• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 7 : Sebab-Sebab Hilangnya Agama

    --------------------------------------------------------------------------------


    56. Abdullah bin Ad Dailamy berkata :
    “Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah meninggalkan As Sunnah. Agama ini akan hilang sunnah demi sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al Lalikai 1/93 nomor 127, Ad Darimy 1/58 nomor 97, dan Ibnu Wadldlah dalam Al Bida’ 73)


    57. Ia juga berkata, saya mendengar Amru berkata :
    “Tidaklah dilakukan suatu bid’ah melainkan akan bertambah cepat berkembangnya dan tidaklah ditinggalkan As Sunnah kecuali bertambah cepat hilangnya.” (Al Lalikai 1/93 nomor 128 dan Ibnu Wadldlah 73)


    58. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu ia berkata :
    “Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)


    59. Al Auza’i menyebutkan dari Hassan bin Athiyyah, ia berkata :
    “Tidaklah suatu kaum berbuat satu bid’ah dalam Dien mereka melainkan Allah cabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya dan tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat.” (Ad Darimy 1/58 nomor 98)


    60. Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
    “Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)

     

    BAB 8 : Jeleknya Ahli Ahwa’ dan Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    61. Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Akan ada di akhir zaman nanti para dajjal dan pendusta, mereka mendatangimu dengan hadits-hadits yang belum pernah didengar oleh kamu dan bapak-bapak kamu maka hati-hatilah kamu dari mereka, mereka jangan sampai menyesatkan kamu dan menimbulkan fitnah terhadapmu.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah 7)


    62. Dari Khalid bin Sa’d ia berkata bahwa menjelang wafatnya Hudzaifah bin Al Yaman datang kepadanya Abu Mas’ud Al Anshary --radliyallahu anhuma-- lalu berkata :
    “Hai Abu Abdillah, berpesanlah untuk kami.” Hudzaifah berkata : “Bukankah telah datang kepadamu perkara yang yaqin, ketahuilah sesungguhnya kesesatan itu benar-benar kesesatan kalau kamu anggap ma’ruf (baik) apa yang sebelumnya kamu ingkari dan mengingkari apa yang telah kamu ketahui, hati-hatilah kamu dari sikap berbeda-beda (berpecah-belah, pent.) dalam agama Allah karena sesungguhnya agama Allah ini hanya satu.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/33 dan Al Lalikai 1/90 nomor 120)


    63. Dari Abi Qilabah dari Zaid bin Umairah ia berkata, Mu’adz bin Jabbal berkata :
    “Hai manusia, sesungguhnya akan terjadi fitnah yang pada waktu itu harta benda berlimpah, Al Quran terbuka (tersebar) hingga mudah dibaca oleh seorang Mukmin, munafiq, pria dan wanita, anak-anak kecil maupun orang dewasa sampai-sampai seseorang berkata :


    ‘Kita telah membaca Al Quran tapi tidak ada yang mau mengikuti, tidakkah sebaiknya kita bacakan terang-terangan kepada mereka?’
    Maka mereka membacanya terang-terangan dan tetap tidak ada satupun yang mengikutinya maka ia berkata :


    ‘Saya telah membacanya terang-terangan tidak ada juga yang mengikutiku.’
    Lalu ia membangun tempat shalat di rumahnya lalu mengucapkan perkataan bid’ah yang bukan dari Kitab Allah bahkan tidak juga dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka hati-hatilah kamu dari bid’ahnya karena sesungguhnya bid’ah itu sesat.” (Al Lalikai 1/89 nomor 117, Al Hujjah 1/303, Ibnu Wadldlah 33, dan Abu Daud 4611)


    64. Dari Ashim Al Ahwal ia berkata, Abul Aliyah berkata :
    “Pelajarilah Al Islam! Maka jika telah kamu pelajari janganlah kamu membencinya dan tetaplah kamu di atas shirathal mustaqim karena itulah sesungguhnya Al Islam dan jangan kamu menyimpang ke kanan dan ke kiri.

    Dan berpeganglah dengan Sunnah Nabimu Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan apa yang dipegang oleh kaum Muslimin sebelum mereka membunuh shahabat mereka sendiri (Utsman bin Affan) dan sebelum mereka berbuat apa yang telah mereka perbuat. Maka sesungguhnya kami telah membaca Al Quran sebelum mereka berselisih (saling memerangi) dan sebelum mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan selama 15 tahun. Dan berhati-hatilah kamu dari hawa nafsu ini yang senantiasa menimbulkan permusuhan dan kebencian di tengah-tengah manusia.”
    Kemudian saya sampaikan hal ini kepada Al Hasan Al Bashry, katanya :
    “Ia benar dan telah memberi nasihat.”

    Dan saya ceritakan pula kepada Hafshah bintu Sirin, katanya :
    “Keluargaku tebusanmu, apakah telah kau sampaikan kepada Muhammad (Ibnu Sirin) cerita ini?”
    Saya menjawab tidak (belum). Lalu katanya :
    “Jika begitu sampaikanlah kepadanya!” (As Sunnah Ibnu Nashr 13 nomor 26, Al Ibanah 1/299 nomor 136, Al Lalikai 1/56, 127 nomor 17, 214)

     

    BAB 9 : Peringatan Bahayanya Duduk Dengan Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa serta Bergaul dan Berjalan Bersama Mereka 

    --------------------------------------------------------------------------------


    65. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping yahudi dan nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al Lalikai 4/638 nomor 1149)


    66. Hanbal bin Ishaq berkata, saya mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata :
    “Tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahli bid’ah, duduk dan bergaul dengan mereka.” (Al Ibanah 2/475 nomor 495)


    67. Dari Habib bin Abi Az Zabarqan ia berkata, Muhammad bin Sirin apabila mendengar ucapan ahli bid’ah, menutup telinganya dengan jarinya kemudian berkata :
    “Tidak halal bagiku mengajaknya berbicara sampai ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya.” (Al Ibanah 2/473 nomor 484)


    68. Seorang ahli ahwa’ berkata kepada Ayyub As Sikhtiyani :
    “Hai Abu Bakr, saya ingin bertanya tentang satu kalimat.”
    Beliau menukas --sambil berisyarat dengan jarinya-- :
    “Tidak, meskipun setengah kalimat. Tidak, meskipun setengah kalimat.” (Al Ibanah 2/447 nomor 402)


    69. Imam Ahmad berkata dalam risalahnya untuk Musaddad :
    “Jangan kamu bermusyawarah dengan ahli bid’ah dalam urusan agamamu dan jangan jadikan dia teman dalam safarmu (bepergian).” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/578)


    70. Ibnul Jauzy berkata :
    “Allah, Allah. Janganlah berteman dengan mereka ini (ahli bid’ah). Dan wajib kamu cegah anak-anak kecil bergaul dengan mereka agar jangan terpatri sesuatu (perkara bid’ah) dalam hati mereka dan jadikan mereka sibuk (mempelajari) hadits- hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar watak mereka terbentuk di atasnya.” (Ibid 3/577-578)


    71. Imam Al Barbahary berkata :
    “Apabila tampak bagimu satu perkara bid’ah pada seseorang maka jauhilah dia sebab sesungguhnya yang dia sembunyikan darimu jauh lebih banyak dari yang dia tampakkan.” (Syarhus Sunnah 123 nomor 148)


    72. Dan kata beliau :
    “Perumpamaan ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka menyembunyikan kepala dan badan mereka di dalam tanah dan mengeluarkan ekornya maka jika mereka telah mantap dengan posisinya maka mereka menyengat mangsanya. Demikian pula ahli bid’ah, mereka menyembunyikan bid’ah di tengah-tengah manusia lalu apabila mereka telah mantap dengan kedudukannya mereka sampaikan apa yang mereka inginkan.” (Thabaqat Hanabilah 2/44)


    Saya (Jamal bin Farihan) katakan, demikianlah keadaan Ikhwanul Muslimin (dan kelompok dakwah sempalan lainnya, pent.) mereka mencari kedudukan dan jika telah mantap posisi mereka maka mulailah mereka melancarkan tindakan-tindakan dalam menyelisihi Ahlus Sunnah.


    1 comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 10 : Peringatan Salafus Shalih Akan Bahayanya Bergaul Dengan Ahli Bid’ah dan Menyebut Nama Tokoh-Tokoh Mereka Bukan Ghibah

    --------------------------------------------------------------------------------


    73. Abu Nu’aim berkata, Sufyan Ats Tsauri memasuki mesjid pada hari Jum’at, tiba- tiba ia melihat Al Hasan bin Shalih bin Hayy sedang shalat, beliau berkata :
    “Kami berlindung kepada Allah dari khusyuknya munafiq.”
    Lalu beliau mengambil sandalnya dan berpindah.


    Katanya lagi --juga dari Ats Tsauri-- : “Dia itu adalah orang yang menganggap bolehnya menumpahkan darah ummat.” (At Tahdzib 2/249 nomor 516)
    74. Bisyr bin Al Harits berkata, Zaidah biasa duduk di masjid memperingatkan manusia dari Ibnu Hayy dan shahabat-shahabatnya, katanya :
    “Mereka itu menganggap halal menumpahkan darah kaum Muslimin.” (Ibid)


    75. Abu Shalih Al Farra’ berkata, saya menyampaikan kepada Yusuf bin Asbath dari Waki’ mengenai perkara fitnah, ia berkata :
    “Dia --Al Hasan bin Hayy-- itu seperti gurunya.”
    Lalu saya berkata kepada Yusuf :
    “Apakah kamu tidak takut kalau ini ghibah?”
    Ia menjawab :
    “Mengapa, hai bodoh? Saya lebih baik terhadap mereka dibanding bapak ibu mereka. Saya mencegah manusia beramal dengan apa yang mereka ada-adakan agar manusia tidak mengikuti pula dosa-dosa mereka itu dan orang yang menyanjung mereka justru jauh lebih berbahaya daripada mereka.” (Ibid)


    76. Abdullah bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, saya mendengar ayahku berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ucapanku (lafadhku) dengan Al Quran adalah makhluk maka ini adalah ucapan yang sangat jelek dan rendah dan ini adalah perkataan orang-orang Jahmiyyah.”
    Saya katakan padanya : “Sesungguhnya Husain Al Karabisiy mengatakan hal ini.”
    Beliau berkata : “Dia dusta, semoga Allah membuka aibnya yang jelek itu. Sungguh ia telah menggantikan Bisyr Al Marisiy.” (As Sunnah li Abdillah 1/165-166 nomor 186-188)


    77. Kata beliau juga :
    “Saya bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbiy tentang Husain Al Karabisiy lalu beliau berkata dengan ucapan yang jelek dan rendah tentang Husain.” (Ibid)


    78. Abdullah berkata --lagi-- :
    “Saya bertanya kepada Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani tentang Husain Al Karabisiy ternyata ia mengatakan hal yang sama dengan Abu Tsaur.” (Ibid)


    79. Imam Ahmad berkata :
    “Bisyr Al Marisiy telah mati dan ia digantikan oleh Husain Al Karabisiy.” (Tarikh Baghdad 8/66)


    80. Dari Muhammad bin Al Hasan bin Harun Al Maushuly ia berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang ucapan Al Karabisiy :
    “Ucapanku dengan Al Quran adalah makhluk.”
    Maka beliau berkata kepadaku :
    “Hai Abu Abdillah, hati-hatilah kamu, hati-hatilah kamu terhadap Al Karabisiy, jangan ajak dia bicara dan jangan pula kamu ajak bicara orang yang bicara dengannya.”
    Beliau ucapkan 4 atau 5 kali. (Ibid 8/65)


    81. Sampai berita kepada Umar bin Al Khaththab radliyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki yang terkumpul pada dirinya beberapa perkara bid’ah maka beliau melarang manusia duduk dengannya. (Majmu’ Fatawa 35/414)
    Ibnu Taimiyyah berkata : “Maka apabila seseorang bergaul dengan orang yang jahat secara rahasia tetap harus diperingatkan manusia darinya.” (Ibid)


    82. Ayyub As Sikhtiyani berkata, Abu Qilabah berkata kepadaku :
    “Jangan beri kesempatan ahli ahwa’ itu mendengar sesuatu dari kamu nanti ia akan melontarkan terhadapnya apa yang mereka kehendaki.” (Al Lalikai 1/134 nomor 246 dan Al Ibanah 2/445 nomor 397)


    83. Utsman bin Zaidah berkata, Sufyan (Ats Tsauri) berwasiat kepadaku :
    “Janganlah kamu bergabung dengan ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)


    84. Al Faryabi berkata :
    “Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk dengan si Fulan --yaitu seorang ahli bid’ah--.” (Ibid)


    85. Ibnul Mubarak berkata :
    “Hati-hatilah kamu jangan sampai duduk dengan ahli bid’ah.” (Ibid)


    86. Muqatil bin Muhammad berkata, Abdurrahman bin Mahdi berkata kepadaku :
    “Hai Abul Hasan, janganlah kamu duduk dengan ahli bid’ah ini sesungguhnya mereka senantiasa berfatwa tentang perkara yang Malaikat tidak mampu (menuliskannya).” (Ibid)


    87. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Saya telah mendapatkan bahwa sebaik-baik manusia seluruhnya adalah Ahli Sunnah dan mereka senantiasa melarang bergaul dengan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/138 nomor 267)


    88. Yahya bin Abi Katsir berkata :
    “Kalau kamu bertemu ahli bid’ah di suatu jalan maka ambillah jalan lain.”
    Begitu pula kata Al Fudlail bin Iyyadl. (Al I’tisham 1/172, Al Ibanah 2/474-475 nomor 490 dan 493, Ibnu Wudldlah dalam Al Bida’ 55, Asy Syari’ah 67, dan Al Lalikai 1/137 nomor 259)


    89. Abu Qilabah berkata :
    “Janganlah kamu duduk bersama ahli ahwa’ dan jangan berdialog dengan mereka sebab sesungguhnya saya tidak aman kalau-kalau mereka membenamkan kamu dalam kesesatan mereka atau mengaburkan apa-apa yang telah kamu ketahui.” (Al Bida’ 55, Al I’tisham 1/172, Al Lalikai 1/134 nomor 244, Ad Darimy 1/120 nomor 391, Al Ibanah 2/473 nomor 369, Asy Syari’ah 61)


    90. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jangan kamu duduk (bermajelis) bersama ahli bid’ah sebab sesungguhnya saya khawatir kamu tertimpa laknat.” (Al Lalikai 1/137 nomor 261 dan 262)


    91. Ia --juga-- berkata :
    “Hati-hatilah kamu (jangan) masuk kepada ahli bid’ah karena sesungguhnya mereka itu selalu menghalangi orang dari Al Haq.” (Ibid)


    92. Al Hasan Al Bashry dan Ibnu Sirin berkata :
    “Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ dan jangan kamu berdialog dengan mereka dan jangan dengar ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/444 nomor 395 dan Ad Darimy 1/121 no 401)


    93. Ibrahim An Nakha’i berkata :
    “Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ karena saya khawatir kalau- kalau hatimu berbalik (murtad).” (Al Ibanah 2/439 nomor 373, Al Bida’ 56, Al I’tisham 1/172)


    94. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab yang demikian menjadikan hati berpenyakit.” (Al Bida’ 54, Al Ibanah 2/438 nomor 373 juga dari Abdullah Al Mula’i nomor 373 dan Ibnu Abbas nomor 371)


    95. Mujahid berkata :
    “Janganlah kamu berada dalam satu majelis dengan ahli ahwa’ sebab mereka mempunyai cacat seperti kurap.” (Al Ibanah 2/441 nomor 382)


    96. Muhammad bin Muslim berkata, Allah mewahyukan kepada Musa bin Imran Alaihis Salam :
    “Hendaknya kamu jangan duduk dengan ahli ahwa’ karena (dikhawatirkan) engkau akan mendengar satu ucapan yang menyebabkan kamu ragu lalu sesat dan masuk neraka.” (Al Bida’ 56)


    97. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Barangsiapa yang suka memuliakan Diennya maka tinggalkanlah bermajelis dengan ahli ahwa’ sebab yang demikian itu lebih sulit lepasnya dibanding penyakit kulit (koreng, dan sebagainya).” (Ibid 57)


    98. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Janganlah duduk dengan pengekor hawa nafsu lalu ia melemparkan sesuatu dalam hatimu dan kamu ikuti lalu kamu celaka atau kamu menolaknya akibatnya hatimu menjadi sakit.” (Ibid)


    99. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Ahli bid’ah itu jangan kamu mempercayainya dalam soal agamamu dan jangan ajak dia bermusyawarah dalam urusanmu dan jangan duduk dengannya. Maka siapa yang duduk dengannya, Allah wariskan kepadanya kebutaan (dari Al Haq).” (Al Lalikai 1/138 nomor 264)


    100. Ibrahim An Nakha’i berkata :
    “Janganlah duduk dengan ahli ahwa’ sebab sesungguhnya duduk dengan mereka melenyapkan cahaya iman dari dalam hati dan menghilangkan keindahan wajah dan mewariskan kebencian di dalam hati kaum Mukminin.” (Al Ibanah 2/439 nomor 375)


    101. Dari Atha’ ia berkata, Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa Alaihis Salam :
    “Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab sesungguhnya mereka akan menimbulkan perkara baru yang belum pernah ada di dalam hatimu.” (Ibid 2/433 nomor 358)


    102. Salamah bin Alqamah berkata :
    “Muhammad bin Sirin selalu melarang manusia berbicara dan duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid 2/522 nomor 624)


    103.    Aly bin Abi Khalid menceritakan bahwa ia berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal :
    “Orang tua ini --sambil mengisyaratkan kepada syaikh itu-- adalah jiranku dan saya telah melarangnya bergaul dengan seseorang (bid’iy) dan ia lebih suka mendengar perkataan Anda dalam perkara ini --mengenai Harits Al Qashir-- (Harits Al Muhasibi) dan Anda pernah melihatku bersamanya selama beberapa tahun lalu Anda katakan pada saya :
    ‘Jangan duduk (bermajelis) dengannya dan jangan ajak bicara.’
    Maka sejak saat itu saya tidak pernah mengajaknya bicara sampai saat ini sedangkan orang tua ini senang duduk (bermajelis) dengannya maka bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?”
    Saya lihat wajah Imam Ahmad memerah, urat lehernya membengkak dan matanya melotot marah dan saya belum pernah melihatnya seperti itu sama sekali kemudian beliau menghembuskan nafas dan mulai berkata :
    “Orang itu! Allah telah berbuat terhadapnya apa yang Dia perbuat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berpengalaman dan mengenalnya, uwaiyyah, uwaiyyah, uwaiyyah, dia itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali yang pernah bergaul dan mengenalnya, dia itu yang pernah duduk bersamanya Al Maghazily, Ya’qub, dan Fulan lalu ia menggiring mereka kepada pemikiran Jahm akhirnya mereka binasa karenanya.”
    Orang tua itu berkata : “Wahai Abu Abdillah, ia juga meriwayatkan hadits, lembut, khusyu’ dan orang tua itu terus menceritakan kebaikan Harits Al Muhasibi.”
    Imam Ahmad marah dan berkata :
    “Janganlah kau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya. Dan jangan kamu terpedaya dengan kebiasaannya menundukkan kepala karena sesungguhnya dia adalah laki-laki yang jahat, dia itu tidaklah mengetahuinya kecuali yang telah berpengalaman dengannya, jangan kamu ajak dia bicara. Tidak ada kemuliaan baginya. Apakah setiap yang meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam padahal ia seorang mubtadi’ kamu akan duduk bersamanya? Tidak! Jangan. Tidak ada kemuliaan baginya dan jangan kita membutakan mata!”
    Beliau mengulangi-ulangi ucapannya : “Tidak ada yang mengetahuinya kecuali yang pernah mengujinya dan mengenalnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/233-234 nomor 325)


    104.    Dari Abduus bin Malik Al Aththar ia berkata, saya mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata :
    “Dasar-dasar As Sunnah menurut kami adalah --beliau sebutkan di antaranya-- : ‘ ... dan tidak duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid 1/241 nomor 338)


    105.    Imam Ahmad ketika ditanya tentang Al Karabisiy, beliau menjawab :
    “Dia itu seorang mubtadi’.” (Tarikh Baghdad 8/66)


    106.    Diberitakan kepada Yahya bin Ma’in bahwa Husain Al Karabisiy mengatakan sesuatu tentang Ahmad bin Hanbal maka katanya :
    “Siapa Husain Al Karabisiy itu? Semoga Allah melaknatnya. Dia itu selalu membicarakan perkara yang masih tersamar bagi manusia, Husain itu rendah dan Ahmad itu tinggi kedudukannya.” (Ibid 8/65)


    107.    Juga diceritakan kepadanya bahwa Husain mengatakan sesuatu tentang Imam Ahmad maka ia berkata :
    “Alangkah pantasnya ia dipukul.” (Ibid 8/64)


    108.    Yusuf bin Asbath berkata :
    “Ayahku seorang Qadariy sedangkan saudara-saudara ibuku adalah Rafidly (Syiah ekstrim) lalu Allah menyelamatkanku dengan (bimbingan) Sufyan.” (Al Lalikai 1/60 nomor 32)

    BAB 11 : Bolehnya Meninggalkan Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah, Majelis Mereka, Dan Menjauhkan Manusia Dari Mereka

    --------------------------------------------------------------------------------


    109. Farwah bin Yahya biasa duduk dengan Abdul Karim Khashifa, datang kepada mereka Salim Al Afthas dari Iraq lalu berbicara tentang pemikiran Murjiah maka mereka berdiri dari majelis tersebut katanya (rawi) :
    “Sering saya lihat dia duduk sendirian tanpa seorang pun yang mendekatinya.” (Al Ibanah 2/452 nomor 418)


    110. Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin :
    “Sesungguhnya si Fulan ingin menemui Anda dan tidak akan berbicara tentang apa pun.”
    Katanya : “Katakan kepadanya, tidak! Ia tidak usah menemuiku karena sesungguhnya hati anak Adam itu lemah dan saya takut mendengar satu kata saja dari dia yang menyebabkan hatiku tidak kembali kepada keadaanya semula.” (Ibid 2/446 nomor 399-401)


    111. Ma’mar berkata, ketika Ibnu Thawus sedang duduk, datang seorang Mu’tazilah dan mulai berbicara katanya (rawi) lalu ia menutup telinganya dengan jarinya dan berkata kepada anaknya :
    “Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan keraskanlah dan jangan kau dengar ucapannya sedikitpun.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh baghdad 8/215)


    112. Abdur Razzaq berkata, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya berkata kepadaku --ia seorang Mu’taziliy-- :
    “Saya lihat kaum Mu’tazilah banyak di sekitarmu?” Saya katakan : “Betul dan mereka menyangka kamu termasuk golongan mereka.” Katanya : “Apakah tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke warung ini agar saya berbicara denganmu?” Saya berkata : “Tidak usah.” Ia bertanya : “Mengapa?” Jawabku : “Karena hati manusia itu sangat lemah sedangkan agama itu bukan kepunyaan orang yang menang berdebat.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)


    113. Ibrahim An Nakha’i berkata kepada Muhammad bin As Saib :
    “Janganlah kamu mendekati kami selama kamu masih berpegang dengan pendapatmu ini (pemikiran Murjiah). (Karena dia seorang Murjiah, pent.).” (Al Bida’ 59)


    114. Abul Qasim An Nashr Abadzy berkata :
    “Sampai kepadaku bahwa Al Harits Al Muhasibiy mengucapkan sesuatu tentang Al Kalam (Al Quran) maka Imam Ahmad bin Hanbal menjauhinya, ia pun bersembunyi dan ketika ia mati tidak ada yang mendatanginya kecuali 4 orang.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/216)


    115. Ketika ditanya tentang Al Muhasibi dan kitab-kitabnya, Abu Zur’ah menjawab :
    “Tinggalkan olehmu kitab-kitab ini (karena) ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat. Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih sebab sesungguhnya akan kamu dapatkan padanya segala sesuatu yang mencukupi kamu. Dan tidak perlu kitab- kitab ini.”
    Lalu dikatakan kepadanya : “Di dalam kitab ini ada juga ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
    Beliau berkata : “Barangsiapa yang tidak dapat mengambil ibrah dari Kitab Allah maka dia tidak akan mendapatkan ibrah dari sumber yang lain.” Kemudian katanya lagi : “Alangkah cepatnya manusia itu menuju bid’ah.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)


    116. Dengan sanad yang shahih, Al Khathib Al Baghdadi <meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah mendengar ucapan Al Muhasibi maka iapun berkata kepada para shahabatnya :
    “Aku belum pernah mendengar tentang perkara hakikat seperti ucapan orang ini akan tetapi saya menganggap tidak perlu kamu bergaul dengannya.” (At Tahdzib 2/117)


    117. Daud Al Ashbahani tiba di Baghdad dan dia punya hubungan baik dengan Shalih bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal. Ia meminta Shalih agar berlemah-lembut memintakan izin kepada ayahandanya untuk dirinya. Maka Shalih mendatangi ayahnya lalu berkata :
    “Seseorang memintaku agar ia boleh menemui Anda.” Beliau bertanya : “Siapa namanya?” Shalih berkata : “Daud.” Kata beliau : “Asalnya dari mana?” Kata Shalih : “Dari penduduk Ashbahan.” Beliau bertanya lagi : “Apa yang diperbuatnya?” Kata (rawi), Shalih selalu mengelak mengenalkannya kepada ayahandanya dan Imam Ahmad selalu berusaha untuk bertanya sampai akhirnya beliau mengerti betul siapa yang datang. Maka kata beliau : “Tentang orang ini, Muhammad bin Yahya An Naisaburi telah menuliskannya kepadaku lewat surat bahwa ia menganggap bahwa Al Quran adalah muhdats (makhluk) maka janganlah ia mendekatiku.”
    Kata Shalih : “Wahai ayahanda, ia pun menolak dan mengingkarinya.” Maka kata beliau : “Ucapan Muhammad bin Yahya lebih jujur dari orang ini, jangan izinkan dia mendatangi saya.” (Tarikh Baghdad 8/373,374 dan As Siyar 13/99)


    118. Abdullah bin Umar As Sarkhasi berkata, saya pernah makan di sisi seorang ahli bid’ah lalu sampai berita ini kepada Ibnul Mubarak maka katanya :
    “Saya tidak akan mengajaknya bicara selama tiga puluh hari.” (Al Lalikai 1/139 nomor 274)


    119. Al Faryabi berkata :
    “Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk (bermajelis) dengan Fulan --yakni seorang ahli bid’ah--.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)


    120. Dua orang ahli ahwa’ mendatangi Ibnu Sirin lalu berkata :
    “Hai Abu Bakr, (bolehkah) kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”
    Ia berkata : “Tidak.” Keduanya berkata lagi : “Atau kami bacakan ayat Al Quran kepadamu?”
    Ia menjawab : “Tidak. Kalian pergi dari saya atau saya yang akan pergi?”
    Lalu keduanya keluar maka sebagian orang berkata : “Hai Abu Bakr, mengapa Anda tidak mau mereka membacakan ayat-ayat Al Quran kepadamu?” Beliau menjawab :
    “Sesungguhnya saya khawatir ia bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka menyelewengkannya sehingga berbekas dalam hatiku.” (Ad Darimy 1/120 nomor 397)


    121. Salam berkata, seorang ahli ahwa berkata kepada Ayyub :
    “Saya ingin bertanya mengenai satu kalimat kepada Anda.” Ayyub segera berpaling dan berkata : “Tidak perlu meski setengah kalimat walaupun setengah kalimat.” --Ia mengisyaratkan jarinya--. (Al Ibanah 2/447 nomor 402, Al Lalikai 1/143 nomor 291, As Sunnah li Abdillah 1/138 nomor 101, Ad Darimy 1/121 nomor 398)


    122.  Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu dan jangan duduk dengan pengekor hawa nafsu karena sesungguhnya saya khawatir kamu terkena murka Allah.” (Al Ibanah 2/462-463 nomor 451-452)


    123. Ismail Ath Thusi mengatakan, Ibnul Mubarak berkata kepadaku :
    “Hendaknya majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah jangan duduk bersama ahli bid’ah.”


    124. Nafi’ menceritakan bahwa Shabigh Al Iraqi mulai bertanya-tanya tentang sesuatu dari Al Quran di tengah-tengah pasukan Muslimin sampai tiba di Mesir lalu Amru bin Al Ash mengirimnya kepada Umar bin Al Khaththab. Maka ketika utusan menemuinya dengan surat dari Amru, Umar bin Al Khaththab segera membacanya, katanya :
    “Mana orang itu?” Utusan itu berkata : “Ia di kendaraan.” Kata Umar : “Awasi dia! Kalau dia hilang, kamu akan kena hukuman yang menyakitkan.”


    Maka dibawalah Shabigh, kata Umar : “Kamu bertanya-tanya soal yang baru (belum pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Lalu Umar minta pelepah kurma yang masih segar dan memukulkannya ke punggung Shabigh sampai remuk kemudian ditinggalkan sampai pulih kembali dan diulangi lagi kemudian ia dipanggil agar menghadap maka kata Shabigh : “Jika Anda ingin membunuhku maka bunuhlah dengan baik kalau Anda ingin mengobatiku maka sungguh demi Allah saya sudah sembuh (dari keinginan bertanya- tanya).”


    Kemudian ia diizinkan kembali ke negerinya dan Umar menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari, jangan ada seorang pun dari kaum Muslimin duduk bersamanya. Akhirnya hal ini terasa sangat berat bagi Shabigh kemudian (setelah ia bertaubat) Abu Musa menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab bahwa Shabigh telah baik keadaannya, setelah itu Umar menulis surat kepada Abu Musa agar manusia diizinkan untuk duduk bersamanya. (Ad Darimy 1/67 nomor 148, Al Hujjah 1/194, dan Al Bida’ 63)


    125. Salah seorang Salaf berkata :
    “Saya pernah berjalan bersama Amru bin Ubaid dan dilihat oleh Ibnu Aun, sejak itu iapun menjauhiku selama dua bulan.” (Al Bida’ 58)

    BAB 12 : Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama

    --------------------------------------------------------------------------------


    126. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata :
    “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”
    Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”


    Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah).

    Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”

     

    Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku --semoga Allah merahmatimu- -. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :


    Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap istiqamah hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing daan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat) yang baik.

    Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan) terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As Sunnah.

    Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi tidak denngan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh orang yang menipu dirinya sendiri. Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor 679)


    127. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya :
    “Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).

    Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu) sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu.

    Dan yang lebih berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah 2/471-472 nomor 481)


    128. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)


    129. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb mengatakan :
    “Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah 64)


    130. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul Huriyyah menyusulnya --ia diduga seorang Murjiah-- katanya :


    “Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
    Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata : “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :


    “Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)


    131. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata :
    Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi iilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?”
    Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
    Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?”


    Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu.”
    Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”


    Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus Shalih.”


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 13 : Menghinakan dan Tidak Menghormati Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    132. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang menghormati ahli bid’ah berarti ia memberi bantuan untuk meruntuhkkan Islam dan siapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah maka ia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan siapa yang menikahkan puterinya kepada mubtadi’ maka ia telah memutuskan hubungan silaturrahimnya dan siapa yang mengiringi jenazah seorang mubtadi’ akan senantiasa berada dalam kemarahan Allah sampai ia kembali.”
    Ia juga mengatakan : “Saya makan bersama yahudi dan nashrani dan tidak makan bersama mubtadi’.” (Syarhus Sunnah 139)

     

    BAB 14 : Jangan Tertipu Oleh Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    133. Dari Ismail bin Ishaq As Siraj ia mengatakan, Imam Ahmad bin Hanbal pada suatu hari berkata kepadaku :
    “Saya dengar bahwa Al Harits Al Muhasibi sering berkumpul di tempatmu, kalau kamu mengundangnya ke rumahmu dan kau tempatkan saya di tempat yang tidak terlihat olehnya tentu saya akan dapat mendengar perkataannya.” Maka saya berkata : “Saya dengar dan saya patuhi untuk Anda, hai Abu Abdillah dan ini menyenangkan saya.” Lalu saya mendatangi Al Harits dan memintanya datang malam ini, saya katakan : “Engkau ajaklah shahabatmu hadir bersamamu.”

    Katanya : “Hai Abu Ismail, mereka banyak maka jangan beri mereka lebih dari minyak dan kurma dan perbanyaklah keduanya semampumu.”

    Saya pun melakukan apa yang dia minta dan saya berangkat ke tempat Imam Ahmad dan menceritakan hal ini kepadanya, beliau hadir sesudah maghrib dan naik ke kamar dan berusaha untuk tetap hadir sampai selesai. Kemudian Al Harits datang beserta shahabat-shahabatnya lalu mereka makan kemudian shalat pada sepertiga awal malam dan tidak shalat lagi sesudahnya.

    Setelah itu mereka duduk di hadapan Al Harits dan diam tidak berbicara hingga tengah malam kemudian mulailah salah seorang bertanya kepada Al Harits tentang sesuatu dan ia mulai berbicara sementara shahabatnya memperhatikan seakan-akan di atas kepala mereka bertengger seekor burung (karena tenangnya), di antara mereka ada yang menangis adapula yang menjerit dan Al Harits tetap berbicara kemudian saya naik ke kamar melihat keadaan Imam Ahmad, saya dapati beliau menangis sampai tidak sadarkan diri.

    Saya pun berpaling melihat keadaan orang- orang itu ternyata mereka tetap dalam keadaan seperti itu sampai shubuh lalu mereka berdiri dan berpisah. Saya segera menemui Imam Ahmad sedang ia terlihat lain maka saya berkata : “Bagaimana pendapat Anda tentang mereka ini, wahai Abu Abdillah?”


    Beliau menjawab : “Belum pernah saya mengetahui ada orang-orang seperti mereka ini dan saya belum pernah mendengar tentang ilmu hakikat seperti ucapan laki-laki itu (Al Harits) dan meskipun saya terangkan keadaan mereka ini, saya tetap tidak memandang perlunya kamu bergaul dengan mereka.” Lalu ia berdiri dan keluar. (Tarikh Baghdad 8/214-215)

     

    BAB 15 : Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq

    --------------------------------------------------------------------------------


    134. Abu Musa berkata :
    “Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah 2/468 nomor 469)


    135. Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya :
    “Saya larang kamu berzina, mencuri, dan minum khomer namun seandainya kamu bertemu Allah Azza wa Jalla dengan (masih) berbuat ini lebih saya sukai daripada kamu bertemu Allah membawa pemikiran Amru bin Ubaid dan shahabat- shahabatnya.” (Al Ibanah 2/466 nomor 464)


    136. Abul Jauza berkata :
    “Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk yang disebut dalam ayat :
    Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119) (Al Ibanah 2/467 nomor 466-467)“


    137. Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa :
    “Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang musik dan peminum khomr dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’ 56)


    138. Yahya bin Ubaid berkata :
    Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan berkata :
    “Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.” (Al Bida’ 59)


    139. Arthaah bin Al Mundzir berkata :
    “Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasiq lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah).” (Asy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah 132 nomor 87)
    140. Sa’id bin Jubair berkata :
    “Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun mubtadi’.” (Ibid nomor 89)


    141. Ketika dikatakan kepada Malik bin Mighwal bahwa anaknya bermain-main dengan burung, ia berkata:
    “Alangkah baiknya apa yang menyibukkannya dari berteman dengan mubtadi’.” (Ibid 133 nomor 90)


    142. Imam Al Barbahary berkata :
    “Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka bersamanya.” (Syarhus Sunnah 124 nomor 149)


    143. Abu Hatim berkata, saya mendengar Ahmad bin Sinan mengatakan :
    “Seandainya bertetangga denganku pemusik tetap lebih aku sukai daripada ahli bid’ah yang jadi jiranku. Karena pemusik itu mungkin dapat untuk saya larang dan saya hancurkan musiknya (tamburnya) sedang mubtadi’ ia merusak semua manusia, tetangga maupun para pemuda (tanpa disadari, ed.)” (Al Ibanah 2/469 nomor 473)


    144. Imam Asy Syafi’iy --rahimahullah-- berkata :
    “Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa kecuali syirik jauh lebih baik (lebih ringan dosanya, ed.) daripada ia menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (bid’ah).” (Syarhus Sunnah halaman 124, disandarkan kepada Al Baihaqy dalam I’tiqad 158)


    145. Imam Ahmad berkata :
    “Kuburan Ahli Sunnah pelaku dosa besar bagaikan taman sedang kuburnya ahli bid’ah biarpun ahli zuhud adalah jurang (neraka). Orang fasiq di kalangan Ahli Sunnah termasuk wali-wali Allah sedang orang-orang zuhud (ahli ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.” (Thabaqat Hanabilah 1/184)


    1 comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 16 : Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan Keadaan Seseorang

    --------------------------------------------------------------------------------

    146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu membicarakan seseorang?”
    Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham 1/127)


    147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    [Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :

    Saya bertanya kepada Imam Malik dan Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’d --saya menduganya Al Auza’iy-- tentang seseorang yang tertuduh dalam periwayatan hadits atau tidak hafal. Mereka mengatakan :

    “Terangkan keadaannya itu.”
    Dan sebagian ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sesungguhnya berat bagiku mengatakan bahwa Fulan begitu, Fulan begini.”
    Maka kata beliau : “Jika kamu dan saya diam dalam masalah ini maka kapan orang yang jahil itu tahu mana hadits yang shahih dan mana yang cacat?! Dan seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki berbagai pendapat dan ibadah yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan manusia dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin (Ahli Ilmu).”

    Sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Seseorang berpuasa, shalat, i’tikaf lebih Anda cintai ataukah jika ia menerangkan keadaan ahli bid’ah?”

    Beliau berkata : “Jika ia puasa, shalat, dan i’tikaf maka itu untuk dirinya sendiri sedangkan apabila ia menerangkan keadaan ahli bid’ah maka ini adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan ini lebih utama maka menerangkan perkara ini agar berguna bagi kaum Muslimin dalam agama mereka termasuk salah satu jihad di jalan Allah sebab membersihkan jalan Allah dan agama, manhaj, dan syariat-Nya serta menghalau kejahatan ahli bid’ah dan permusuhan mereka adalah Fardlu Kifayah menurut kesepakatan kaum Muslimin.

    Dan apabila tidak ada orang yang Allah bangkitkan untuk menolak bahaya ahli bid’ah ini benar-benar akan hancurlah agama ini. Dan kerusakannya jauh lebih besar daripada kerusakan akibat penjajahan musuh dari kalangan orang-orang yang kafir yang mesti diperangi. Sebab mereka ini jika berkuasa belum tentu mampu merusak hati manusia yang dijajahnya kecuali pada kesempatan berikutnya sedangkan ahli bid’ah ini jika mereka berkuasa akan merusak hati lebih dahulu.” ] (Majmu’ Fatawa 28/231 dan 232)

     

    BAB 17 : Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat Teman Dekatnya  

    --------------------------------------------------------------------------------


    148. Abu Qilabah berkata :
    [ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang mengucapkan syair :
    Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya
    Karena setiap orang akan meniru temannya ]
    Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.”
    Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”


    149. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)


    150. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)


    151. Dan ia berkata :
    “Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)


    152. Beliau melanjutkan :
    “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)


    153. Abu Darda mengatakan :
    “Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)


    154. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda :
    “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)


    155. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata :
    “Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” (Al Ibanah 2/479- 480 nomor 511)


    156. Qatadah berkata :
    “Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)


    157. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)


    158. Al Auza’iy berkata :
    “Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)


    159. Al A’masy mengatakan :
    “Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)


    160. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata :
    “Kemarilah --kepada-- temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)


    161. Abdullah bin Mas’ud berkata :
    “Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)


    162. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
    “Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)


    163. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
    “Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”


    164. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
    “Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)


    165. Ia --juga-- mengatakan :
    “Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”


    166. Ibnu Aun mengatakan :
    “Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)


    167. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?”
    Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
    Mereka menjawab : “Qadary.”
    Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah 2/453 nomor 421)
    Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta apa- apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :
    “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118) ]


    168. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
    Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)


    169. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
    “Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah) --dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka-- kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)


    170. Utbah Al Ghulam berkata :
    “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)


    171. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)


    172. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata :
    “Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)


    173. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”


    174. Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
    “Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)


    175. Ahmad bin Hanbal berkata :
    “Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)


    176. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
    “Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)


    177. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
    “Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)

     

    BAB 18 : Bukanlah Ghibah Menceritakan Keadaan Ahli Bid’ah Menurut Salafus Shalih

    --------------------------------------------------------------------------------


    178. Dari Al A’masy dari Ibrahim ia berkata :
    “Bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/140 nomor 276)


    179. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan kefasikan orang yang berbuat fasiq terang- terangan bukan perbuatan ghibah.” (Al Lalikai nomor 279-280)


    180. Dan kata beliau selanjutnya :
    “Bukanlah ghibah menceritakan kesalahan (aib) ahli bid’ah.” (Ibid nomor 279-280)


    181. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah maka tidak ada kehormatan baginya.” (Al Lalikai nomor 282)


    182. Dari Sufyan bin Uyainah berkata, Syu’bah pernah berkata :
    “Kemarilah kita (berbuat) ghibah di jalan Allah Azza wa Jalla.” (Al Kifayah 91 dan Syarah Ilal At Tirmidzy 1/349)


    183. Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwiy berkata, Syu’bah mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata :
    “Ini bukanlah hari (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari ghibah, marilah melakukan ghibah tentang para pembohong itu.” (Al Kifayah 91)


    184. Dari Makky bin Ibrahim ia berkata, Syu’bah mendatangi Imran bin Hudair dan berkata : “Hai Imran, marilah kita ghibah sesaat di jalan Allah Azza wa Jalla.”
    Kemudian mereka menyebut-nyebut kejelekan (kesalahan) para perawi hadits. (Al Kifayah 91)


    185. Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, saya mendengar Abu Mushir (ketika) ditanya tentang seorang rawi yang keliru dan kacau serta menambah-nambah dalam meriwayatkan hadits, ia berkata : “Terangkan keadaan orang itu!”
    Maka saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah itu tidak Anda anggap ghibah?”
    Ia menjawab : “Tidak.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349 dan Al Kifayah 91 dan 92)


    186. Ibnul Mubarak berkata : “Al Ma’la bin Hilal adalah rawi hanya saja jika datang satu hadits ia berdusta (berbuat dusta dengan hadits itu).”
    Seorang Sufi berkata : “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah?”
    Maka beliau menjawab : “Diamlah kau! Jika kami tidak menerangkan hal ini bagaimana mungkin dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil?” (Al Kifayah 91 dan 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)


    187. Abdullah bin (Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Turab An Nakhsyabi datang kepada ayahku lalu beliau mulai berkata : “Si Fulan dlaif, si Fulan tsiqah.”
    Berkatalah Abu Turab : “Wahai Syaikh, janganlah mengghibah ulama.”
    Ayahku segera menoleh ke arahnya dan berkata : “Celakalah kamu! Ini adalah nasihat bukan ghibah.” (Al Kifayah 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    188. Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjaniy berkata, saya mengatakan kepada Imam Ahmad bahwa sangat berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan dlaif, si Fulan pendusta.
    Maka beliau berkata : “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang awam mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)


    189. Dari Syaudzab (katanya) dari Katsir Abu Sahl ia berkata :
    “Dikatakan bahwa ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai kehormatan.” (Al Lalikai 1/140 nomor 281)


    190. Dari Al Hasan bin Aly Al Iskafy ia berkata, saya bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang pengertian ghibah, beliau menerangkan : “Ghibah itu ialah jika kamu tidak menolak aib seseorang.”
    Saya bertanya lagi, bagaimana dengan seorang yang mengatakan : “Si Fulan tidak mendengar hadits dari seseorang dan si Fulan keliru?”
    Beliau menjawab : “Seandainya hal ini ditinggalkan manusia maka tidak akan pernah diketahui shahih atau tidaknya suatu hadits.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    191. Ismail Al Khathaby berkata, Abdullah bin (Imam) Ahmad menceritakan kepada kami bahwa ia berkata kepada ayahandanya :
    “Apa yang Anda katakan mengenai para rawi yang mendatangi seorang syaikh yang barangkali ia seorang Murjiah atau Syi’iy atau dalam diri syaikh itu terdapat perkara yang menyelisihi As Sunnah apakah ada kelonggaran buat saya untuk diam dalam hal ini ataukah saya harus memperingatkan manusia agar berhati-hati dari syaikh ini?”
    Ayahku menjawab : “Jika ia mengajak orang kepada bid’ah sedangkan dia adalah imam ahli bid’ah maka benar kamu harus memperingatkan manusia dari syaikh ini.” (Al Kifayah 93 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 19 : Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al Asy’ari.”


    Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini. Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya siapa laki-laki tadi?”
    Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu) Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”
    Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)


    Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.


    Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”

     

    BAB 20 : Hukuman Terhadap Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    193. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan :
    “Dan wajib dikenakan hukuman terhadap orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ahli bid’ah, membela dan memuji mereka atau menyanjung dan mengagungkan tulisan-tulisan mereka atau mengemukakan alasan bahwa ucapan (bid’ah) ini tidak dapat difahami apa maksudnya? Atau mempertanyakan benarkah mereka yang menulis kitab ini? Dan alasan-alasan yang seperti ini yang sesungguhnya tidak akan diucapkan kecuali oleh orang yang jahil atau munafiq.

    Bahkan wajib pula dihukum setiap orang yang sudah mengetahui keadaan mereka tetapi tidak membantu menegakkan hukuman itu terhadap mereka (ahli bid’ah) itu maka sesungguhnya menegakkan hukuman terhadap orang-orang yang seperti ini merupakan kewajiban yang sangat agung. Karena mereka merusak akal dan agama seluruh makhluk dari kalangan masyayikh, para ulama, raja-raja dan para pemimpin bahkan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi ini dan menghalangi manusia dari jalan Allah.” (Majmu’ Fatawa 2/132)


    194. Syaikh Bakr Abu Zaid mengomentari ucapan beliau dengan mengatakan :
    “Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan memberinya minum dari mata air Jannah Salsabil (Aamiin). Sesungguhnya ucapan beliau ini benar-benar berada pada puncak ketelitian dan urgensi (kepentingan) yang sangat tinggi dan ini meskipun ditujukan khusus untuk menghadapi orang-orang sesat dari kalangan Al Ittihadiyyah (paham manunggaling kawulo gusti) namun ternyata berlaku juga terhadap seluruh firqah sempalan (dahulu dan sekarang).

    Maka siapa pun yang mendukung tindakan ahli bid’ah, menghormatinya dan memuliakan karya-karya mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah kaum Muslimin dan membanggakannya serta ikut menyiarkan bid’ah dan kesesatan yang ada di dalamnya dan tidak membongkar cacat dan (tidak pula menjelaskan) penyimpangan aqidah yang terdapat di dalamnya (jika ia melakukan hal ini) berarti ia meremehkan perintah ini. Wajib dihentikan kejahatannya itu agar tidak menimpa (menular) kepada kaum Muslimin.


    Dan kita pun telah diuji pada masa ini dengan (didatangkannya) orang-orang yang berjalan di atas metode ini yakni mereka memuliakan ahli bid’ah (mubtadi’) menyebarkan ucapan-ucapan mereka tanpa memberi peringatan atas kekeliruan para mubtadi’ tersebut juga kesesatan jalan yang dilaluinya.

    (Bahkan di antara mereka ada yang menganggap ahli bid’ah dan pekerjaan-pekerjaan mereka mengandung kebaikan dan layak untuk dibaca dan diperhatikan, pent.). Oleh sebab itu peringatkanlah untuk menjauhi para pimpinan kebodohan pelaku bid’ah (mubtadi’) ini. Dan kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan orang-orangnya.” (Hijrul Mubtadi’ 48-49)


    195. Rafi’ bin Asyras berkata :
    “Hukuman orang fasiq yang (juga) mubtadi’ adalah jangan menyebut kebaikan- kebaikannya.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/353)


    196. Asy Syathibi berkata :
    “Maka sesungguhnya golongan yang selamat --Ahlussunnah-- mereka diperintah untuk menunjukkan permusuhan terhadap ahli bid’ah, menjauhi mereka, dan menjatuhkan sanksi terhadap orang-orang yang bergabung dengan ahli bid’ah dengan hukuman mati atau yang lebih rendah dari itu. Sesungguhnya para ulama telah memperingatkan ummat agar jangan berteman dan duduk dengan mereka karena hal itu merupakan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

    Akan tetapi tindakan demikian hanya berlaku terhadap mereka yang menjadi sebab seseorang keluar dari Al Jamaah dengan bid’ahnya dan tidak mengikuti jalan kaum Mukminin bukan karena permusuhan secara mutlak (umum). Bagaimana tidak? Kita diperintah untuk memusuhi mereka dan sebaliknya mereka diperintah untuk loyal (setia dan tunduk) kepada kita dan kembali kepada Al Jamaah?!” (Al I’tisham 158-159)


    197. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Adapun dai yang mengajak ummat menuju bid’ah sangat pantas (berhak) mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin dan sanksi itu dapat berupa hukuman bunuh (diperangi) dan terkadang dapat pula dengan selain itu.

    Dan apabila dengan pertimbangan tertentu seorang mubtadi’ belum pantas diberi sanksi atau tidak mungkin mendapat hukuman maka --mau tidak mau-- haruslah dijelaskan kepada ummat kebida’ahannya dan mengingatkan mereka agar menjauhinya karena hal ini termasuk dalam perbuatan amar ma’ruf nahy munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa 35/414)

     

    BAB 21 : Titik (Tujuan) Akhir Ahli Bid’ah Dan Sifat-Sifat Mereka

    --------------------------------------------------------------------------------


    198. Dari Abu Qilabah ia berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat bid’ah melainkan (suatu saat) ia akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkan darah).” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/58 nomor 99)


    199. Ayyub menamakan para mubtadi’ itu (sebagai) Khawarij dan ia menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Khawarij itu nama dan julukan mereka berbeda namun mereka bersepakat dalam menghalalkan darah kaum Muslimin. (Al I’tisham 1/113)


    200. Abu Qilabah berkata :
    “Sesungguhnya ahlul ahwa itu adalah orang-orang yang sesat dan saya tidak menganggap ada tempat kembali mereka selain neraka.” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/158)


    201. Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas : “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami (berjalan) di atas hawa nafsu kalian (para shahabat).”
    Ibnu Abbas menukas : “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu ini. Dan ia dinamakan hawa karena ia menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka.” (Asy Syarhu wal Ibanah 123 nomor 62)


    202. Pendapat tersebut juga berasal dari Al Hasan Al Bashry, Mujahid, Abul Aliyah, dan Asy Sya’bi. (Asy Syarhu 124 nomor 63 dan Ad Darimy 1/120 nomor 395)


    203. Ibnu Sirin berpendapat bahwa orang yang paling segera murtad adalah ahlul ahwa (mubtadi’). (Al I’tisham 1/113)


    204. Dari Abi Ghalib dari Umamah, ia berkata mengenai ayat :
    “Lalu mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar)” (QS. Ali Imran : 7)
    Bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang Khawarij dan para ahli bid’ah. (Al Ibanah 2/606 nomor 783)


    205. Dari Ma’mar dari Qatadah ia menerangkan maksud ayat :
    “Adapun orang-orang yang di hatinya terdapat zaigh (kecenderungan kepada kesesatan)”
    Ia berkata : “Jika yang dimaksud ayat ini bukan Khawarij dan kaum Sabaiyyah, saya tidak tahu lagi siapa mereka. Demi Allah, seandainya orang Khawarij itu di atas hidayah tentulah mereka akan bersatu namun ternyata mereka di atas kesesatan maka mereka bercerai-berai. Begitupula segala perkara yang bukan berasal dari sisi Allah tentu akan terdapat di dalamnya perselisihan yang sangat banyak. Demi Allah sungguh Haruriyyah itu benar-benar bid’ah dan Sabaiyyah juga benar-benar bid’ah yang tidak pernah ada dalam satu kitab pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang Nabi pun.”


    Ibnu Baththah Al Ukbary berkata : “Al Haruriyyah adalah Khawarij dan As Sabaiyyah adalah kaum Rafidliy pengikut Abdullah bin Saba’ yang dibakar oleh Aly bin Abi Thalib dan hanya tertinggal sebagian di antara mereka.” (Al Ibanah 2/607 nomor 785)


    206. Dari Ayyub dari Abu Qilabah ia berkata :
    [ Sesungguhnya ahlil ahwa adalah orang-orang yang sesat. Saya menganggap tidak ada tempat kembali mereka selain neraka. Cobalah kalian uji mereka maka tidak ada satu pun dari mereka yang meyakini suatu ucapan atau berpendapat dengan satu pendapat lalu urusan mereka berakhir kecuali dengan pedang (menumpahkan darah). Dan sesungguhnya karakter kemunafikan itu beraneka-ragam modelnya. Kemudian ia membaca :
    “Di antara mereka ada yang mengikat janji kepada Allah.” (QS. At Taubah : 75)
    “Di antara mereka ada yang mencelamu dalam (pembagian) zakat.” (QS. At Taubah : 58)
    “Dan di antara mereka ada yang menyakiti Nabi.” (QS. At Taubah : 61)
    Ucapan mereka berbeda-beda namun mereka bersatu dalam keraguan, kedustaan, dan pedang (penumpahan darah kaum Muslimin). Dan saya menganggap bahwa tempat kembali mereka tidak lain adalah neraka. ] (Ad Darimy 1/58 nomor 100)
    Kemudian Ayyub mengatakan : “Abu Qilabah adalah --demi Allah-- salah seorang dari para fuqaha’ yang berakal (cerdas).”


    207. Sa’id bin Anbasah berkata :
    “Tidak akan ada seseorang yang mengerjakan suatu kebid’ahan kecuali dengki hatinya terhadap kaum Muslimin dan tercabut amanah dari dirinya.” (Ibanah Ash Shughra 135 nomor 98-100)


    208. Al Auza’iy berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan hilang sikap wara’-nya.” (Ibid)


    209. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan keimanannya akan berlepas diri darinya.” (Ibid)


    210. Imam Al Barbahary berkata (Syarhus Sunnah halaman 122) :
    “Dan ketahuilah sesungguhnya hawa nafsu itu semuanya rendah dan selalu mengajak kepada pedang (penumpahan darah).”


    Saya (Jamal) berkata : “Engkau lihat firqah-firqah dan hizb (golongan) yang ada dewasa ini seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah, Al Jabhah (di Aljazair), Tandhimul Jihad, Firqah At Turabi, Hizb Mas’udi dan lain-lain di manapun juga. Seolah-olah mereka berselisih sesama mereka namun (ternyata) mereka bersepakat dalam (urusan) pedang yaitu menghalalkan darah kaum Muslimin dan memusuhi Ahlus Sunnah.”


    your comment