• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 22 : Adakah Taubat Bagi Ahli Bid’ah?

    --------------------------------------------------------------------------------

    211. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari ahli bid’ah.” (Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 1620)


    212. Dari Abu Amru Asy Syaibani ia berkata :
    “Selalu dikatakan bahwa Allah enggan (menolak) memberi taubat kepada ahli bid’ah dan ia tidak berpindah kecuali menuju yang lebih jelek lagi.” (Ibnu Wadldlah 61 dan 62)


    213. Dari Ibnu Syaudzab ia berkata, saya mendengar Abdullah bin Al Qasim berkata :
    “Tidaklah seorang hamba yang berada di atas hawa nafsu lalu ia meninggalkannya melainkan ia berpindah kepada yang lebih jelek lagi.”

    Kemudian saya menyebutkan hadits ini (hadits pada poin 211) kepada sebagian shahabat kami lalu katanya :
    [ Pembenarannya terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mengatakan :
    Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya panah (menembus keluar) dari sasarannya dan tidak akan kembali sampai mati.” ] (Ibnu Wudldlah : 61-62)


    214. Dari Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata, ada seseorang yang berpendapat dengan satu pendapat lalu kembali dan meninggalkannya maka saya mendatangi Muhammad (bin Sirin) dengan gembira untuk menyampaikan berita ini kepada beliau dan mengatakan : “Bagaimana perasaanmu bahwa si Fulan telah meninggalkan pemikirannya yang selama ini dianutnya?”

    Beliau menjawab : “Perhatikanlah ke mana dia berpindah, sesungguhnya penutup hadits (tentang Khawarij, ed.) ini lebih keras lagi terhadap mereka dibanding awalnya yaitu mereka lepas dari agama Islam dan tidak akan kembali kepadanya.” (Ibid)


    215. Dari Mu’awiyah bin Shalih (ia mengatakan) bahwa Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashry berkata :
    “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi enggan memberi izin ahli bid’ah untuk bertaubat.” (Al Lalikai 1/141 nomor 285)


    216. Seseorang berkata kepada Ayyub : “Hai Abu Bakr, sesungguhnya Amru bin Ubaid sudah kembali meninggalkan pemikirannya.”
    Beliau berkata : “Sesungguhnya ia tidak akan kembali.”
    Orang itu berkata lagi : “Benar. Sungguh ia telah kembali!”
    Ayyub berkata pula :

    [ Sungguh dia tidak akan kembali --diulanginya tiga kali--. Ketahuilah bahwa dia tidak akan kembali. Tidakkah kamu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (ketika beliau berkata) :
    “Mereka lepas dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya (sasarannya) yang kemudian tidak akan kembali sampai mati.” ] (Al Lalikai nomor 286)


    217. Abdullah bin Al Mubarak berkata :
    “Wajah ahli bid’ah itu diliputi kegelapan (tidak bercahaya) meskipun ia meminyakinya sehari tiga kali.” (Al Lalikai nomor 284)


    218. Dari Ibnul Mubarak dari Al Auza’i dari Atha’ Al Khurasani sesungguhnya ia berkata :
    “Hampir-hampir Allah itu tidak mengizinkan ahli bid’ah itu taubat.” (Al Lalikai 283)


    219. Sufyan Ats Tsaury berkata :
    “Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada kemaksiatan karena (pelaku) maksiat dapat (diharapkan) bertaubat sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat (diharapkan) untuk bertaubat.” (Majmu’ Fatawa 11/372)

     

    BAB 23 : Sebab-Sebab Jatuhnya Seseorang Kepada Bid’ah Dan Hawa Nafsu

    --------------------------------------------------------------------------------


    220. Ibnu Baththah Al Ukbary berkata :
    “Saya pernah melihat sekelompok manusia yang dahulunya melaknat dan mencaci ahli bid’ah lalu mereka duduk bersama ahli bid’ah untuk mengingkari dan membantah mereka dan terus menerus orang-orang itu bermudah-mudah sedangkan tipu daya itu sangat halus (tersamar) dan kekafiran sangat lembut (merambat) dan akhirnya tercurah kepada mereka.” (Al Ibanah 2/470)


    221. Muhammad bin Al Ala’ Abu Bakr menceritakan kepada kami dari Mughirah ia berkata, Muhammad bin As Saib keluar --dan ia bukan ahli bid’ah-- ia berkata :
    “Pergilah bersama kami sampai kita mendengar ucapan mereka (ahli bid’ah)”, maka ia tidak kembali sampai akhirnya ia menerima kebid’ahan itu dan hatinya terikat dengan ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/470 nomor 476-477 dan Tahdzibut Tahdzib 8/113)


    222. Al Ashma’i berkata :
    “Mu’tamir menceritakan kepada kami dari Utsman Al Buty, ia berkata bahwa Imran bin Haththan adalah seorang Sunniy lalu datang pelayan dari penduduk Amman seperti bighal (seorang mubtadi’, ed.) maka ia membalikkan hatinya di tempat duduknya (berubah saat itu juga, ed.).” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 36)


    223. Abu Hatim berkata, diceritakan kepadaku dari Abu Bakr bin Ayyasy, ia berkata, Mughirah mengatakan bahwa Muhammad bin As Saib berkata :
    “Marilah kita menuju ke tempat orang Murjiah agar mendengar ucapan mereka.”
    (Kata Mughirah) akhirnya ia tidak kembali sampai hatinya terpaut dengan ucapan itu. (Al Ibanah 2/462-471 nomor 449 dan 480)

     

    BAB 24 : Pedoman Agar Tidak Jatuh Kepada Kebid’ahan Dan Hawa Nafsu  

    --------------------------------------------------------------------------------


    224. Ahmad bin Abil Hawary berkata, Abdullah bin As Sariy --seorang yang khusyu’ dan belum pernah saya dapati orang yang lebih khusyu’ daripadanya-- ia berkata :
    “Bagi kami bukanlah dikatakan Sunnah jika kamu membantah ahli bid’ah namun Sunnah itu adalah bahwa kamu tidak mengajak ahli bid’ah berbincang-bincang.” (Al Ibanah 2/471 nomor 478 dan 479)


    225. Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata :
    “Tidak ada bantahanku terhadap mereka yang lebih keras daripada diamku (tidak mengajak mereka berbicara, ed.).” (Ibid)


    226. Abu Abdillah bin Baththah berkata :
    [ Allah, Allah, wahai kaum Muslimin, janganlah ada seorang pun dari kalian yang terbawa oleh sikap baik sangka terhadap dirinya sendiri atau oleh pengetahuannya tentang madzhab yang benar untuk (mencoba) masuk ke dalam bahaya yang mengancam agamanya (seandainya) ia duduk dengan ahli bid’ah lalu ia berkata :
    “Saya akan menemui mereka untuk mematahkan hujjah mereka atau saya akan membuat mereka keluar dari madzhab mereka yang rusak ini.”
    Sebab sesungguhnya ahli bid’ah itu lebih berbahaya dari dajjal dan ucapan mereka lebih melekat dari penyakit kudis bahkan lebih membakar dari lidah api. ] (Ibid)


    227. Imam Ahmad berkata :
    “Yang selalu kami dengar dan kami dapatkan dari uraian Ahli Ilmu bahwa mereka sangat membenci perbincangan dan duduk dengan ahli zaigh dan sesungguhnya perkara penting dalam agama ini adalah sikap menerima (tunduk) dan kembali kepada apa yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah bukan duduk-duduk dengan ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah argumentasi mereka karena sesungguhnya mereka tentu akan mengelabui kamu sedangkan mereka tidak akan kembali (kepada yang haq). Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah dengan meninggallkan majelis mereka dan tidak membahas bid’ah dan kesesatan mereka.” (Al Ibanah 2/472 nomor 481)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 25 : Membantah Ahli Bid’ah Harus Dengan As Sunnah

    --------------------------------------------------------------------------------


    228. Umar bin Al Khaththab berkata :
    “Akan datang orang-orang yang akan mendebatmu dengan ayat-ayat mutasyabihat dari Al Quran maka bantahlah mereka dengan As Sunnah karena sesungguhnya Ahlus Sunnah paling tahu kandungan Kitab Allah Azza wa Jalla.” (Al Hujjah 1/313, Asy Syari’ah 58, Ad Darimy 1/62 nomor 119, Al Lalikai 1/123 nomor 202, Al Ibanah 1/250 nomor 83 dan 84, Al Baghawy 1/202)


    229. Ini juga dikatakan Aly bin Abi Thalib. (Al Lalikai 1/123 nomor 203 dan Al Hujjah 1/313)


    230. Ibnu Rajab Al Hanbaly menukil keterangan sebagian ulama Salafus Shalih bahwa dikatakan kepadanya : “Bolehkah seseorang yang mempunyai ilmu tentang As Sunnah membantah ahli bid’ah?”
    Ia menjawab : “Tidak! Tapi hendaknya ia menerangkan As Sunnah itu kalau diterima itu lebih baik baginya dan jika tidak maka (sebaiknya) ia diam saja (jangan berdebat, ed.).” (Bayanu Fadlli Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf halaman 36)


    231. Ibnu Baththah Al Akbary berkata :
    “Hendaknya bekalmu untuk membimbing dan menghentikan bid’ah bersumber dari Al Quran dan As Sunnah serta Atsar yang shahih yang datang dari ulama ummat ini baik dari shahabat maupun tabi’in.” (Al Ibanah 2/541)

     

    BAB 26 : Shifat Al Ghuraba’

    --------------------------------------------------------------------------------

    232. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Ikutilah jalan-jalan petunjuk! Dan tidak akan merugikanmu meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilah jalan-jalan kesesatan! Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di dalamnya.” (Al I’tisham 1/112)


    233. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Amal yang sedikit dalam Sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak di dalam bid’ah.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)


    234. Beliau juga berkata :
    “Wahai Ahlus Sunnah, berteman baiklah kalian! --Semoga Allah merahmati kamu-- sesunggguhnya kalian adalah kelompok manusia yang sangat sedikit jumlahnya.” (Al Lalikai 1/57 nomor 19)


    235. Dari Yunus bin Ubaid ia berkata :
    “Seorang yang disampaikan kepadanya As Sunnah kemudian menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing namun lebih asing lagi adalah yang menyampaikannya. (Beruntunglah orang-orang yang asing, pent.).” (Al Lalikai 1/58 nomor 21 dan Al Hilyah Abu Nu’aim 3/12)


    236. Abu Idris Al Khulaniy berkata :
    “Saya mendengar bahwa dalam Islam ini terdapat tali tempat bergantung manusia dan tali itu akan terurai seutas demi seutas tali maka yang pertama terlepas dari tali itu adalah sifat halim (lemah-lembut) dan yang paling akhir adalah shalat.” (Ibnu Wudldlah 73)


    237. Dari Ibnul Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri ia berkata :
    “Berwasiatlah kamu terhadap Ahlis Sunnah dengan kebaikan karena sesungguhnya mereka adalah Ghuraba’ (orang-orang yang asing).” (Al Lalikai 1/644 nomor 49-50)


    238. Dari Yusuf bin Asbath ia berkata, saya mendengar Sufyan Ats Tsauri berkata :
    “Jika kamu mendengar berita bahwa di belahan bumi timur ada seorang Ahli Sunnah dan di barat ada seorang Ahli Sunnah, kirimkanlah salam buat keduanya dan doakan kebaikan untuk mereka! Sungguh alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.” (Ibid)

     

    BAB 27 : Menilai Seseorang Dengan Kecintaan dan Kebenciannya Terhadap Ahlus Sunnah
    --------------------------------------------------------------------------------

    239. Dari Ibnul Madiniy ia berkata bahwa saya mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata :
    “Jika kamu lihat seseorang mencintai Ibnu Aun di kalangan penduduk Bashrah maka percayailah dia. Dan di kalangan penduduk Kufah, Malik bin Mighwal dan Zaidah bin Qudamah maka jika kamu lihat orang mencintai mereka harapkanlah kebaikannya. Demikian pula jika kamu lihat orang mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al  Fazary di Syam serta Malik bin Anas di Hijaz.” (Al Lalikai 1/62 no 41)


    240. Ibnu Mahdy berkata :
    “Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al Fazary harapkanlah kebaikannya.” (Al Jarh wa Ta’dil 1/217)


    241. Ia juga berkata :
    “Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al Fazary maka ia adalah Ahlus Sunnah.” (Ibid)


    242. Dari Ahmad bin Yunus dari Ats Tsaury ia berkata :
    “Ujilah sikap penduduk Mosul terhadap Al Mu’afy bin Imran.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)


    243. Imam Al Barbahary berkata :
    “Menguji keadaan seseorang di dalam Islam adalah bid’ah adapun saat ini maka menguji dilakukan dengan Sunnah.” (Syarhus Sunnah 126 nomor 152 dan Thabaqat Hanabilah 2/38)


    244. Dari Ahmad bin Zuhair ia berkata, saya mendengar Ahmad bin Abdullah bin Yunus berkata :
    “Ujilah penduduk Mosul dengan Al Mu’afy bin Imran. Jika mereka mencintainya maka mereka adalah Ahli Sunnah dan sebaliknya apabila mereka membencinya maka mereka adalah ahli bid’ah sebagaimana penduduk Kufah juga diuji dengan (sikap mereka terhadap) Yahya.” (Al Lalikai 1/66 nomor 58)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 28 : Beberapa Faedah, Nasihat, dan Adab

    --------------------------------------------------------------------------------

    245. Yahya bin Mu’adz berkata :
    [ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh mengatakan :
    “Ingatlah saya dalam doamu ... .”


    Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling mengenal jarang ada yang berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan persahabatan. Ini adalah sesuatu yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu mengharapkannya. Saya tidak tahu ada seseorang yang murni bersahabat dengannya saudaranya senasab (keturunan) juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah keinginan untuk mencari persahabatan yang murni dan tulus. Jadilah orang yang asing dan bergaullah sebagaimana bergaulnya Al Ghuraba’. Dan berhati-hatilah kamu (jangan) tertipu oleh orang yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena sesungguhnya seiring perjalanan waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang ditunjukkannya.


    Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah maka jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari’at maka bertemanlah dengannya.”


    Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu membuatnya marah maka ia akan menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab hilangnya persahabatan yang murni adalah kecintaan terhadap dunia yang menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih, perhatian mereka senantiasa hanya tertuju kepada akhirat maka mereka pun memurnikan niat dalam mencari saudara dan mereka bergaul dengan sesamanya karena agama bukan karena dunia. Maka jika kamu lihat berkaitan dengan masalah agama maka ujilah ketika ia marah. ] (Adabus Syari’ah 3/581)


    246. Al Qadhi Abu Ya’la berkata :
    [ Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena pelakunya dapat dikatakan sebagai orang yang bodoh.


    Syaikh Abdul Qadir berkata : “Bersiul dan bertepuk tangan adalah dua hal yang dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar dari posisi duduknya sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina teman duduk kecuali karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet karena ini adalah perbuatan yang rendah.

    Juga dibenci tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu berjalan dengan sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru sehingga menabrak orang lain dan menyusahkan diri sendiri.

    Jangan pula berjalan selangkah demi selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Dan termasuk pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap dan menyanyikan lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dan menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa amal) yang juga merupakan perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di tengah-tengah manusia dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya tertutup.” ] (Adabus Syari’ah 3/375)


    247. Al Fudlail berkata :
    “Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman maka saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri (dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan mereka tidak menyembunyikan kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan hak teman duduknya juga tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka sebab itu (ketika) saya perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu iri (dengki) dengan kenikmatan orang lain.

    Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha Suci sangat cemburu kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan sesuatu (selain Allah) maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangi- Nya (jinak kepada Allah).


    Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zhahir.


    Jangan bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat dan itupun sejenak saja kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan kecuali Dia.” (Al I’tisham 1/158)


    248. Ia juga berkata :
    “Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka berhati-hatilah kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu sedangkan kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka merupakan keharusan.

    Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai (suka bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al Bayan) tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan berwibawa.

    Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu harus.” (Al Hujjah 1/304)


    249. Asy Syathibi berkata :
    “Asal kerusakan ini --yaitu mencerca Salafus Shalih-- datang dari Khawarij merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan mengkafirkan shahabat -- radliyallahu anhum ajmaiin-- dan perbuatan yang seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” (Al I’tisham 1/158)


    250. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu sebagai panutan lalu mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan memusuhi di atas jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula ada yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan (pedoman) untuk bersikap loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya dan apa yang telah disepakati oleh ummat (shahabat).

    Sebab hal itu tidak lain merupakan perbuatan ahli bid’ah yang senang mengangkat orang tertentu dan melontarkan suatu perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat. Mereka menyerahkan loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka nisbatkan (sandarkan) diri mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi membela pendapat dan penisbatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa 20/164)


    251. Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan tanpa diikuti (diketahui) oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan kesesatan.” (Ad Darimy 1/103 nomor 307)


    252. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya karena perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang lebih kuat lalu ia kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat kepada apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap yang demikian akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau mengikuti siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah jelas baginya ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas ketaatan kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun.” (Fatawa Al Kubra 5/96)


    253. Umar bin Al Khaththab berkata :
    “Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.” (Adabus Syariah 3/588)


    254. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 38)


    255. Ibnul Atsir berkata :
    “Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid’ah terus berlangsung seiring perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan kembali kepada yang haq.” (An Nihayah 5/245)


    256. Ibnu Umar berkata :
    “Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang menurutku lebih utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka berselisih ini.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)


    Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :
    “Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam ini yang menurutku lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap fanatik golongan yang sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan pemuda dan sebagian para dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah mengotori pikiran mereka dan menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih.”


    257. Ayyub bin Al Qariyyah berkata :
    “Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga yaitu ulama, saudara (sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang meremehkan ulama berarti ia merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan penguasa berarti ia merusak dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan meremehkan siapapun, adapun yang disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang menjadikan agama itu sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah wataknya sedangkan logika yang baik adalah pembawaannya.” (Jami’ Bayanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 231)


    258. Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :
    [ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu penuhi adalah jika kamu mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk seluruhnya kemudian duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan tanganmu dan jangan memandangnya dengan remeh dan jangan berkata :
    “Si Fulan mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat Anda!”


    Dan jangan menarik pakaiannya, jangan mendesak dalam bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang masih basah yang akan selalu jatuh kepadamu. ] (Ibid)


    259. Imam An Nawawi berkata :
    “Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan shahabatnya yang menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah disampaikannya sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam] terdapat pelajaran tentang bolehnya meninggalkan ahli bid’ah dan kefasikan serta orang-orang yang menolak As Sunnah padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya selama-lamanya.” (Syarh Shahih Muslim 13/106)


    260. Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : “Si Fulan membencimu!”
    Ia menjawab : “Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh darinya bukanlah sesuatu yang menakutkan.” (Adabus Syari’ah 3/575)


    261. Al Ashma’i berkata, Abu Amru bin Al Ala’ berkata kepadaku :
    “Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang mulia jika kamu menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya, serta waspadalah terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga terhadap orang yang bodoh jika kamu bergurau dengannya.

    Dan berhati-hatilah kamu terhadap orang yang jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah termasuk adab (akhlak yang baik, ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau kamu bertanya pada orang yang tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan orang yang tidak mau diam memperhatikan (ucapan)mu.” (Ibid)


    262. Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)


    Ibnu Rajab berkata :
    “Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak terfitnah dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak ucapannya, debatnya ataupun bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang paling berilmu dibanding orang yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya benar-benar kebodohan yang murni, coba perhatikan para pembesar shahabat dan ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar, Aly, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu Abbas.

    Begitu pula dengan para tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para shahabat sedangkan para shahabat lebih alim dibandingkan mereka juga para tabi’ut tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para tabi’in namun para tabi’in lebih alim (berilmu) dari mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya periwayatan apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat mengenal yang haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu menerangkan yang haq itu dengan ungkapan- ungkapan yang ringkas dan tepat menurut tujuannya.” (Ibid)


    Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz, Al Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Ucapan mereka lebih ringkas dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri sendiri sebagai dai padahal mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan berbagai ungkapan yang panjang lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada mereka.


    263. Ibnu Rajab berkata :
    [ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas pembahasan dan perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak demikian keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian manusia yang meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang belakangan menunjukkan mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang terdahulu.

    [Seperti ungkapan mereka : “Perkataan Khalaf (orang-orang yang datang belakangan itu lebih berhikmah (ahkam), berilmu (a’lam) dan lebih selamat (aslam). Tidakkah mereka tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang di bawah (tahta) ats tsara?? Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf, pent.] ] (Ibid)


    264. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran.” (Al Fatawa 4/149)

     

    BAB 29 : Syair-Syair

    --------------------------------------------------------------------------------


    265. Ibnu Baththah menyebutkan bait-bait ini, Asy Sya’bi ia berkata, Aly bin Abi Thalib berkata kepada seorang laki-laki yang berteman dengan seseorang yang ia tidak suka laki-laki itu bergaul dengannya :


    Janganlah berteman dengan saudara yang bodoh, hati-hatilah kamu dan jauhilah dia Betapa banyak orang yang bodoh menjahili orang yang sabar ketika dianggap saudara
    Seseorang itu dinilai dengan temannya ketika ia berjalan bersamanya Dan sesuatu dengan yang lainnya mengandung kias dan keserupaan Juga ruh dengan ruh yang lain sebagai bukti ketika saling bertemu Orang yang cerdas jika ia melihat apa yang menakutkannya akan berjaga-jaga Orang yang lalai akan tertipu seiring dengan peredaran masa ia akan tertimpa petaka Siapa yang memahami perjalanan waktu tidak akan meremehkan nikmat yang ada padanya

    Dan ia berkata --juga-- :
    Jika kamu tidak sakit berteman dengan orang sakit dan menjadi temannya berarti kamu orang yang sakit


    266. Ibnu Baththah juga menyebutkan bahwa Abu Bakr bin Al Anbary berkata kepada kami, Ubay mengucapkan syair kepada Abul Atahiyah : Siapa lagi yang akan tersamar bagimu jika kamu perhatikan teman dekatnya Dan pemuda dengan wataknya merupakan tanda yang bercahaya di keningnya

    267. Abu Bakr Al Arjaniy berkata dalam syairnya :
    Ketika aku uji manusia aku meminta dari mereka teman yang dapat dipercaya ketika menghadapi kesulitan Kelapangan dan kesulitan memperebutkan keadaanku aku berteriak ke seluruh penjuru adakah yang mau membantu Aku tidak dapati kecuali banyak yang gembira dengan kesulitanku dan aku tidak temukan kecuali banyak yang iri dengan kebahagiaanku


    268. Penyair lain berkata :
    Siapa yang ingin meluaskan pergaulan hendaknya ia bertaqwa dan bersikap lembut
    Menundukkan pandangan dari kejelekan orang yang berbuat jelek dan sabar dengan kejahilan teman


    3 comments
  • Bismillah irRahman irRahem
    In the Name of Allaah, The Most Gracious, The Most Kind

     

                     25 Ways to Deal with Stress and Anxiety
     
    Stress is life. Stress is anything that causes mental, physical, or spiritual tension. There is no running away from it. All that matters is how you deal with it. This article does not deal with the factors of stress, anxiety, and depression, nor is it a clinical advice. If you feel depressed, you are not alone. It has been estimated that 75 to 90 percent of all visits to primary care physicians in America are for stress-related problems. This is why it is wise to consult a doctor if you are having physical symptoms of stress. However, here are some tips that can help from a spiritual perspective. Please send us your feedback so that we can improve this article Insha Allah.

     
    Torture. Beatings. Loss of property. The death of loved ones. These were just some of the enormous challenges the Muslims of Makkah faced in the seventh century following their acceptance of Islam in fiercely tribal and polytheistic Makkah.

     
    Detention. Harassment. Beatings. Discrimination. Loss of Job. Profiling. Hate Crimes. Constant media attention. Surveillance. These are just some of the challenges Muslims in America today face, post-9/11. Like our predecessors in Makkah, we have begun to face great stress, anxiety, and pressure, more than ever in our recent history on this continent, although Muslims who were brought here as slaves faced worse than what we can even imagine.
     

    1. Ask Him. He Listens: Dua

     Turn each anxiety, each fear and each concern into a Dua (supplication). Look at it as another reason to submit to God and be in Sajdah (prostration), during which you are closest to Allah. God listens and already knows what is in your heart, but He wants you to ask Him for what you want. The Prophet said:

          " Allah is angry with those who do not ask Him for anything." (Tirmidhi).

    The Prophet once said that in prayer, he would find rest and relief (Nasai). He would also regularly ask for God's forgiveness and remain in prostration during prayer praising God (Tasbeeh) and asking for His forgiveness (Bukhari).

     
    Allah wants you to be specific. The Prophet advised us to ask Allah for exactly what we want instead of making vague Duas. Dua is the essence of worship (the Prophet as quoted in Tirmidhi).

     
    "Call on your Lord with humility and in private: for Allah loveth not those who trespass beyond bounds. Do not make mischief on the earth, after it hath been set in order, but call on Him with fear. And longing (in your hearts): for the mercy of Allah is (always) near to those who do good" (Quran 7:55-56).

    2. Tie your Camel: Do your Part:

    One day Prophet Muhammad, peace and blessings be upon him, noticed a Bedouin leaving his camel without tying it. He asked the Bedouin, "Why don't you tie down your camel?" The Bedouin answered,

    "I put my trust in Allah." The Prophet then said,

    "Tie your camel first, then put your trust in Allah" (Tirmidhi).
     
    Muslims must never become fatalistic. Although we know only Allah is in control and that He has decreed all things, we are each responsible for making the right choices and doing the right thing in all situations of our lives. We must take action (link to planning articles on SV). We must work to alleviate the hardships we, our families and our communities face.
     
    Ask yourself the following questions if you are worried about the state of the world:

    are you part of the peace movement?

    Is your Masjid part of the peace movement? Are you part of an interfaith group with an agenda of peace and justice?

    Are you working with a group fighting discrimination?

    If your answer is no, it is time that you sat down to plan your share of time and money in finding solutions to the problems you face.
     

    "Verily Allah does not change men's condition unless they change their inner selves" (Quran 13: 11).
     
    Turn each worry into a Dua and each Dua into an action plan. That will show your commitment to your request and will focus your energy in the right direction.

    3. Remember that human responsibility is limited:
     
            While we need to carry out our duty to the best of our abilities, always remember that you don't control the outcome of events. Even the Prophets did not control the outcome of their efforts. Some were successful, others were not. Once you have done your duty, leave the results to Allah. Regardless of the results of your efforts, you will be rewarded for the part you have played.
     
    However, never underestimate your abilities. Understand the concept of Barakah (blessings from Allah) and remember that Allah can and Insha Allah will expand them if you are sincerely exerting your energies for the right path.
     
    4. Leave the world behind you five times a day:

    Use the five daily prayers as a means to become more Hereafter-oriented and less attached to this temporary world. Start distancing yourself as soon as you hear Adhan, the call to prayer. When you perform Wudu, keep repeating Shahada, the declaration of faith, as water drops slip down your face, hands, arms, and hair. When you stand ready to pray, mentally prepare yourself to leave this world and all of its worries and stresses behind you.


    Of course, Shaytan will try to distract you during prayer. But whenever this happens, go back and remember Allah. The more you return, the more Allah will reward you for it. Also, make sure your Sajdas (prostrations) are Talking Sajdas, in which you are really connecting to God and seeking His Mercy, praising Him, and asking His forgiveness.

    5. Seek help through Sabr:
     
    Seek help through Sabr and Salat (Quran 2:45).
     
    This instruction from Allah provides us with two critical tools that can ease our worries and pain. Patience and prayer are two oft-neglected stressbusters. Sabr is often translated as patience but it is not just that. It includes self-control, perseverance, endurance, and a focussed struggle to achieve one's goal. Unlike patience, which implies resignation, the concept of Sabr includes a duty to remain steadfast to achieve your goals despite all odds.
     
    Being patient gives us control in situations where we feel we have little or no control. 'We cannot control what happens to us but we can control our reaction to our circumstances' is the mantra of many modern-day self-help books. Patience helps us keep our mind and attitude towards our difficulties in check.
     

    6. Excuse Me! You are Not Running the World, He is.:
     
    It is important to remind ourselves that we don't control all the variables in the world. God does. He is the Wise, the All-Knowing. Sometimes our limited human faculties are not able to comprehend His wisdom behind what happens to us and to others, but knowing that He is in control and that as human beings we submit to His Will, enriches our humanity and enhances our obedience (Uboodiah in Arabic) towards him.
     
     Read the story of the encounter of Moses with the mysteries behind God's decision (Quran: 18:60-82).
     
    Familiarize yourself with God's 99 Names, which are also known as His Attributes. It is a powerful way of knowing Him.

    "God-there is no deity save Him, the Ever-Living, the Self-Subsistent Fount of All being. Neither slumber overtakes Him, nor sleep. His is all that is in the heavens and all that is on earth. Who is there that could intercede with Him, unless it be by His leave? He knows all that lies open before men and all that is hidden from them, whereas they cannot attain to aught of His knowledge save that which He wills them to attain. His eternal power overspreads the heavens and the earth, and their upholding wearies Him not. And He alone is truly exalted, tremendous." (Quran 2:255).
     
    The Prophet recommended reading this verse, known as Ayat al kursi, after each prayer, Allah's peace and blessings be upon him. Once Ali, may Allah be pleased with him, approached the Prophet during a difficult time and he found the Prophet in Sajda, where he kept repeating

    "Ya Hayy Ya Qayyum", words which are part of this verse.
     
    7. Birds Don't Carry their Food:
     
    Allah is al Razzaq (the Provider).
     
     "How many are the creatures that carry not their own sustenance? It is Allah Who feeds them and you, for He hears and knows all things (Quran 29:60)."

    By reminding yourself that He is the Provider, you will remember that getting a job or providing for your family in these economically and politically challenging times, when Muslims are often the last to be hired and the first to be fired, is in God's Hands, not yours. As Allah says in the Quran:

    "And He provides for him from (sources) he never could imagine. And if anyone puts his trust in Allah, sufficient is (Allah) for him. For Allah will surely accomplish His purpose. Verily, for all things has Allah appointed a due proportion (Quran 65:3).

    8. God controls Life and Death:

    If you fear for your physical safety and security, remember that only Allah gives life and takes it back and, that He has appointed the time for it. No one can harm you except if Allah wills. As He says in the Quran:  
     
    "Wherever you are, death will find you out, even if you are in towers built up strong and high!" (Quran 4:78).
     
    9. Remember that life is short:
     
    It's easy to get caught up in our own stress and anxiety. However, if we remember that our life is short and temporary, and that the everlasting life is in the Hereafter, this will put our worries in perspective.
     
    This belief in the transitory nature of the life of this world reminds us that whatever difficulties, trials, anxieties, and grief we suffer in this world are, Insha Allah, something we will only experience for a short period of time. And more importantly, if we handle these tests with patience, Allah will reward us for it.
     
    10. Do Zikr, Allah, Allah!
     
    "... without doubt in the remembrance (Zikr) of Allah do hearts find tranquility" (Quran 13:28).

    If you commute, use your time in Zikr. Pick any Tasbeeh and do that instead of listening to the radio or reading the newspaper. Maybe you can divide it up between Zikr and planning. Personally, I recite the Tasbeeh of "Subhana Allahe wa be hamdihi, subhan Allahil Azeem" 100 times .

    The Prophet taught us these two short phrases which are easy to say but will weigh heavy on our scale of good deeds in the Hereafter.

    When your heart feels heavy with stress or grief, remember Allah and surround yourself with His Zikr. Zikr refers to all forms of the remembrance of Allah, including Salat, Tasbeeh, Tahmeed, Tahleel, making supplication (Dua), and reading Quran.

    "And your Lord says: 'Call on Me; I will answer your (prayer)..." (Quran 40:60)

    By remembering Allah in the way He has taught us to, we are more likely to gain acceptance of our prayers and His Mercy in times of difficulty. We are communicating with the only One Who not only Hears and Knows all, but Who can change our situation and give us the patience to deal with our difficulties.

    "Remember Me, and I shall remember you; be grateful to Me, and deny Me not" (Quran 2:152).

    11. Relying on Allah: Tawakkul:

     When you awaken in the morning, thank Allah for giving you life after that short death called sleep. When you step out of your home, say 'in Your Name Allah, I put my trust in Allah, and there is no power or force except with Allah'

     (Bismillahi Tawakal to al Allah wa la hawla wa la quwwata illa billah).

    At night, remember Allah, with His praises on your lips.

    Once you have established a plan you intend to follow through on to deal with a specific issue or problem in your life, put your trust in the most Wise and the All-Knowing.

    "When you have taken a decision, put your trust in Allah" (Quran 3: 159).

    Rely on Allah by constantly remembering Him throughout your day. When you lay down to sleep, remember that sleep is death. That is why one of the recommended supplications before going to sleep is

    "with Your (Allah's) Name I die and become alive".

    12.Connect with other human beings:

    You are not alone. Muslims are not alone. We are not suffering in silence. There are millions of good people who are not Muslim with beautiful hearts and minds. These are people who have supported us, individually and collectively, post-9/11, by checking up on us and making sure we are safe. These are individuals and organizations who have spoken up in defense of Muslims as we endured harassment and discrimination.
     
    We must think of them, talk to them, connect with them, and pray for them. Through our connections, we will break the chain of isolation that leads to depression and anxiety.


    13. Compare your dining table with that of those who don't have as much as you do

     The Prophet said:

    Whenever you see someone better than you in wealth, face or figure, you should look at someone who is inferior to you in these respects (so that you may thank Allah for His blessings) (Bukhari, Muslim).

    Next time you sit down to eat, eye the table carefully. Check out the selection of food, the quality, the taste, the quantity, and then think of the millions of others who don't have even half as much. The Prophet's Hadith reminds us of this so that we can appreciate and thank God for all that we have.

     
    Also remember that the Prophet only encouraged us to compare ourselves to others in two respects: in our Islamic knowledge and level of belief in God (Deen). In these two areas, we should compare ourselves with those who have more than what we do.

    14. Say it Loud: Allahu Akbar, Allahu Akbar: Takbirat & Adhan:
     
    Find a corner of a lake, go out in the wilderness, or even stand on your lawn at your home and call the Adhan with your heart. While driving, instead of listening to the same news over and over again, say Allahu Akbar as loudly as you can or as softly as you want, based on your mood. Year ago, I remember calling Adhan on a Lake Michigan shore in Chicago after sunset as the water gushed against my knees. I was calling it for myself. There was no one else accept the waves after waves of water with their symphony. It was relaxing and meaningful.

    Allahu Akbar, Allahu Akbar.

    15. Pray in congregation (Jamat):
     
    Pray with other people instead of alone. If you can't pray all five prayers in congregation, at least find one or two prayers you can pray with others. If you are away, establish Jamat in your own family.

    During the Prophet's time, even though the Muslims endured great persecution, including physical beatings, they would sometimes meet on the side of a mountain or valley and tried to pray together. This is a great morale booster.

    16. How is your Imam's Dua?:
    Does the Imam at your local mosque make Dua silently or out loud? Ask him to supplicate with the whole congregation. Suggest Duas for him to make. Ask him to make Dua for other people.

    17. Work for the Unity of Muslims:
     
    Bringing Muslims together will not only help the Muslims, but it will also encourage you to focus your energies on something constructive versus zeroing in on and consistently fretting about difficulties you are going through.
     
    Invite Muslims from other ethnic groups to your functions. Visit Masjids other than yours in your city. When you meet a Muslim leader, after thanking him for his efforts, ask him what he is doing for Muslim unity. Ask Imams to make Dua for this. These are just small ways you can help yourself and the Muslim community.

    18. Sleep the way the Prophet slept:
    End your day on a positive note. Make Wudu, then think of your day. Thank Allah for all the good things you accomplished, like Zikr and Salat. Ask yourself what you did today to bring humanity together and what you did to help Muslims become servants of humanity.

    For everything positive, say Alhamdu lillah (Praise be to Allah). For everything negative say Astaghfirullah wa atoobo ilayk (I seek Allah's forgiveness and I turn to You [Allah]). Recite the last two chapters of the Quran, thinking and praying as you turn on your right side with your hand below your right cheek, the way the Prophet used to sleep. Then close your day with the name of Allah on your tongue. Insha Allah, you will have a good, restful night.
     
    19. Begin the Day on a Positive Note:
     
    Get up early. Get up thanking God that He has given you another day. Alhamdu lillahil lazi ahyana bada ma amatana, wa ilaihin Nushoor (Praise be to Allah Who gave us life after death and unto Him will be the return). Invest in an audio tape driven alarm clock so you can get up to the melody of the Quran.

    Develop your to do list for the day if you didn't do it the night before. Begin with the name of Allah, with Whose name nothing in the heavens or the earth can hurt you. He is the Highest and the Greatest.

     (Bismillahillazi la yazurru maa ismihi shaiun fil arze wa la fis samae, wahuwal Alee ul Azeem). The Prophet used to say this after every Fajr and Maghrib prayers.

    20. Avoid Media Overexposure: Switch from News to Books:
     
    Don't spend too much time checking out the news on the radio, television or internet. Spend more time reading good books and journals. When you listen to the persistent barrage of bad news, especially relating to Muslims nowadays, you feel not only depressed, but powerless. Cut down media time to reduce your stress and anxiety. It's important to know what's going on but not to an extent that it ruins your day or your mood.

    21. Pray for Others to Heal Yourself.:
    The Prophet was always concerned about other people, Muslims and non-Muslims, and would regularly pray for them. Praying for others connects you with them and helps you understand their suffering. This in itself has a healing component to it. The Prophet has said that praying for someone who is not present increases love.
     
    22. Make the Quran your Partner:

    Reading and listening to the Quran will help refresh our hearts and our minds. Recite it out loud or in a low voice. Listen to it in the car. When you are praying Nafl or extra prayers, pick it up and use it to recite portions of the Quran you are not as familiar with. Connecting to the Quran means connecting to God. Let it be a means to heal your heart of stress and worries. Invest in different recordings of the Quran and their translations.

    "O humanity! There has come to you a direction from your Lord and a cure for all [the ills] in men's hearts - and for those who believe, a Guidance and a Mercy" (Quran 10:57).

    23. Be thankful to Allah:

     "If you are grateful, I will give you more" (Quran 14:7).
     
    Counting our blessings helps us not only be grateful for what we have, but it also reminds us that we are so much better off than millions of others, whether that is in terms of our health, family, financial situation, or other aspects of our life. And being grateful for all we have helps us maintain a positive attitude in the face of worries and challenges we are facing almost daily.

    24. Ideals: One step at a time:

    Ideals are wonderful things to pursue. But do that gradually. Think, prioritize, plan, and move forward. One step at a time.
     
    25. Efforts not Results Count in the Eyes of Allah:
     
    Our success depends on our sincere efforts to the best of our abilities. It is the mercy of Allah that He does not demand results, Alhamdu lillah. He is happy if He finds us making our best sincere effort.

     Thank you Allah! by Abdul Malik Mujahid

    by Islam Spirit on Monday, August 23, 2010 at 7:26pm

    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Hukum-Hukum Perhiasan Wanita

     

     

    Tabarruj is disobedience to Allaah and His Messenger

    Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam atas dia yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, Nabi kita Muhammad, juga keluarga dan para sahabat beliau seluruhnya, amma ba'du:

    Dituntut dari wanita untuk mempraktekkan amalan-amalan fitrah yang khusus dan sesuai untuknya dengan memotong kuku dan menjaganya, karena pemotongan kuku merupakan amalan sunnah sebagaimana kesepakatan para ulama, juga karena ia termasuk dari bagian fitrah yang terdapat dalam Hadits, yang mana dalam pemotongannya terdapat kebersihan dan keindahan, sedangkan dalam pembiarannya untuk tetap panjang terdapat keraguan, penyerupaan dengan binatang buas, menumpuknya kotoran serta menahan sampainya air wudhu kedalamnya. Sebagian wanita Muslimah telah terfitnah dengan memanjangkan kuku dikarenakan oleh peniruannya terhadap wanita kafir dan karena kebodohannya terhadap sunnah.

    Dituntut pula dari wanita Muslimah untuk memanjangkan rambut kepala, dan diharamkan bagi dia untuk memotongnya kecuali dalam keadaan darurat. Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim Al-Syeikh rahimahullah dalam kitab Majmu Fatawa: [Adapun rambut kepala wanita, maka ia tidak boleh dipotong, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Nasa'i dalam kitab sunannya dengan sanad dari Ali , dan riwayat Al-Bazzar dengan sanadnya dalam Musnadnya dari Utsman , serta riwayat ibnu Jarir dengan sanadnya dari Ikrimah , mereka berkata: (Rasulullah  telah melarang wanita dari memotong rambutnya). Sedangkan larangan apabila datang dari Nabi  maka ia mengandung pengharaman selama tidak terdapat penyelisihnya. Berkata Mulla Ali Qori dalam kitab Al- Mirqot syarh Al-Misykat: perkataan (Wanita dari memotong rambutnya) itu karena ia merupakan pangkal bagi wanita, seperti jenggot pada pria dalam penampilan dan keindahan]

    Sedangkan pencukuran wanita terhadap rambutnya, apabila diperlukan selain dari perhiasan –seperti dia yang tidak dapat merawatnya atau terlalu panjang dan menyulitkan dirinya- maka ia diperbolehkan untuk dicukur sesuai dengan kebutuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh istri-istri Nabi  setelah beliau wafat, agar mereka dapat meninggalkan berhias setelah beliau wafat dan merasa tidak memerlukan pemanjangan rambut.

    Adapun jika tujuan seorang wanita dalam mencukur rambutnya adalah untuk mengikuti wanita-wanita kafir dan fasik atau menyerupai laki-laki, maka yang seperti ini tidak diragukan lagi merupakan suatu keharaman, dikarenakan adanya larangan untuk menyerupai orang-orang kafir secara umum dan juga larangan wanita untuk menyerupai laki-laki.

    Adapun jika tujuannya adalah untuk berhias, maka yang saya ketahui bahwa ia tidak diperbolehkan. Berkata Syeikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah dalam kitab Adhwaul Bayan: [Sesungguhnya dari kebiasaan yang telah berjalan pada kebanyakan Negara
    tentang mencukurnya wanita terhadap rambut kepalanya hingga mendekati pangkalnya adalah merupakan kebiasaan wanita barat yang menyelisihi apa yang ada pada wanitawanita Muslimah dan wanita-wanita Arab sebelum datangnya Islam, ia merupakan salah satu dari penyelewengan yang musibahnya mencakup agama, akhlak, ciri khas dan lain sebagainya]
    Kemudian beliau menjawab tentang Hadits: (Bahwa para istri Nabi memotong rambut mereka sampai mendekati batas telinga).

    Bahwa mereka mencukur rambutrambutnya setelah beliau  wafat, karena mereka dahulu berhias pada saat beliau masih hidup, dan hiasan yang paling indah adalah rambut-rambut mereka, adapun setelah beliau wafat maka bagi mereka ada suatu hukum khusus yang tidak disamai oleh siapapun dari seluruh wanita yang ada dimuka bumi ini, yaitu terputusnya keinginan mereka secara keseluruhan dari pernikahan, dan keputus asaan mereka darinya tidak mungkin tercampur oleh perasaan tamak, mereka bagaikan wanita yang sedang beriddah dan terkurung sampai meningal dikarenakan oleh wafatnya Nabi, Allah berfirman:

    "Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteriisterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah" [ QS. Al-Ahzab: 53]

    perasaan tidak membutuhkan lagi terhadap laki-laki secara keseluruhan bisa menjadi penyebab diperbolehkannya berlepas diri dari hiasan yang tidak diperbolehkan pada selainnya. Sebagaimana tidak diperbolehkannya bagi wanita untuk menta'ati suaminya ketika dia memerintahkan dirinya untuk melakukan hal tersebut, karena tidak ada keta'atan terhadap makhluk dalam berbuat maksiat kepada Sang Pencipta).

    Oleh karena itu para wanita berkewajiban untuk memelihara rambut kepalanya, merawat dan mengikatnya, dia tidak diperbolehkan untuk menumpukkannya diatas kepala atau pada bagian depannya. Berkata syeikh Muhammad bin Ibrahim: [Adapun apa yang dikerjakan oleh sebagian wanita Muslimah pada zaman sekarang dari pembagian rambut kesamping dan mengumpulkannya pada bagian depan atau diatas kepala, sebagaimana yang dilakukan oleh wanita Barat – maka hal ini tidak diperbolehkan, karena adanya unsur peniruan terhadap wanita-wanita kafir]

    Dari Abu Hurairah  dalam Hadits yang panjang berkata: bersabda Rasulullah : "Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat: suatu kaum yang memiliki pecut seperti ekor sapi dan dipergunakan untuk memukul orang lain, dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang, berjalan sambil berlenggak-lenggok, kepala mereka bagaikan punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tidak pula dapat mencium wanginya, padahal wangi surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian" [ HR. Muslim ]

    sebagian dari ulama ada yang menafsirkan sabda beliau: "berjalan sambil berlenggaklenggok"
    bahwa para wanita menyisir miring, lalu diikuti oleh yang lainnya, dan ini adalah bentuk sisiran wanita Barat serta mereka yang menirunya dari para wanita Muslimah. Sebagaimana wanita Muslimah dilarang untuk memotong rambut kepala atau mencukurnya tanpa adanya kebutuhan, maka sesungguhnya iapun dilarang untuk menyambung dan menambahnya dengan rambut lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: [Rasulullah  melaknat al-washilah dan al-mustaushilah], alwashilah: wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut lain, al-mustaushilah: wanita yang bekerja menyambungkan untuk orang lain, karena padanya terdapat pemalsuan.

    Diantara penyambungan rambut yang diharamkan adalah pemakaian al-barukah (konde rambut) yang telah dikenal pada zaman sekarang ini. Bukhori, Muslim dan lainnya meriwayatkan: bahwa Mu'awiyah berkhutbah pada saat mendatangi Madinah, lalu mengeluarkan segumpalan rambut sambil berkata: kenapa wanita-wanita kalian menggunakan yang seperti ini pada kepalanya?! Saya telah mendengar Rasulullah  bersabda: "Tidak ada seorang wanitapun yang memakai pada kepalanya rambut wanita lain kecuali ia telah melakukan kedustaan". Al-barukah adalah rambut buatan yang menyerupai rambut kepala, dan dalam pemakaiannya terdapat kedustaan.

    Dan diharamkan pula atas wanita Muslimah untuk menghilangkan rambut alisnya atau menghilangkan sebagiannya, dengan cara apapun dari cukur, gunting atau menggunakan bahan perontok untuknya, karena ini adalah nams yang telah dilaknat pelakunya oleh Nabi , beliau telah melaknat an-namishoh wal mutanammishoh. Annamishoh: adalah wanita yang menghilangkan bulu kedua alisnya, atau sebagiannya dengan tujuan berhias –menurut persangkaannya-, dan mutanammishoh: adalah wanita yang mengerjakannya untuk orang lain. Ini termasuk dari perubahan atas ciptaan Allah yang telah diikrarkan oleh setan bahwa dia akan memerintahkan anak cucu Adam untuk melakukannya, sebagaimana yang telah Allah kisahkan dalam firman-Nya: "dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya" [Nisaa: 119]

    Dalam shahih Bukhori, bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata: (Allah melaknat wanita yang mentato dan minta ditato, mencabut bulu alis dan minta dicabutkan bulu alisnya, serta wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah merubah ciptaan Allah), kemudian beliau melanjutkan: (tidakkah aku melaknat dia yang telah dilaknat oleh Rasulullah ? Dimaksud oleh beliau adalah firman Allah Ta'ala: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah" [ QS. Al-Hasyr: 7], permasalahan ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam kitabtafsirnya.

    Telah terfitnah oleh permasalahan berbahaya ini, yang mana ia termasuk dari dosadosa besar, wanita-wanita yang ada pada hari ini, bahkan pencabutan bulu alis seolaholah telah menjadi kebutuhan sehari-hari, seorang wanita tidak boleh menuruti suaminya jika dia memerintahkan untuk melakukan hal tersebut, karena termasuk dari maksiat. Diharamkan pula bagi wanita Muslimah untuk merenggangkan giginya demi untuk kecantikan, yaitu dengan cara mendinginkannya dengan sebuah alat hingga menjadikannya sedikit merenggang dengan harapan agar terlihat lebih indah. Adapun jika terdapat gangguan pada giginya dan membutuhkan sedikit perataan untuk menghilangkan gangguan tersebut, atau padanya terdapat karang gigi yang membutuhkan perbaikan demi untuk menghilangkannya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena ini termasuk dari pengobatan, dan dilakukan oleh seorang Dokter spesialis.

    Diharamkan pula bagi seorang wanita untuk mentato tubuhnya, karena Nabi telah melaknat al-wasyimah dan al-mustausyimah, al-wasyimah adalah: wanita yang melobangi tangan atau wajahnya dengan jarum, kemudian mengisinya dengan alkohol atau tinta, al-mustausyimah adalah: wanita yang bekerja untuk itu. Ini adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dari dosa-dosa besar, karena Nabi telah melaknat dia yang melakukan dan yang dilakukan atasnya, sedangkan pelaknatan tidak terjadi kecuali pada salah satu dari dosa-dosa besar.

    Adapun pemakaian pacar bagi wanita dan pewarnaan rambutnya, telah berkata imam Nawawi dalam kitab al-majmu': [adapun pewarnaan kedua tangan dan kaki dengan pacar, maka ia dianjurkan bagi wanita yang telah menikah, karena adanya beberapa Hadits yang terkenal]

    Beliau mengisyaratkan kepada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: bahwa seorang wanita bertanya kepada A'isyah ra tentang penggunaan pacar, maka beliau menjawab: [hal tersebut diperbolehkan, akan tetapi aku membencinya karena kekasihku Rasulullah tidak menyukai baunya] ( HR. Nasa'i). berkata pula A'isyah ra: seorang wanita mengulurkan tangannya yang memegang buku dari balik kain penghalang kepada Rasulullah , kemudian Nabi  menahan tangannya sambil berkata: "Aku tidak tahu apakah ini tangan laki-laki ataukah perempuan?" wanita tersebut menjawab: bahkan ini adalah tangan perempuan, berkatalah beliau: "jika seorang perempuan niscaya anda akan merubah kuku tangan" maksudnya adalah dengan pacar [ HR. Abu Dawud dan Nasa'i ]. akan tetapi hendaklah seorang wanita tidak mewarnai kukunya dengan sesuatu yang membeku dan menghalangi ketika bersuci, serti pewarnaan dengan manicure. Adapun pewarnaan wanita terhadap rambut kepalanya, apabila ia telah beruban maka hendaklah dia mewarnainya dengan selain warna hitam, dikarenakan keumuman larangan Nabi  dari pewarnaan dengan hitam.

    Berkata Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus sholihin: bab larangan bagi laki-laki dan wanita untuk mewarnai rambutnya dengan warna hitam, beliaupun berkata dalam kitab al-majmu': (tidak ada perbedaan dalam larangan dari pewarnaan dengan hitam antara laki-laki dan perempuan, inilah madzhab kami). Adapun pewarnaan wanita terhadap rambutnya yang berwarna hitam agar berubah kepada warna lain, yang saya ketahui bahwa perbuatan ini tidak diperbolehkan, karena dia tidak memiliki kebutuhan akannya, sebab warna hitam bagi  rambut adalah keindahan, bukan kerancuan yang membutuhkan perubahan, juga karena hal tersebut merupakan peniruan terhadap wanita-wanita kafir.

    Diperbolehkan bagi wanita untuk menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas dan perak, sebagaimana yang telah berjalan, dan ini merupakan ijma' para ulama, akan tetapi dia tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, bahkan dia berkewajiban untuk menutupinya, pada khususnya ketika keluar dari rumah dan memungkinkan laki-laki untuk melihatnya, karena yang demikian itu merupakan fitnah. Telah dilarang untuk terdengar oleh laki-laki suara perhiasan kaki yang berada dibalik pakaiannya, maka bagaimana dengan perhiasan yang tampak? Allah berfirman: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan" [QS. An-Nuur: 31],

    Wallahu a'lam.

    http://d1.islamhouse.com/data/id/ih_articles/single/id_Hukum_Perhiasan_Wanita.pdf


    your comment