• Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga..//

    Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

    Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

    "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]

    “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]

    “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]

    Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

    Amma ba’du:
    Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
    Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

    “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” [Al-Baqarah: 153]

    Juga firman-Nya:

    “Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]

    Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

    Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.

    Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

    Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.

    Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

    Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.

    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

    “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

    Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.

    Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]

    Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

    Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.

    [1]. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]

    Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

    Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

    Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

    Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]

    [2]. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
    Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]

    Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

    “Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
    Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

    Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

    “Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•

    Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

    “Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]

    Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka.
    Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

    "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Menge-tahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]

    Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.

    Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.

    [3]. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
    Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    “Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]

    ‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]

    Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.

    Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.

    Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.

    Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk me-masuki Surga-Nya. Aamiin.

    Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpah-kan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.

    [Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
    ___________
    Foote Notes
    [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
    [2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
    [3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
    [4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
    [5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
    • Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
    [6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
    [7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
    [8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).

    Kamis, 27 Desember 2007 02:50:27 WIB

    MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA Oleh :Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

    http://www.almanhaj.or.id/content/2307/slash/0

  • Assalaamu’alaykum Wa rahmatullahi wa barakaatuhu
    Bismillaahirrahmanirrahim…….

    Firqah Selamat “Memegang Manhaj”

    Renungan
    أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي اْلجَنَّةِ وَ هِيَ اْلجَمَاعَةُ

    “Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan Ahlul Kitab telah terpecah menjadi 72 millah (prinsip dasar agama), sedangkan ummat ini akan terpecah menjasi 73 millah, 72 di neraka dan satu di syurga, yaitu al-Jama’ah”

    (HR. Abu Dawud ath-Thayalisiy: 275, Ahmad dalam Musnadnya 4/102, Abu Dawud: 5/5, ad-Darimiy: 2/158, Ibnu Abi ‘ Ashim: 1/7, al-Mirwaziy: 19,20, al-Ajuriy dalam asy-Syari’ah:18, ath-Thabraniy dalam al-Kabir: 19/376, al-Akbariy dalam al-Ibanah:1/371, al-Hakim :1/217, al-Lalikaiy dalam Syarh I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah:1/101, al-Bayhaqiy dalam Dala’il an-Nubuwwah: 6/541,542 dan al-Ashbahaniy dalam al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah: 1/253. al-Hafidz al-‘Iraqiy dalam Takhrij al-Ihya berkata:

    “Sanad-sanadnya jayyid” dan Ibnu Hajar dalam Tarikh al-Kasysyaf: “Sanadnya hasan”.

    Di dalam riwayat lain satu kelompok yang akan masuk surga itu adalah:

    مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي

    “Sesuatu yang dilakoni olehku dan para shahabatku”

    (HR. at-Tirmidziy dalam as-Sunnah: 59, al-‘Uqayliy dalam ad-Du’afa: 2/262,Ibnu Baththah: 1/368, al-Hakim dalam al-Mustadrak: 1/218, al-Ajurriy dalam

    asy-Syari’ah: 15,16, al-Lalikaiy: 1/99 dan Ibnu al-Jawziy dalam Talbis Iblis: 7)

    Hadits Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam yang mulia ini me-ngajarkan kepada kita beberapa prinsip manhaj (metode) beragama sebagai berikut:

    Sudah menjadi sunnatullah bahwa furqah (perpecahan) pasti akan terjadi. Peristiwa akan terjadinya furqah telah difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam al-Qur`an dan disabdakan Rasul-Nya. Dan kini fakta itu dapat kita lihat dan kita saksikan di dalam kehidupan kaum muslimin. Maha Benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala firman-Nya dan begitu pula apa yang disabdakan Rasul-Nya Salallohu Alaihi Wasalam.

    كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

    “Manusia itu adalah ummat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengu-tus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurun-kan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

    Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.

    Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebe-naran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” [QS. al-Baqa-rah (2): 213]

    وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

    “Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.

    Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (kepu-tusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya” [QS. Hūd (11): 118-119]

    al-Iftirāq (perpecahan) berarti:

    “Keluar dari Sunnah dan Jama`ah dalam salah satu atau beberapa masalah ushuluddin (pokok-pokok agama), baik yang bersifat i`tiqad mau-pun amal perbuatan, atau yang berkaitan dengan masalah-masalah besar bagi ummat”

    Mengapa hal itu sampai terjadi….?

    Setidaknya ada 8 (delapan) hal yang me-nyebabkan terjadinya iftiraq

    1. Ketidak benaran dalam menentukan sumber pengambilan dalil.

    Islam mengajarkan bahwa sumber pengambilan dalil adalah al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Ijma` (kesepakatan ulama tentang masalah agama), khususnya ijma` as-salaf ash-shaleh.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian ber-lainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” [QS. an-Nisā’ (4): 59]

    Akan tetapi, setelah Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam dan para shahabatnya wafat, tampak sekali di antara kaum muslimin ada sebagian ummat yang mengambil sumber agamanya bukan dari ketiga sumber tersebut.

    Di antara me-reka ada yang mengambil sumber dalil dari para filosof (padahal mereka adalah orang-orang kafir) seperti konsep JIL, ada yang melalui mimpi seorang syaikh, imam atau yang mereka sebut wali seperti mayo-ritas para penganut thariqat taSalallohu Alaihi Wasalamwuf, ada yang menjadikan akal sebagai standar kebenaran seperti kaum rasionalis, dan masih banyak lagi sumber lainnya.

    2. Kesalahan dalam memilih methode pemahaman dalil.

    Pemahaman al-Qur’an dan Hadits harus sesuai dengan pemahaman shahabat dan metode pemahaman mereka.

    Prinsip ini sangat kuat dan sangat penting dalam Islam. Kepentingan dan keutamaan-nya didukung oleh dalil yang kuat sekali. Di antara dalil-dalil yang mendukung prinsip ini adalah:

    a. Para shahabat telah dipuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala di banyak ayat suci al-Qur’an.

    Pujian yang diabadikan dan tidak diberikan kepada orang-orang sesudah mereka.

    مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

    “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud, demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat.

    Dan sifat-sifat mereka dalam Injil seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, dengan mereka Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. al-Fath (48): 29]

    Semua pujian ini menunjukan dengan nyata akan kebenaran manhaj para shahabat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mungkin memuji satu kaum dengan manhaj yang tidak diridhai-Nya.

    b. Para shahabat telah diakui sebagai ummat terbaik sepanjang sejarah dan telah diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

    “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah…” [QS. Āli Imrān (3): 110]

    Dengan sendirinya, ummat terbaik adalah ummat yang memiliki manhaj yang terbaik pula.

    c. Manhaj para shahabat telah dijadikan ukuran standar untuk mengukur keimanan setiap orang.

    Barangsiapa yang keimanannya cocok dengan keimanan shahabat, maka mereka telah mendapat hidayah, dan barangsiapa yang tidak demikian, atau bahkan malahan menolak manhaj shahabat, maka mereka adalah orang-orang yang sesat dan telah berbuat kesesatan.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ

    “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam kesesatan” [QS. al-Baqarah (2): 137]

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengancam setiap orang yang tidak mengikuti jalan shahabat.

    Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

    “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengkuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [QS. an-Nisā’ (4): 115]

    3. Kejahilan, penyelewengan dan penyingkiran terhadap agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Kebodohan dan kezaliman merupakan dua sebab di antara berbagai sebab penyim-pangan.

    Ada furqah yang disebabkan kebodohan (ketidaktahuan) tentang manhaj (metode) bergama as-salaf ash-shaleh, ada yang bodoh tentang hakekat wahyu dan rasionalitas yang sehat, ada pula karena lemahnya ilmu dan sedikitnya kefaqihan dalam agama, ada yang disebabkan kebodohan tentang makna-makna nash dan sebab-sebab turunnya ayat serta ada pula yang bodoh terhadap maqashid syari`ah (tujuan syari`ah).

    4. Tasyabbuh (meniru) orang-orang kafir.

    Rasulullah Salallohu Alaihi Wasalam bersabda:

    لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَذْوَ الْقَذَّةِ بِالْقَذَّةِ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ

    “Sesungguhnya kalian akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum, kalian sejengkal demi sejengkal, sampai-sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun, kalian pasti akan mengikutinya”

    Para shahabat bertanya:

    يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلْيَهُوْدُ وَ النَّصَارَى؟

    “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nashrani?”

    Maka beliau menjawab:

    (( فَمَنْ ))

    “Kalau bukan mereka, siapa lagi!” (HR. Ah-mad: 4/125 dan disebutkan oleh Ibn al-Atsīr dalam Jāmi` al-Ushūl: 10/34)

    Di antara penyimpangan-penyimpangan yang muncul adalah disebabkan sikap meniru orang-orang kafir, seperti:

    a. Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shalih.

    Seperti munculnya thariqat-thariqat, meng-anggap Nabi Khidir masih hidup, ziarah untuk meminta berkah ke kuburan orang-orang yang dianggap wali dan lain-lain.

    b. Menyelewengkan Kalamullah, baik lafazh maupun makna.

    Seperti melakukan pena`wilan sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala oleh para penganut Asy `ariyyah, mengarahkan lafazh-lafazh yang dicela Allah kepada para shahabat Nabi Salallohu Alaihi Wasalam oleh orang-orang Syi`ah Rafidhah dan lain-lain.

    5. Mengikuti hawa nafsu, ghuluw (berlebih-lebihan) dan ta`ashshub (fanatik selain kepada kebenaran).

    Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

    “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus” [QS. al-Mā’idah (5): 77]

    Ghuluw dan fanatik terhadap madzhab, partai atau ras tertentu telah banyak menje-rumuskan sebagian kaum muslimin ke dalam perpecahan yang tiada henti.

    Saudara-saudaraku kaum muslimin…..

    Walaupun terjadinya furqah merupakan sunnatullah yang pasti terjadi, akan tetapi Ra-sulullah Salallohu Alaihi Wasalam memberikan solusi (jalan keluar) dari semua itu dengan jama`ah.

    Apakah Jama`ah itu?

    Dalam bahasa, Jama`ah berarti persatuan atau orang-orang yang bersatu. Sedangkan dalam istilah, arti Jama`ah sama dengan arti bahasanya dengan tambahan “di atas Sunnah”, hal ini berasal dari dua kalimat yang berbeda untuk satu makna yaitu “Jama’ah” dan “mereka yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku”.

    Jadi kalimat kedua (dalam hadits kedua) menafsirkan arti Jama`ah (yang ada dalam hadits pertama), dengan demikian arti Jama’ah dalam istilah adalah “persatuan di atas sunnah” atau “orang orang yang bersatu di atas sunnah”.

    Demikianlah keadaan para shahabat da-lam kehidupan mereka. Oleh karena itu, pen-dapat yang mengatakan bahwa Jama`ah ber-arti “shahabat” adalah benar.

    Berdasarkan arti-arti tersebut di atas, maka penafsiran Imam al-Bukhariy dan para ulama lainnya, dari para ulama salaf dan para pengikut mereka, bahwa Jama`ah adalah “para ulama sunnah”, termasuk dalam penafsiran yang benar.

    Arti Jama`ah secara syari`i juga berarti “Jama`atul muslimin (Jama`ah Ahlussunnah) yang dipimpin oleh seorang imam”.

    Maka, berpegang teguhlah kepada jama-`ah sunniyyah, (manhaj atau metode) kese-lamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

    Jangan tertipu oleh berbagai tindak penyelewengan dari manhaj Ahlus Sunnah wal Jama`ah, walaupun dibawa dan diajarkan oleh orang yang dianggap sebagai manusia paling terhormat atau paling pintar sekali-pun, baik syaikh, kyai ataupun seorang yang mengaku intelek, cendekiawan atau pakar.

    Ingatlah, manhaj bukanlah figuritas!

    http://hasmi.org


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim
    Bagaimanakah kita Memanfaatkan Waktu?

    Segala puji hanya bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallama yang tidak ada Nabi setelahnya, amma ba’du:

    Barang siapa yang mengikuti kabar tentang umat manusia dan memperhatikan keadaan mereka, dia akan mengetahui bagaimana mereka menghabiskan waktu, bagaimana mereka menghabiskan umur, sehingga dia akan mengetahui bahwa kebanyakan dari mereka menyia-nyiakan waktunya, mereka terhindar dari kenikmatan dapat memanfaatkan umur dan menggunakan waktu, oleh karena itu kita melihat mereka menafkahkan waktunya dan menghabiskan umurnya dengan apa-apa yang tidak mendatangkan manfaat baginya.

    Sesungguhnya seseorang ada yang merasa heran dari kesenangan mereka dengan berjalannya hari serta berbahagia dengan berlalunya ia, mereka lupa bahwa setiap menit bahkan setiap saat yang telah berlalu dari umurnya akan mendekatkan dirinya kepada kubur dan akherat, serta menjauhkannya dari dunia.

    Sesungguhnya kita senang akan hari yang dilalui ***
    setiap hari akan berlalu sebagian dari umur ini

    Apabila waktu adalah kehidupan dan dia adalah umur yang sebenarnya bagi manusia, dan bahwa penjagaannya merupakan pokok setiap kebaikan, penyia-nyiaannya merupakan pokok setiap kejelekan, maka ia mengharuskan suatu renungan yang menjelaskan tentang berharganya waktu dalam kehidupan seorang Muslim, apa yang diwajibkan bagi seorang Muslim terhadap waktunya, apa saja penyebab-penyebab yang dapat membantu untuk menjaga waktu, dan dengan apa seorang Muslim dapat memanfaatkan waktunya.

    Kita meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita termasuk dari dia yang dipanjangkan umur dan baik amalannya, serta mengaruniai kita dengan kebaikan dalam memanfaatkan waktu, karena Dia-lah sebaik-baik yang diminta.

    Keberhargaan waktu dan kepentingannya:

    Apabila manusia mengetahui keberhargaan sesuatu dan kepentingannya, niscaya dia akan menjaga dan menghindar dari menyia-nyiakan serta kehilangannya, dan ini merupakan suatu yang lazim. Oleh karena itu apabila seorang Muslim mengetahui akan keberhargaaan serta kepentingan waktunya, maka dia akan lebih berhati-hati dalam menjaga dan memanfaatkannya pada apa-apa yang mendekatkan dirinya kepada Allah,

    inilah Imam Ibnul Qoyyim yang menjelaskan akan hakekat ini dengan perkataannya:

    [waktu manusia adalah umur dia pada hakekatnya, ia adalah unsur kehidupan yang kekal dalam kenikmatan yang abadi, dan unsur kehidupannya yang sempit dalam adzab yang pedih, ia akan berlalu secepat berlalunya awan, barang siapa yang waktunya untuk Allah dan pada Allah, maka itulah kehidupan dan umurnya, dan yang selain itu tidak akan dihisab dari kehidupannya… apabila dia habiskan waktunya dalam kelalaian, kesia-siaan dan angan-angan yang batil, yang mana suatu terbaik yang dia habiskan adalah tidur dan kekosongan, maka kematian bagi orang ini akan lebih baik dari kehidupannya].
    Ibnul Jauzi berkata: [setiap manusia berkewajiban untuk mengetahui kemuliaan zaman dan keberhargaan waktunya, sehingga tidak ada yang hilang darinya sedikitpun selain dari taqarrub, dia akan mengedepankan padanya apa yang terbaik dari perkataan dan perbuatan, hendaklah niatnya tegak berada pada kebaikan tanpa henti dengan apa yang tidak melemahkan badan dari beramal].

    Al-Qur’an dan Sunnah sangat perhatian terhadap waktu dari berbagai sisi dan dengan gambaran yang bermacam-macam, Allah telah bersumpah dengannya pada awal beberapa surah dalam beberapa juz yang berbeda, seperti: demi malam, demi siang, demi waktu fajar, demi waktu dhuha, demi masa, sebagaimana firman-Nya: “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) (1) dan siang apabila terang benderang” [QS. Al-Lail: 1-2], “Demi fajar (1) dan malam yang sepuluh” [QS. Al-Fajr: 1-2], “Demi waktu matahari sepenggalahan naik (1) dan demi malam” [QS. Adh-Dhuha: 1-2], “Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” [QS. Al-'Ashr: 1-2].

    Sudah diketahui bahwasanya apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari makhluk-Nya, maka ia menunjukkan kepentingan dan keagungannya, dan juga untuk menarik perhatian kepadanya serta menyadari akan besarnya manfaat yang ada padanya.

    Sunnah datang untuk lebih menekankan tentang pentingnya waktu serta berharganya zaman, dan telah diulang-ulang bahwa manusia akan bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat. Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasulullah bersabda:

    ” لا تزول قدم عبد يوم القيامة حتى يُسأل عن أربع خصال: عن عمره فيم أفناه, وعن شبابه فيم أبلاه, وعن ماله من أين اكتسبه وفيم أنفقه, وعن علمه ماذا عمل فيه ”

    “Tidak akan bergerak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya pada apa dia habiskan, tentang masa mudanya pada apa dia luangkan, tentang hartanya darimana dia dapatkan dan untuk apa dia pergunakan, dan tentang ilmunya apa yang dia amalkan padanya” [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani].

    Dan Nabi-pun mengabarkan bahwa waktu merupakan salah satu dari nikmat-nikmat Allah terhadap makhluk-Nya, seorang hamba diharuskan untuk mensyukuri nikmat yang dia dapat, dan jika tidak maka ia akan ditarik dan hilang darinya. Mensyukuri nikmat waktu dilakukan dengan menggunakannya pada keta’atan dan memanfaatkannya pada amal-amal saleh, bersabda Rasulullah :
    ” نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ ”

    “Dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu padanya: kesehatan dan waktu luang” [HR. Bukhori]

    Kewajiban seorang Muslim terhadap waktunya:

    Selama untuk waktu terdapat seluruh kepentingan-kepentingan ini, bahkan sampai dianggap kalau ia adalah kehidupan yang sebenarnya, maka bagi setiap Muslim terdapat kewajiban-kewajiban sekitar waktunya, dia harus meraihnya dan meletakkan dihadapan matanya, diantara kewajiban-kewajiban tersebut:

    • Menjaga untuk selalu mengambil manfaat dari waktu:

    Apabila manusia sangat perhatian sekali terhadap hartanya, sangat menjaga dan memanfaatkannya, dan dia mengetahui bahwa harta itu akan datang dan pergi, maka dia harus memperhatikan waktu dan memanfaatkan seluruhnya pada apa yang akan bermanfaat baginya dalam agama dan dunianya, karena apa yang akan kembali kepadanya dari kebaikan dan kebahagiaan akan lebih besar, terutama jika dia ketahui bahwa apa yang telah pergi darinya tidak akan kembali.

    Orang-orang saleh terdahulu selalu sangat perhatian sekali terhadap waktunya; karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui akan keberhargaannya, mereka menjaga dengan sebenarnya agar tidak melewati satu hari atau satu saat dari zaman walaupun sangat pendek, tanpa menambah padanya dengan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, melawan hawa nafsu atau memberikan manfaat terhadap orang lain, berkata Al-Hasan: saya telah mendapati beberapa orang yang terhadap waktunya lebih sangat menjaga daripada kalian terhadap uang dirham dan dinar yang kalian miliki.

    • Pengaturan waktu:

    Diantara kewajiban-kewajiban seorang Muslim terhadap waktunya adalah menyusunnya antara kewajiban-kewajiban dengan amalan-amalan yang berbeda, baik itu secara agama ataupun keduniawiaan, sehingga sebagiannya tidak mengalahkan sebagian yang lain, dan tidak pula yang tidak penting mengalahkan yang penting.

    Berkata salah seorang saleh: [waktu seorang hamba ada empat dan tidak ada yang kelima darinya: nikmat, cobaan, ta'at dan maksiat. Untuk Allah atas anda, pada setiap waktu darinya anda harus menyisihkan untuk ibadah yang dilakukan dengan hak sebagai hukum Rububiyyah: barang siapa yang waktunya pada keta'atan, maka jalannya adalah persaksian karunia dari Allah yang telah memberinya hidayah dan memberinya kemudahan ketika melaksanakannya, barang siapa yang waktunya pada kenikmatan maka jalannya adalah bersyukur, barang siapa yang waktunya pada kemaksiatan maka jalannya adalah bertaubat dan meminta ampunan, dan barang siapa yang waktunya pada cobaan maka jalannya adalah keridhoan dan kesabaran].

    • Memanfaatkan waktu luangnya:

    Waktu luang adalah kenikmatan yang dilalaikan oleh kebanyakan orang, sehingga kita melihat mereka dalam keadaan tidak menunaikan rasa syukurnya dan tidak pula menghargai dengan sebenarnya. Dari Ibnu Abbas: bahwa Nabi bersabda:

    ” نعمتان من نعم الله مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ ”

    “Dua nikmat diantara nikmat-nikmat Allah yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya: kesehatan dan waktu luang” [HR. Bukhori]. Dan Nabi-pun telah menganjurkan untuk memanfaatkannya dalam sabda beliau: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara…”, beliau menyebutkan diantaranya: “waktu luangmu sebelum waktu sibukmu” [HR. Al-Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani]

    Berkata salah seorang saleh: [Kosongnya waktu dari pekerjaan merupakan kenikmatan yang sangat besar, sehingga apabila seorang hamba mengkufuri nikmat ini dengan membuka dirinya kepada pintu hawa nafsu dan terjerumus dalam syahwat maka Allah akan balikkan kenikmatan hatinya, serta mengambil apa yang dia dapati dari kebersihan hati].

    Seorang yang berakal harus menyibukkan waktu luangnya dengan kebaikan, dan jika tidak maka nikmat luangnya akan berbalik menjadi malapetaka terhadap dirinya, oleh karena itu dikatakan: [waktu luang bagi laki-laki adalah kelalaian dan bagi wanita adalah ghulmah" atau penggerak syahwat.

    Beberapa penyebab yang membantu dalam menjaga waktu:

    • Muhasabah diri: ia termasuk perantara terpenting yang dapat membantu seorang Muslim untuk memanfaatkan waktunya dalam keta'atan kepada Allah. Ia adalah perbuatan orang-orang saleh dan jalannya mereka yang bertaqwa. Oleh karena itu hisablah diri anda wahai saudaraku yang Muslim dan tanyakanlah kepadanya apa yang telah ia lakukan pada hari yang telah dilaluinya? Pada apa ia nafkahkan waktunya? Dan pada apa saja anda habiskan jam-jam keseharian anda? Apakah bertambah padanya kebaikan ataukah bertambah padanya kejelekan?

    • Mendidik jiwa atas tingginya harapan: barang siapa yang membiasakan dirinya untuk selalu bergantung pada perkara-perkara yang tinggi dan menjauh dari kerendahannya, maka dia akan menjadi yang paling menjaga dalam memanfaatkan waktunya, barang siapa memiliki ketinggian harapan, maka dia tidak akan merasa puas dengan kekurangan, dan sesuai dengan ukurannya, harapan akan datang seperti apa yang diharapkannya:

    Apabila tidak tinggi harapan seseorang, akan dilempar ia ***
    dan merasa cukup dengan kerendahan dia yang rendah

    • Berteman dengan mereka yang menjaga waktunya: karena sesungguhnya berteman dan bergaul bersama mereka, serta berusaha mendekati dan mengikutinya akan dapat membantu anda dalam memanfaatkan waktu, juga menguatkan diri dalam memanfaatkan usia untuk keta'atan kepada Allah, semoga Allah merahmati dia yang berkata:

    Jika anda berada pada suatu kaum maka gaulilah yang terbaiknya ***
    janganlah berteman dengan yang rendah sehingga anda menjadi rendah
    Tentang seseorang janganlah ditanyakan tapi tanya siapa temannya ***
    karena setiap pendamping akan mencontoh pendampingnya

    • Mengetahui keadaan salaf bersama waktu: karena mengetahui keadaan mereka serta dengan membaca sejarahnya merupakan bantuan terbesar bagi seorang Muslim dalam memanfaatkan waktu, karena mereka adalah orang-orang terbaik yang memahami keberhargaan waktu dan kepentingan usia, mereka adalah contoh terbaik dalam memanfaatkan setiap menitnya dari umur dan memanfaatkan setiap nafasnya dalam keta'atan kepada Allah.

    • Meragamkan apa yang dipergunakan dari waktu: karena jiwa ini menurut tabiatnya adalah cepat bosan dan selalu menghindar dari segala sesuatu yang diulang-ulang. Peragaman pekerjaan akan membantu jiwa dalam memanfaatkan bagian yang sebesar mungkin dari waktu.

    • Memahami bahwa apa yang telah lalu dari waktu tidak akan kembali dan tidak pula bisa diganti: setiap hari yang telah dilampaui, setiap jam yang telah lewat dan setiap saat yang telah berlalu tidak mungkin untuk dapat dikembalikan, oleh karena itu tidak mungkin untuk dapat diganti, inilah arti dari perkataan Al-Hasan: [Tidak ada suatu haripun yang berlalu dari anak Adam kecuali ia akan berkata: wahai anak Adam, aku adalah hari baru dan akan menjadi saksi atas amalanmu, apabila telah pergi darimu aku tidak akan kembali lagi, maka hidangkanlah sesuai kehendakmu karena kamu akan mendapatkannya dihadapanmu, dan akhirkanlah sesuai kehendakmu karena ia tidak akan kembali kepadamu selamanya].

    • Mengingat kematian dan saat menjelang kematiaan: tatkala manusia meninggalkan dunia, menghadap akherat dan berharap jika seandainya dia diberi sedikit saja kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak dan meraih apa yang telah terlewat, akan tetapi betapa tidak mungkinnya hal tersebut, karena masa beramal telah habis dan telah tiba masa perhitungan dan pembalasan. Maka teringatnya seseorang akan ini menjadikannya perhatian terhadap pemanfaatan waktunya dalam keridhoan terhadap Allah Ta’ala.

    • Menjauh dari teman yang menyia-nyiakan waktu: sesungguhnya berteman dengan orang-orang malas serta bergaul bersama mereka yang suka membuang-buang waktu merupakan penyia-nyiaan terhadap kemampuan manusia dan waktu, sedangkan seseorang diukur dari teman dan pendampingnya, oleh karena itu berkata Abdullah bin Mas’ud: [Anggaplah seseorang itu dengan siapa dia berteman, karena seseorang akan berteman dengan yang semisalnya].

    • Mengingat akan pertanyaan tentang waktu pada hari kiamat: tatkala seseorang berdiri dihadapan Rabb-nya pada hari yang menakutkan tersebut, dia akan ditanya tentang waktu dan umurnya, bagaimana dia habiskan? Untuk apa dia pergunakan? Pada apa dia manfaatkan? Dan dengan apa dia penuhi? Bersabda Rasulullah :

    ” لن تزول قدما عبد حتى يسأل عن خمس: عن عمره فيم أفناه؟ وعن شبابه فيم أبلاه؟… ”

    “Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba hingga ditanya tentang lima perkara: tentang umurnya pada apa dia habiskan? Tentang masa mudanya pada apa dua luangkan?…” [HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani]. Mengingat terhadap permasalahan seperti ini akan membantu seorang Muslim dalam menjaga waktunya, serta memanfaatkannya pada apa yang Allah ridhoi.

    Diantara keadaan-keadaan salaf bersama waktu:

    • Berkata Al-Hasan Al-Bashri: [Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya kamu ini hanya beberapa hari, apabila berlalu satu hari maka telah pergi sebagian darimu]. Dalam kesempatan lain berkata pula: [Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya siangmu merupakan tamu untukmu, oleh karena itu berbuat baiklah kepadanya, karena apabila kamu berbuat baik kepadanya, maka ia akan pergi dengan memujimu, sedangkan jika kamu berbuat buruk kepadanya, ia akan pergi sambil mencelamu, begitu pula dengan malammu].

    Pada saat lain dia berkata: [Dunia ini tiga hari: adapun kemarin, maka sesungguhnya ia telah pergi dengan apa yang ada padanya, adapun besok bisa jadi anda tidak akan mendapatkannya, sedangkan hari ini adalah untukmu, maka beramalah padanya].

    • Berkata Ibnu Mas’ud: [Tidak ada penyesalan bagiku yang melebihi penyesalanku atas suatu hari yang mataharinya telah terbenam, umurku telah berkurang, namun amalanku tidak bertambah padanya].

    • Berkata Ibnul Qoyyim: [Penyia-nyiaan terhadap waktu lebih berbahaya dari kematian, karena penyia-nyiaan waktu memutuskan hubungan antara anda dengan Allah dan akherat, sedangkan kematian memutuskan anda dari dunia dan penghuninya].

    • Berkata As-Surri bin Al-Muflis: [Jika anda bersedih dari apa yang berkurang dari hartamu maka menangislah atas apa yang berkurang dari usiamu].

    Dengan apa kita dapat memanfaatkan waktu?

    Sesungguhnya kesempatan-kesempatan untuk memanfaatkan waktu sangatlah banyak, bagi seorang Muslim hendaklah dia memilih darinya apa yang sesuai dan lebih pantas untuknya, diantaranya:

    • Menghafal Kitab Allah dan mempelajarinya: ini adalah kesibukkan terbaik yang dapat dimanfaatkan dari waktunya oleh seorang Muslim, dan Nabi telah memberi semangat untuk mempelajari Kitab Allah dalam sabdanya:
    ” خيركم من تعلم القرآن وعلّمه ” رواه البخاري
    “Yang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya” [HR. Bukhori]

    • Menuntut ilmu: pada zaman dahulu para salafus sholeh lebih banyak menjaga untuk memanfaatkan waktunya dalam menuntut ilmu dan mempelajarinya; karena mereka mengetahui bahwa mereka membutuhkannya melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Memanfaatkan waktu dalam menuntut ilmu serta mempelajarinya memiliki beberapa gambaran, diantaranya: menghadiri ceramah-ceramah penting, mendengarkan kaset-kaset bermanfaat, membaca serta membeli buku-buku yang menghasilkan faedah.

    • Berdzikir kepada Allah: tidak ada suatu amalanpun yang mencukupi segala waktu seperti dzikir, ia adalah kesempatan yang bermanfaat dan mudah, tidak membebani seorang Muslim baik dari segi harta maupun pengorbanan, dan telah berwasiat Nabi kepada salah seorang sahabatnya seraya bersabda: “Hendaklah lidah kamu selalu basah oleh dzikir kepada Allah” [HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]. Betapa indahnya jika hati seorang Muslim dimakmurkan oleh dzikir kepada Penciptanya, apabila berbicara maka dibarengi oleh dzikir kepada-Nya, dan jika bergerak karena perintah-Nya.

    • Memperbanyak amalan sunnah: ia merupakan kesempatan penting untuk memanfaatkan waktu dalam keta’atan kepada Allah, juga merupakan perbuatan penting dalam mendidik jiwa dan mensucikannya, yang mana ia merupakan kesempatan untuk menggantikan kekurangan yang terjadi pada saat melaksanakan ibadah yang fardhu, dan yang lebih besar dari semua itu adalah bahwa ia merupakan penyebab untuk mendapatkan kecintaan Allah “Terus-menerus hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya” [HR. Bukhori].

    • Berdakwah kepada Allah, Amar ma’ruf, Nahi munkar dan menasehati kaum Muslimin: semua ini adalah kesempatan-kesempatan berharga untuk memanfaatkan usia. Berdakwah kepada Allah termasuk kepentingan para Rasul dan risalah para Nabi, Allah Ta’ala telah berfirman:

    ” قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ”
    “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku” [QS. Yusuf: 108]. Jagalah wahai saudaraku untuk selalu memanfaatkan waktu anda untuk berdakwah, baik melalui ceramah, pembagian buku, kaset ataupun dengan mendakwahi keluarga, kerabat maupun tetangga.

    • Mengunjungi kerabat dan bersilaturrahmi: ia merupakan penyebab masuknya surga, medapatkannya rahmat serta menambah umur dan melapangkan rejeki, bersabda Rasulullah :
    ” من أحب أن يبسط له في رزقه, وينسأ له في أثره, فليصل رحمه ” ( رواه البخاري )
    “Barang siapa yang ingin dilapangkan rejekinya dan diakhirkan ajalnya, maka hendaklah dia menyambung tali silaturrahminya” [HR. Bukhori].

    • Memanfaatkan waktu kosong pada setiap harinya: seperti setelah shalat, antara adzan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, pada saat mendengar adzan dan setelah shalat subuh sampai terbit matahari. Setiap waktu tersebut memiliki ibadah-ibadah utama yang dianjurkan oleh syari’at untuk dilakukan padanya agar seorang hamba bisa mendapatkan ganjaran yang besar dan pahala yang agung.

    • Mempelajari segala sesuatu yang bermanfaat: seperti computer, berbagai jenis bahasa, mekanik, listrik, perkayuan dan lain sebagainya, dengan tujuan agar dia yang beragama Islam mendapat manfaat dan begitu pula dengan saudara-saudaranya..

    Saudaraku Muslim, inilah beberapa kesempatan berharga, perantara yang banyak dan kesempatan beragam yang telah kami sebutkan untuk anda sebagai contohnya –sedangkan pintu kebaikan tidaklah terbatas- agar anda dapat memanfaatkan waktu padanya disamping kewajiban-kewajiban utama yang diharuskan atas anda.

    Rintangan yang membunuh waktu:

    Disana terdapat beberapa rintangan dan kendala cukup banyak yang menyebabkan seorang Muslim menyia-nyiakan waktunya, bahkan hampir sampai menghabiskan seluruh umurnya jika dia tidak memahaminya dan berlepas diri darinya, diantara rintangan dan kendala-kendala ini adalah:

    Kelalaian: ia merupakan penyakit berbahaya yang menjadi cobaan bagi kebanyakan kaum Muslimin, sampai mereka kehilangan perasaan yang memiliki perhatikan terhadap waktu, Al-Qur’an telah memperingati tentang kelalaian ini dengan peringatan yang keras, bahkan sampai menjadikan pelakunya sebagai kayu bakar neraka jahanam, Allah berfirman:

    ” وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ ”

    “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” [QS. Al-A'raaf: 179]

    Berandai-andai: ia merupakan rintangan yang menghancurkan waktu dan membunuh usia, namun sangat disayangkan, kata “seandainya” telah menjadi ciri khas bagi kebanyakan kaum Muslimin dan menjadi kebiasaan bagi mereka.

    Al-Hasan berkata: [Hati-hatilah anda dengan andai-andai, karena anda berada pada hari ini dan tidak sedang berada pada esok hari].

    Hati-hatilah anda wahai saudara Muslimku dari berandai-andai, karena anda tidak bisa menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari, dan jika anda dapat menjamin akan dapat hidup sampai esok hari, namun tidak dapat menjamin dari rintangan-rintangan yang seperti sakit mendadak, pekerjaan yang menghadang ataupun musibah yang datang. Ketahuilah bahwa setiap hari ada pekerjaan dan setiap waktu ada kewajiban-kewajibannya, tidak ada yang namanya waktu luang dalam kehidupan seorang Muslim, sebagaimana juga andai-andai dalam melaksanakan keta’atan akan menjadikan jiwa menjadi terbiasa untuk meninggalkannya, jadilah seperti yang dikatakan oleh seorang penya’ir”

    Berbekalah ketakwaan karena kamu tidak tahu ***
    apabila datang malam akankah hidup sampai subuh
    Berapa banyak dari yang sehat meninggal tanpa sebab ***
    dan berapa banyak dari yang sakit hidup lebih lama
    Berapa banyak dari pemuda yang sore dan paginya aman ***

    dan telah disulam kafannya sedang dia tidak ketahui
    Oleh karena itu bersegeralah wahai saudaraku dengan memanfaatkan waktu dalam usiamu untuk ta’at kepada Allah, dan berhati-hatilah dari berandai-andai dan bermalas-malasan, berapa banyak di kuburan yang terbunuh oleh angan-angan. Andai-andai adalah pedang yang memotong seseorang dari pemanfaatan nafasnya dalam menta’ati Rabb-nya, berhati-hatilah untuk menjadi orang terbunuh dan korbannya.

    Wasallallahu ‘ala Nabiyyihi Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

    http://www.islamhouse.com/p/207441


    your comment
  • Assalaamu’alaykum Wa rahmatullahi wa barakaatuhu
    Bismillaahirrahmanirrahim…….

    Renungan

    1. Hilangnya Kemurnian Manhaj

    Sesungguhnya ummat pada saat ini sangat butuh sekali dengan para da’i yang dapat mengumpulkan hati mereka dan menjinakkannya, berdakwah dengan pemahaman yang benar, sesuai penetapan Al-Qur’an dan Hadits Nabi sholallohu alaihi wa sallam untuk memberi pengarahan kepada kaum muslimin tentang hakikat agama mereka dari satu sisi dan dari sisi lain mengingatkan mereka dari komplotan-komplotan berpengaruh bagi mereka pada siang dan malam hari.

    Membutuhkan Para da’i yang menggerakkan dakwah mereka dengan kemurnian dan keikhlasan kepada Alloh subhanahu wa ta’ala saja.

    Mereka tidak menyeru untuk suatu kaum, partai, panatik. Mereka tidak menyeru karena mashlahat, kekayaan dan hawa nafsu.

    Mereka bermanhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Imam mereka adalah Nabi Muhammad sholallohu alaihi wa sallam dan orang yang berjalan diatas jalannya.

    Ya. Kini ummat sangat membutuhkan sekelompok para da’i, dimana sangat banyak sekali sekarang para penyeru kebathilan dan hawa nafsu yang menjual agama mereka untuk meraih harta dunia yang hina. Mereka menyetujuhi keputusan hakim, padahal mereka mengetahui secara yakin bahwa dia berhukum pada selain yang diturunkan Alloh subhanahu wa ta’ala. Halal dan harom ditetapkan sesuai dengan keinginan mereka.

    2 . Hilangnya Keilmuan.

    Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam telah memberikan sifat secara terperinci pada zaman sekarang, dengan sabdanya:

    (( سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتُ خَدَّاعَاتٍ ، يُصَدَّقُ فِيْهَا الكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ ، ويُؤْتمََنُ فِيْهَا الخَائِنُ ، ويُخُوْنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرٌوَيْبِضَةُ قِيْلَ : وَمَا الرٌوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِىْ أَمْرِ العَامَّةِ )).

    “Akan datang kepada manusia tahun-tahun para penipu. Pembohong akan dibenarkannya dan orang yang jujur akan diingkarinya. Penghianat akan dipercayainya dan orang yang terpecaya akan di khiyanatinya. Dan Ruwaibidhoh yang akan berbicara. Dikatakan: siapa Ruwaibidhoh itu? Rosul Bersabda: “orang bodoh berbicara dalam permaslahan umum”. (HR. Ahmad, shohih Jami: 365)

    Subhanalloh! Sifat terperinci ini berasal dari sabda orang yang tidak berbicara dari hawa nafsunya sholallohu alaihi wa sallam. Sungguh benar orang-orang yang tidak beragama sekarang telah menjadi pemimpin pemikiran, pengarahan dan tuhan-tuhan pena yang dibolehkan untuk menulis segala sesuatu hingga tentang agama Alloh tanpa ada bukti dan petunjuk!!

    Para perusahaan televisi dan radio telah memberikan waktu yang panjang untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran mereka!

    3. Berlebihan beragama.

    Sebab yang ketiga sebab yang menyedihkan hati, membangunkan setiap orang yang tertidur.

    Mereka lebih memperhatikan untuk menampakkan perbuatan-perbuatan salah dari sebagian pemuda semangat tinggi yang jauh dari ulama dan terburu-buru dalam mengambil keputusan.

    Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:

    { يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلًا }.

    “Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Alloh kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Alloh dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Alloh dan Rosul-Rosul-Nya dan janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari Ucapan itu). (itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Alloh Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Alloh dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Alloh menjadi Pemelihara”. (QS. An Nisaa’ [4]: 171)

    { قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ }

    Katakanlah: “Hai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang Telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka Telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al Maidah [5]: 77)

    Alloh subhanahu wa ta’ala melarang ahli kitab berlebih-lebihan dalam beragama pada ayat ini. Dan ini kebanyakan pada orang nasrhoni, mereka melampaui batas dalam memuliakan Nabi Isa alaihis salaam, hingga mengangkatnya sebagai tuhan yang disembah. Bahkan mereka berlebihan dalam memuliakan para pemuka agama mereka dengan menggap bahwa rahib adalah tuhan mereka yang dapat menghalalkan dan mengharamkan sesuai keinginannya.

    Larangan berlebihan bukan khusus kepada ahli kitab saja, akan tetapi orang muslim juga tidak boleh berlebihan dalam beragama, Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam bersabda:

    (( لَا تَطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهِ )).

    “Janganlah kalian berlebihan kepadaku seperti orang nashroni berlebihan kepada Isa bin Maryam, dan sesungguhnya aku hamba. Maka katakanlah: “Hamba Alloh dan utusannya”. (HR. Bukhori dan Muslim)

    4. Pergerakan para penyeru kebathilan.

    Para pnyeru kebathilan baik dari kalangan misionaris, syi’ah, dan sekulerisme. Semuanya telah menyakit hati para da’i ilalloh, doktor Abdul Wadud syibli, dia berkata: “Aku ingat, bahwa aku telah berkali-kali melewati markaz misionaris di satu kota di sebuah bangunan yang luas, mereka memasang sepanduk iklan yang besar, yang berisi-kan: “wahai pemuda misionaris; kami tidak menjanjikanmu dengan sebuah pekerjaan, rumah, kasur empuk. Sesungguhnya kami mengingatkanmu bahwa engkau tidak akan mendapatkan dalam perbuatan misionaris kecuali capek dan sakit. Setiap apa yang kami berikan kepadamu -yaitu ilmu, sebuah roti, kasur kasar di gubuk orang fakir- engkau akan menemukan pahala semuanya disisi Alloh. Apabila engkau menemui ajal, sedang engkau dijalan al-masih berarti engkau termasuk orang-orang yang berbahagia”.

    Inilah yang dikatakan oleh para penyeru kebathilan. Dengan hal itu mereka bergerak kesegala penjuru alam, hingga di tempat-tempat gersang (paceklik), dilanda bencana. Tidak terlihat seorang anak kecil dan wanita muslim kecuali mereka tawarkan makanan, pakaian, dan obat-obatan. Sungguh memalukan yakni orang bathil (sesat) bergerak, menyeru untuk kebathilan mereka dan ahlul Haq (orang yang benar) tidak bergerak untuk kebenaran mereka!!.

    Sungguh memalukan bahwa kita telah mengetahui jumlah misionaris di alam ini lebih dari 22.000 orang, diantara mereka 138.000 dari katolik dan 82.000 protestan. Tidak akan cukup selamanya untuk menghadang laju mereka hanya dengan 5.000 da’i Islam disegala penjuru, sedangkan di Indonesia saja lebih dari 10.000 misionaris.

    Untuk itu, kita sebagai anak dari harokah islamiyah hendaknya selalu mengintropeksi diri selalu agar dapat mengetahui seberapa yang kita berikan kepada Islam dan menjauhi kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi untuk menentukan penyeselainnya. Ini adalah yang kami usahakan untuk memberikan bekal bagi anak-anak harokah Islamiyah di jalan da’wah yang panjang, penuh rintangan. Jika ada kebenaran itu semata-mata dari Alloh subhanahu wa ta’ala saja, dan jika ada kesalahan itu dari saya dan syaithon.

    http://www.hasmi.org/


    your comment
  • Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu…
    Bismillaahirrahmanirrahim….. ..

    Takut menempati kedudukan yang amat penting dalam Islam, dan jenis ibadah yang sangat agung wajib dimurnikan hanya kepada Allah Ta’alaa saja dan tidak menyandarkan kepada yang lainnya.

    Dalam kitab Al-Qamus, makna al-khasyah berasal dari kata khasyiya, maknanya khafahu, yang berarti takut kepadanya. Dengan demikian khasyah maknanya adalah takut. Ada juga yang memaknai khasyah dengan perasaan takut yang disertai perasaan mengagungkan.

    Firman Allah Ta’alaa : “Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat * melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati Karena takut kepada-Nya.”(Q.S. Al Anbiya’ [21]: 28)

    [*] Syafa’at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa’at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa’at bagi orang-orang kafir.,
    Syafa’at yang baik ialah setiap syafa’at yang ditujukan untuk melindungi hak seorang muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan. syafa’at yang buruk ialah kebalikan syafa’at yang baik.

    “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
    (Q.S. An Nahl [16]:50)

    ” Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga[*].”(Q.S. An Nahl [55] : 46)

    [*] yang dimaksud dua syurga di sini adalah, yang satu untuk manusia yang satu lagi untuk jin. ada juga ahli tafsir yang berpendapat syurga dunia dan syurga akhirat.

    Allah Ta’alaa berfirman: “Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”.(Q.S. An Nahl [16] :51)

    ” Sesungguhnya Kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”(Q.S. Al Maidah [5] : 44)

    Menurut Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairy takut mempunyai arti yang berhubungan dengan masa yang akan datang. Karena orang akan takut menghalalkan yang makruh dan meninggalkan hal yang sunah. Hal ini tidak begitu penting kecuali membawa dampak positif di masa yang akan datang.

    Jika pada saat sekarang hal itu muncul, maka pengertian takut tidak terkait. Sedangkan pengertian takut kepada Allah Ta’alaa adalah takut kepada siksaanNya baik di dunia maupun di akhirat. Allah Ta’alaa mewajibkan kepada hambaNya agar takut kepadaNya, sebagaimana firmanNya,“dan takutlah kamu semua kepadaKu jika kamu orang-orang yang beriman”.

    Abdul Qasim Al-Hakim berpendapat, khauf mempunyai dua bentuk yaitu rahbah dan khasyah. Yang dimaksud orang yang rahbah adalah orang yang berlindung kepada Allah Ta’alaa. Ada yang berpendapat, kata rahiba dan haraba boleh diungkapkan karena keduanya mempunyai arti satu seperti kata jadzuba dan jaladza.

    Sebagai contoh apabila dia lari , maka dia dapat di tarik dalam pengertian hawa nafsunya. Seperti pendeta yang mengikuti hawa nafsunya. Oleh karena itu apabila mereka ditarik oleh kendali ilmu dan mereka melaksanakan atau menggerakkan kebenaran syari’at, maka pengertian tersebut disebut khasyah.

    Rasa takut kepada selain Allah Ta’alaa dibagi menjadi 3 bagian :

    1. Rasa takut dalam (penyebab syirik) seperti takut kepada sesuatu yang diagungkan, baik itu nabi, wali, jin, kuburan, pohon besar, yang dapat memberikan dampak negatif baik di dunia maupun di akhirat.

    2. Rasa takut yang diharamkan, yaitu takut kepada makhluk untuk melaksanakan perintah yang wajib, atau menjauhi yang diharamkan Allah Ta’alaa.

    Firman Allah Ta’alaa : “(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, Karena itu takutlah kepada mereka”, Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:

    “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah.

    dan Allah mempunyai karunia yang besar[*]. Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

    [*] ayat 172, 173, dan 174, di atas membicarakan tentang peristiwa perang Badar Shughra (Badar kecil) yang terjadi setahun sesudah perang Uhud. sewaktu meninggalkan perang Uhud itu, abu Sufyan pemimpin orang Quraisy menantang nabi dan sahabat-sahabat beliau bahwa dia bersedia bertemu kembali dengan kaum muslimin pada tahun berikutnya di Badar.

    Tetapi karena tahun itu(4 H) musim paceklik dan Abu Sufyan sendiri waktu itu merasa takut, Maka dia beserta tentaranya tidak jadi meneruskan perjalanan ke Badar, lalu dia menyuruh Nu’aim bin Mas’ud dan kawan-kawan pergi ke Madinah untuk menakut-nakuti kaum muslimin dengan menyebarkan kabar bohong, seperti yang disebut dalam ayat 173.

    namun demikian nabi beserta sahabat-sahabat tetap maju ke Badar. oleh Karena tidak terjadi perang, dan pada waktu itu di Badar kebetulan musim pasar, Maka kaum muslimin melakukan perdagangan dan memperoleh laba yang besar. keuntungan Ini mereka bawa pulang ke Madinah seperti yang tersebut pada ayat 174.

    3. Rasa takut yang diperbolehkan, yaitu rasa takut yang alami, yang biasa terjadi, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan lainnya.

    Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rohimahullahu Ta’alaa berkata, diantara tipu daya musuh Allah Ta’alaa ia menakuti orang-orang mukmin dengan pasukan dan kawan-kawannya, supaya tidak memerangi mereka, tidak amar ma’ruf nahi munkar.

    Orang-orang yahudi dan Nasrani sebagai musuh abadi umat Islam selalu menakut-nakuti dengan kekuatan dan kegagahan persenjataan serta rudal mereka akan tetapi Allah Ta’alaa memberi kabar kepada kaum muslimin bahwa itu hanyalah tipudaya syetan saja maka Allah Ta’alaa melarang untuk takut kepada mereka.

    Imam Qotadah berkata : “Pemurnian takut (kepada Allah Ta’alaa) termasuk syarat kesempurnaan Iman.”Syetan menampakan kawan-kawannya sebagai sesuatu yang kuat di hati kamu. Jika keimanan kuat maka hilanglah rasa takut dari dadanya dan jika iman lemah, maka kuatlah rasa takut kepada syetan.

    Di antara yang bisa melemahkan iman adalah melaksanakan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’alaa, karena iman itu bisa naik dengan sebab ketaatan dan takut, dan bisa turun karena sebab kemaksiatan, serta mencari keridhoan manusia dengan mengorbankan keridhoan Allah Ta’alaa itu maksiat, dosa dan diharamkan.

    Sebagai wujud manifestasi keimanan yang kholis (murni) maka rasa takut (Khosyah) dalam hal aqidah dan ibadah hanya ditujukan kepada Allah Ta’alaa serta diiringi dengan sifat Raja’ (berharap) bahwasanya hanya Allah penentu serta titik final dari seluruh tujuan hidup manusia di dunia. wallahua’lam

    http://www.ddiijakarta.or.id/index.php/buletin/47-juni/81-taku.html


    your comment
  • “As-salámu ‘alaikum wa rahmatul láhi wa barakátuh!”
    Bismillah Ar Rahman Ar Raheem

    Makna dan Hakikat Ibadah
    Pengertian ibadah:
    Yang berhak disembah hanya Allah SWT semata, dan ibadah digunakan atas dua hal;

    1. Pertama: menyembah, yaitu merendahkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya karena rasa cinta dan mengagungkan-Nya.

    2. Kedua: Yang disembah dengannya, yaitu meliputi segala sesuatu yang dicintai dan diridhahi oleh Allah SWT berupa perkataan dan perbuatan, yang nampak dan tersembunyi seperti, doa, zikir, shalat, cinta, dan yang semisalnya. Maka melakukan shalat misalnya adalah merupakan ibadah kepada Allah SWT. Maka kita hanya menyembah Allah SWT semata dengan merendahkan diri kepada-Nya, karena cinta dan mengagungkan-Nya, dan kita tidak menyembahnya kecuali dengan cara yang telah disyari’atkan-Nya.

    Hikmah Dari Penciptaan Jin dan Manusia.
    Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia sebagai suatu yang sia-sia dan tidak berguna. Dia juga tidak menciptakan mereka untuk makan, minum, senda gurau dan bermain serta tertawa.

    Dia menciptakan mereka tidak lain adalah untuk suatu perkara yang besar, untuk menyembah Allah SWT, mengesakan, mengagungkan, membesarkan, dan mentaati-Nya, dengan melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, berhenti pada batas-batas-Nya (dengan tidak melanggar larangan-Nya) dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Sebagaimana firman-Nya SWT:

    وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
    Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Az-Zariyat :56)

    Jalan Ubudiyah (beribadah)
    Ibadah kepada Allah SWT dibangun di atas dua pondasi yang besar yaitu: cinta yang sempurna kepada Allah SWT dan ketundukan yang sempurna pada-Nya.

    Dan keduanya juga dibangun di atas dua dasar yang besar, yaitu:
    1- Merasa diawasi oleh Allah SWT, dan mengingat nikmat, karunia, kebaikan, dan rahmat-Nya yang mengharuskan kita mencintai-Nya,

    2- Mengoreksi cacat dalam diri dan perbuatan yang menyebabkan kehinaan dan ketundukan yang sempurna kepada Allah SWT.

    Pintu terdekat yang memasukkan hamba kepada Rabb-nya adalah pintu iftiqar (menghinakan diri) kepada Rabb-nya. Maka, dia tidak melihat dirinya kecuali seorang yang merugi, dan dia tidak melihat adanya kondisi, kedudukan, dan sebab pada dirinya yang dia bergantung padanya, tidak pula ada perantara yang bisa membantunya. Akan tetapi dia merasa sangat membutuhkan kepada Rabb-Nya SWT, dan jika dia meninggalkan hal tersebut diri darinya niscara dia rugi dan binasa. Firman Allah SWT:

    وَمَابِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُونَ {53} ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنكُم بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ {54} لِيَكْفُرُوا بِمَآءَاتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ {55}

    Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada kamu, tiba-tiba sebahagian daripada kamu mempersekutukan Rabbnya dengan (yang lain), biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka; maka bersenang-senaglah kamu. Kelak kamu akan mengetahui (akibatnya). (QS. An-Nahl :53-55)

    Manusia Yang Paling Sempurna Ibdahnya

    Orang yang paling sempurna dalm beribadah kepada Allah adalah para Nabi dan Rasul, karena mereka adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan yang paling mengagungkan-Nya dibanding selain mereka, lalu Alah tambahkan kemuliaan mereka dengan menjadikannya sebagai rasul yang diutus kepada manusia, sehingga mereka memperoleh kemuliaan risalah dan kemulian khusus dalam beribadah.

    Kemudian setelah mereka adalah para siddiqin yang sempurna dalam beriman kepada Allah dan para utusan-Nya serta istiqamah diatasnya, kemudian para syuhada dan orang-orang yang shaleh. Sebagaimana firman-Nya:

    وَمَن يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُوْلاَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَآءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُوْلاَئِكَ رَفِيقًا {69}

    Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.(QS. An-Nisa :69)

    Hak Allah SWT Terhadap Hamba:

    Hak Allah SWT terhadap penduduk langit dan bumi adalah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, dengan cara ditaati maka tidak didurhakai, diingat maka tidak dilupakan, disyukuri maka tidak dikufuri. Maka siapakah yang tidak muncul darinya sesuatu yang menyelisihi apa yang dia diciptakan dengannya, baik karena lemah, bodoh, atau karena berlebihan dan karena kekurangan (dalam menjalankan perintah atau meninggalkan larangan).

    Oleh karena itu seandainya Allah SWT mau menyiksa penduduk langit dan bumi, niscaya Dia menyiksanya dan Dia tidak berbuat zalim kepada mereka, dan jika Dia memberikan rahmat-Nya niscaya rahmat-Nya lebih baik daripada amal perbuatan mereka sendiri.
    Dari Mu’azd bin Jabal r.a, ia berkata, “Saya membonceng Nabi SAW di atas keledai yang dinamakan ‘afir, lalu ‘Beliau SAW bersabda, ‘Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah SWT terhadap hamba dan apa hak hamba kepada Allah SWT? Saya menjawab. ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda,:

    ‘Sesungguhnya hak Allah SWT terhadap hamba adalah bahwa mereka menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan hak hamba terhadap Allah SWT adalah bahwa Dia SWT tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bolehlah saya memberitahukan kepada manusia?’ Beliau menjawab, ‘Jangan engkau beritakan kepada mereka, maka mereka menjadi enggan beramal (Muttafaqun ‘alaih).

    Kesempurnaan Ubudiyah
    1. Setiap hamba berbolak-balik di antara tiga perkara: (Pertama) nikmat-nikmat Allah SWT yang datang silih berganti kepadanya, maka kewajibannya adalah memuji dan bersyukur. (Kedua) Dosa yang dikerjakannya, maka kewajibannya adalah meminta ampun darinya. Dan (ketiga) bala bencana yang ditimpakan Allah SWT kepadanya, maka kewajibannya adalah sabar. Barangsiapa yang melaksanakan tiga kewajiban ini, niscaya ia beruntung di dunia dan di akhirat.

    2. Allah SWT menguji hamba-Nya untuk menguji kesabaran dan ubudiyah mereka, bukan untuk membinasakan dan menyiksa mereka. Maka, hak Allah SWT terhadap hamba-Nya adalah ubudiyah/penyembahan di waktu susah, sebagaimana kepada-Nya ubudiyah di kala senang. Kepada-Nya ubudiyah pada sesuatu yang dibenci, sebagaimana untuk-Nya ubudiyah pada sesuatu yang disukai.

    Mayoritas manusia memberikan ubudiyah/penyembahan pada sesuatu yang mereka sukai, dan perkaranya adalah memberikan ubudiyah pada yang dibenci. Mereka saling berbeda dalam hal itu.

    Berwudhu dengan air dingin pada saat panas yang luar biasa dan menikahi istrinya yang cantik adalah ubudiyah/ibadah. Dan berwudhu dengan air dingin pada saat dingin yang menusuk tulang adalah ibadah. Meninggalkan maksiat yang disenangi nafsu tanpa ada rasa takut kepada manusia adalah ibadah, dan sabar terhadap rasa lapar dan sakit adalah ibadah, akan tetapi terdapat perbedaan di antara dua ibadah.

    Maka, barangsiapa yang selalu beribadah kepada Allah SWT di saat senang dan susah, dalam kondisi yang dibenci dan disukai, maka dia termasuk hamba Allah SWT yang tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak berduka cita. Musuhnya tidak bisa menguasainya, maka Allah SWT menjaganya. Akan tetapi kadang syetan memperdayanya. Seseorang hamba diberi cobaan dengan lupa, syahwat, dan marah. Dan masuknya syetan terhadap hamba berawal dari tiga pintu ini. Allah SWT menguasakan (memberikan otoritas) nafsu, keinginan dan syetannya kepada setiap hamba dan mengujinya, apakah dia mentaatinya atau mentaati Rabb-nya.

    Allah SWT memiliki perintah-perintah kepada manusia dan nafsu juga memiliki perintah-perintah. Allah SWT menghendaki kesempurnaan iman dan amal shaleh dari manusia, dan nafsu menghendaki kesempurnaan harta dan syahwat. Allah SWT menghendaki amal perbuatan untuk akhirat dari kita dan nafsu menghendaki perbuatan untuk dunia. Iman adalah jalan keselamatan dan lampu lentera yang dengannya dia melihat kebenaran dari yang lainnya dan inilah tempat cobaan.

    أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَيُفْتَنُونَ {2} وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ {3}

    Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al-’Ankabuut:2-3)

    وَمَآأُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَارَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ {53}

    Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yusuf:53)

    فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ إِنَّ

    اللهَ لاَيَهْدِى الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {50}
    3- Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Qashash:50)


    http://www.islamhouse.com/p/53821


    your comment


    Follow this section's article RSS flux
    Follow this section's comments RSS flux