(saluran air sungai yang berpasir dan berkerikil) atau lembah, lalu ia datang darinya dengan membawa dua ekor unta yang besar punuknya, tanpa melalui dosa maupun memutuskan tali kekerabatan?, kami berkata: Ya Rasulullah kami mau itu, ia bersabda: “ kenapa salah seorang dari kalian tidak pergi ke masjid, lalu ia belajar atau membaca dua ayat dari kitab Allah SWT, itu lebih baik dari dua unta, dan tiga lebih baik dari tiga, dan empat lebih baik dari empat, dan begitu seterusnya lebih baik dari jumlah unta seterusnya”. (HR: Muslim).

    Abu Ganiah Al-Khaulani berkata:” Bisa jadi satu kata lebih baik dari memberi harta, karena harta menjadikanmu lalim, sedang kata menjadikanmu mendapatkan petunjuk.”
    Saudaraku, Sesungguhnya sebaik-baik ilmu yang kamu pelajari adalah ilmu yang menunjukanmu kepada ma’rifatullah dan menuntunmu beribadah kepada-Nya dengan pengetahuan yang jelas, dan kamu tidak akan pernah mendapatkan harta yang lebih mahal darinya.

    Nabi saw bersabda:
    ((خيركم من تعلم القرآن وعلمه)) ( رواه البخاري(
    “ Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-qur’an dan mengajarkanya” (HR: Bukhari)

    Dan dari Ali Al-Azdi, ia berkata:” Aku bertanya kepada Ibnu Abas tentang jihad, ia menjawab: “ Tidakah kamu mau aku tinjukan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari jihad? Kamu bangun masjid yang di dalamnya kamu mengajar al-qur’an dan sunah-sunah rasul saw, dan fiqh (ilmu agama).

    Saudaraku, sesungguhnya bertanya kepada orang-orang yang berilmu adalah tangga menuju pemahaman akan ilmu agama, Allah SWT telah menganjurkan kalian agar bertanya kepada para ulama jika anda menemukan permasalahan. Dia berfirman:
    ))فَاسْألوا أهْل الذَكْرِ إن كُنُتْم لا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء:7(
    “ Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”

    Ibnu Abas r.a. pernah ditanya: Bagaimana aku bisa mendapatkan ilmu ini?
    Ia menjawab:” Dengan lisan yang senantiasa bertanya dan hati yang selalu memahami.”
    Bertanya kepada orang yang berilmu adalah obat bagi kebodohan, janganlah kamu sekali-kali melakukan satu perkara agama dalam keadaan kamu tidak mengetahui hukumnya, karena sesungguhnya beribadah kepada Allah SWT dengan kebodohan hanya akan menambah jauh seorang hamba dari Tuhanya.

    Ibnu Mas’ud r.a. berkata:” Ilmu itu bertambah dengan pencarian, dan didapatkan dengan pertanyaan, pelajarilah apa yang tidak kamu ketahui, dan amalkanlah apa yang kamu ketahui.”

    Abu Darda’ r.a. berkata:” Ilmu itu diperoleh dengan belajar, dan kedewasaan itu dicapai dengan latihan, barang siapa berusaha mencari kebaikan, pasti akan diberi, dan barangsiapa menjauhi keburukan pasti dijauhkan darinya.”
    Ibnu Al-Mubarak ditanya: Apakah yang tidak ada keluasan bagi orang mukmin kecuali harus mencarinya? Dan apa yang wajib dipelajarinaya? Ia menjawab: “ tidak boleh baginya untuk melakukan sesuatu melainkan dengan ilmu, dan tidak ada keluasan baginya hingga ia bertanya.”

    Dan ketahuilah wahai saudaraku, dintara kemuliaan bagi orang yang antusias dalam belajar ilmu yang bermanfaat adalah bahwasanya rasulullah saw mewasiatkan itu, dan cukuplah itu sebagai kemuliaan bagi setiap orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar agama.
    Rasulullah saw bersabda:
    ))سيأتيكم أقوام يطلبون العلم، فإذا رأيتموهم فقولوا لهم: مرحباً مرحباً بوصية رسول الله واقنوهم ((

    “ Akan datang kepada kalian beberapa kaum yang menuntut ilmu, jika kalian melihat mereka, maka katakanlah kepada mereka: marhaban, selamat datang wasiat rasulullah saw, dan ajarilah mereka.” (HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah, Al-Bani: 203)
    Saudaraku, sungguh ilmu yang sedikit yang kamu bersungguh-sungguh dalam menuntutnya agar faham agama, lebih baik dari berlipat-lipat amal shalih yang kamu kerjakan, bagaimana tidak? Sesungguhnya ilmu itu membimbing kepada ibadah yang benar, tidak ada ibadah tanpa ilmu.

    Abu Hurairah r.a. berkata: “ Tiap seuatu ada tiangnya, dan tiang agama ini adalah fiqh(faham), Dan tidaklah Allah SWT disembah dengan sesuatu yang lebih utama dari fiqh(faham) dalam masalah agama. Sungguh, satu orang faqih(berilmu) lebih berat untuk dihadapi setan daripada seribu ahli ibadah.”

    Sesungguhnya kamu –wahai muslim-, tidak memerlukan banyak tenaga untuk dapat memahami agama, berikut inilah tahapan-tahapan belajar agama:

    Pertama: Mulailah dengan kitab Allah SWT (al-qur’an), berupayalah membaguskan bacaan al-quran sesuai dengan tajwid, dan sarana untuk itu banyak sekali, yang paling utama adalah membaca dihadapan seorang syekh yang benar bacaanya, disamping mendengar tilawah yang bagus dari kaset-kaset, memperbanyak praktek baca al-qur’an, dan sebaiknya anda juga merujuk kepada kitab-kitab tafsir, agar dapat memadukan antara pengetahuan tentang cara membaca yang benar dengan pemahaman terhadap makna ayat yang anda baca.

    Kedua: Membaca kitab-kitab fiqh yang mudah, khususnya dalam tema-tema yang kamu butuhkan sehari-hari, seperti tata-cara solat, wudhu’, mandi, tayamum, hukum-hukum terkait orang yang bepergian. Dan jika kamu termasuk orang-orang yang punya harta, maka kamu harus mempelajari hukum-hukum seputar zakat, jual-beli dan muamalat.

    Ketiga: Membaca buku-buku yang ringkas seputar syarah hadits, dan ilmu-ilmu syar’i dalam tema-tema ringkas, urutan pertama adalah dalam hal ini adalah: ilmu tauhid, caranya dibaca dengan perlahan-lahan dan penuh pehaman, dan prinsip umum dalam belajar hal tersebut adalah meminta bimbingan dari syekh atau guru, jika tidak bisa sebagaimana kondisi kebanyakan orang, maka belajar dengan menggunakan tahapan-tahapan di atas dengan kesungguhan dan kesabaran dapat mengantarkan kepada hasil yang diinginkan.

    Keempat: Senantiasa bertanya kepada orang yang berilmu dalam setiap kali menjumpai permasalahan, memenej waktu luang dengan baik dan memanfaatkanya untuk mengambil pelajaran dari ceramah-ceramah.

    Keinginan yang kuat adalah prinsip utama semua hal di atas, maka wajib atas setiap muslim untuk bersungguh-sungguh dalam belajar agama dan menguatkan niatnya, ia tidak akan penah kehilangan pertolongan dari Allah SWT.

    Saudaraku, anda tidak harus menguasai seluruh ilmu syar’I, namun jika kamu memiliki kkesungguhan dan dorongam yang kuat untuk mencapai itu, maka itu adalah baik.
    Adapun batas minimal yang wajib untuk anda pelajari dari ilmu syar’i telah anda ketahui dari ulasan sebelumnya, yaitu sesuatu yang yang tanpanya anda tidak akan dapat beribadah kepada Allah SWT dengan benar.

    Maka bersungguh-sungguhlah dalam mempelajari agama anda, jangan sia-siakan waktu anda untuk sesuatu yang tida bermanfaat, dan memintalah kepada Allah agar Dia memberi pertolongan kepadamu.
    Rasulullah saw bersabda:

    )) سلوا الله علماً نافعاً، وتعوذوا بالله من علم لا ينفع)) (رواه ابن ماجه:صحيح ابن ماجه للألباني:3114 )
    “ Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan berlindunglah kepadanya dari ilmu yang tiada bermanfaat.“ (HR: Ibnu Majah; sahih Ibnu Majah; Albani: 3114).
    والحمد لله تعالى.. والصلاة والسلام على النبي محمد وآله وصحبه

    http://www.islamhouse.com/p/203145


    your comment