• Kilauan Mutiara Hikmah Dari Perkataan Salaful Ummah

    Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

                            Kilauan Mutiara Hikmah Dari Perkataan Salaful Ummah

    Penyusun Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi
    Kata Pengantar Penerjemah

    Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita memuji-Nya, memohon ampunan dan perlindungan-Nya dari kejahatan hawa nafsu kita dan kejelekan amalan kita. Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, sebaliknya siapa yang disesatkan maka tidak ada pula yang dapat menunjukinya.


    Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah satu-satunya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah seorang hamba dan utusan Allah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat serta salam kepada beliau, keluarga, dan para shahabatnya serta para pengikutnya dengan ihsan hingga hari pembalasan.

    Berbagai kerancuan kini melanda umat Islam (kecuali yang dirahmati Allah). Di antara mereka ada yang menganggap biasa berteman akrab dan menimba ilmu dari orang-orang yang menyimpang pemikiran dan manhajnya yang penting demi persatuan kesatuan dan lagipula mereka pintar-pintar, demikianlah anggapan mereka. Toh, dengan orang-orang kafir kita dianjurkan untuk bergaul dengan baik. Mengapa dengan sesama Muslim kita justru berpecah dan berselisih? Inilah sebagian kecil kerancuan tersebut. Adapula yang mempersoalkan boleh tidaknya melontarkan kata-kata yang cukup memerahkan telinga terhadap para dai hizbiyyin (yang mengajak kepada fanatisme golongan) dan orang-orang yang merusak pemikiran umat.

    Namun disayangkan ternyata sebagian para dai khususnya mereka yang telah berani mengenakan baju (label) Salaf justru banyak menambah kerancuan ini. Mereka mengutip sebagian perkataan ulama dan meninggalkan yang lainnya. Atau menyampaikan pendapat seorang imam atau ulama tidak sesuai bahkan bertentangan dari apa yang dipahami oleh generasi terbaik umat ini. Mereka memusuhi dan menjauhi dai-dai yang menampakkan sikap permusuhan terhadap ahli bid’ah dan para penyambung lidah mereka.


    Oleh karena itu kami terpanggil untuk menyadarkan saudara-saudara kita (kaum Muslimin) bagaimana dan apa yang harus kita pegang dalam mengarungi perjalanan hidup sesaat yang penuh ujian ini? Untuk itu kami mencoba menyuguhkan kepada para pembaca budiman untaian kata mutiara yang penuh hikmah yang dikumpulkan dan disusun oleh Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi --hafidhahullahu-- dari perkataan para Ulama Salaful Ummah. Dan kitab itu kami terjemahkan dengan judul


    Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah.

    Dan kami bersyukur kepada Allah atas terselesaikannya buku ini kemudian kepada Ustadz Muhammad Umar As Sewwed yang berkenan memeriksa dan memberikan pengantar atau ta’liq (keterangan) yang berkaitan dengan beberapa perkara penting dalam buku ini. Kami ucapkan pula Jazaakumullahu khairan.


    Mudah-mudahan Allah jadikan buku ini bermanfaat bagi penulis (penyusun), penterjemah, pemeriksa, dan kaum Muslimin sekalian. Dan semoga Allah menjadikan ini amal shalih yang ikhlash mengharap wajah-Nya. Amiin Ya Mujibas Saailin.

    Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Yogyakarta, Shafar 1419 H

    Penterjemah
    Idral Harits

    --------------------------------
    Kata Pengantar Muhammad Umar As Sewed


    Sebagaimana judulnya, buku ini memang bukan karangan atau tulisan Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi, akan tetapi merupakan kumpulan mutiara hikmah yang dirangkai oleh penyusunnya dengan apik dan lugas. Beliau memilih mutiara-mutiara ini dari lautan ilmu yang terkandung di dalam karya- karya besar ulama Salaf. Dan mutiara ini beliau awali rangkaiannya dengan Kalam Allah Yang Maha Sempurna kemudian sabda Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sekaligus sebagai dasar ucapan-ucapan ulama dan para imam tersebut. Dengan demikian, ini menutup jalan yang mendorong seseorang untuk berkata, tidakkah ini hanya ucapan seorang manusia.

    Sekali lagi perlu kita perhatikan. Untaian mutiara yang penuh dengan hikmah ini dipilih dari perkataan generasi terbaik yaitu generasi para shahabat, kemudian tabi’in, dan tabi’ut tabi’in yang merupakan generasi terbaik sesudah shahabat lalu imam-imam Ahlus Sunnah yang datang sesudah mereka yang semua itu disandarkan kepada Al Quran dan As Sunnah.

    Di samping itu, dengan dimuatnya ucapan beberapa ulama dari generasi yang berbeda dalam satu permasalahan mengandung nilai tersendiri. Dan ini sekaligus membuktikan bahwa ternyata ulama Ahlus Sunnah yang hidup dalam kurun waktu yang berbeda sepakat dalam permasalahan tersebut. Misalnya permasalahan tahdzir (peringatan dan larangan yang keras) untuk duduk bermajelis dengan ahli bid’ah. Dengan demikian kita akan bertambah yakin dengan kebenaran dan keteguhan madzhab Ahlus Sunnah serta dapat mengalahkan perasaan risi atau sungkan dan adat ketimuran kita dalam menerima kenyataan ini.

    Sengaja kami beri komentar terhadap beberapa persoalan agar pembaca tidak keliru atau kurang memahami permasalahan yang sedang dibahas. Juga dengan komentar ini diharapkan terjemahan ini dapat lebih bermanfaat.

    Demikianlah, semoga Allah memberi pahala kepada kita semua, penulis, pembaca, penterjemah, dan yang memeriksanya kembali serta seluruh ulama Ahlus Sunnah yang telah menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kita karena Allah. Amiin.

    Degolan, Shafar 1419 H


    Muhammad Umar As Sewed


    http://www.islamhouse.com/p/191582
    ------------------------------------------

  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 2 : Perintah Komitmen Dengan Jamaah Muslimin dan Imam Mereka Serta Peringatan Bahayanya Perpecahan 

    --------------------------------------------------------------------------------

    17. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah sejengkal saja maka ia telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya.” (As Sunnah Ibnu Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al Albani 892 dan 1053)


    18. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Barangsiapa yang mati tanpa mempunyai imam maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (As Sunnah Ibnu Abi Ashim dihasankan Syaikh Al Albani 1057)
    19. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Tetaplah kamu bersama Al Jamaah dan jauhilah perpecahan, sesungguhnya syaithan selalu bersama orang yang sendirian dan ia lebih jauh dari yang berdua dan siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah kebun surga maka hendaknya tetap berpegang dengan Al Jamaah.” (Shahih As Sunnah Ibnu Abi Ashim 88)


    20. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Berjamaah itu rahmat dan perpecahan itu adzab.” (Hadits hasan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 93)


    21. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan Al Jamaah maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 93 dan 1064)
    22. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Tiga hal yang tidak ditanya dari mereka yaitu seseorang yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan orang yang mendurhakai imamnya dan mati dalam keadaan maksiat.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 89, 100, dan 1060)


    23. Mu’adz bin Jabal radliyallahu 'anhu berkata :
    “Tangan Allah ada di atas Al Jamaah, maka siapa menyimpang maka Allah tidak akan mempedulikan dia dengan penyimpangannya itu.” (Al Ibanah 1/289 nomor 119)


    24. Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata :
    “Hai manusia, tetaplah kalian taat dan berada dalam Al Jamaah karena sesungguhnya itu adalah tali Allah yang Ia perintahkan berpegang dengannya dan sesungguhnya apapun yang tidak disukai dalam jamaah jauh lebih baik daripada apapun yang disukai di dalam perpecahan.” (Al Ibanah 1/297 nomor 133)


    25. Al Auza’i berkata :
    “Dikatakan bahwa terdapat lima hal yang shahabat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para tabi’in di atasnya, di antaranya menetapi Al Jamaah.” (Al Lalikai 1/64 nomor 48)

    BAB 3 : Perintah Mentaati Dan Memuliakan Penguasa Serta Tidak Memberontak Kepadanya

    --------------------------------------------------------------------------------

    26. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Meskipun kamu diperintah oleh budak Habsyi yang (jelek) terpotong hidungnya tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya selama ia memimpinmu dengan Kitab Allah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1062)


    27. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Barangsiapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia bermaksiat kepada Allah dan siapa yang taat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) berarti ia mentaatiku dan siapa yang bermaksiat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) maka ia berarti bermaksiat kepadaku dan amirnya adalah tameng.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1065- 1068)
    (Menurut Imam Al Qurthuby yang dinukil oleh Imam As Suyuthi dalam Kitab Az Zahrur Riba, arti tameng di sini adalah ia (amir itu) diikuti pendapat dan pandangannya dalam beberapa peraturan dalam menghadapi keadaan yang mengkhawatirkan, pent.)


    28. Dari Ady bin Hatim ia berkata, kami berkata :
    “Ya Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertaqwa tapi (bagaimana) terhadap orang yang berbuat begini dan begitu -- ia menyebut berbagai kejelekan--.” Beliau berkata : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1069)
    29. Dari Abi Sa’id Al Khudri ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Akan ada nanti para pemimpin yang kulit menjadi lunak terhadap mereka sedangkan hati tidak tenteram kemudian akan ada pula para pemimpin yang hati manusia gemetar karena mereka dan bulu kuduk berdiri karena (takut) kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya : “Ya Rasulullah apakah tidak diperangi saja mereka?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (Ibid nomor 1077)


    30. Dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu ia berkata :
    Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangiku ketika saya di mesjid lalu beliau menyentuhku dengan kakinya dan bersabda : “Apakah kamu sedang tidur di tempat ini?” Saya menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku mengalahkanku.” Beliau bersabda : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini?” Maka saya menjawab : “Sungguh saya akan memilih tanah Syam yang suci dan diberkahi.” Beliau bertanya lagi : “Bagaimana jika kamu diusir dari Syam?” Saya berkata : “Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya perangi dia, ya Rasulullah?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Maukah aku tunjukkan jalan yang lebih baik dari tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk --beliau ulangi dua kali--? Yaitu kamu dengar dan taati, kamu akan digiring kemanapun mereka menggiringmu.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1074)


    31. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia berkata, ketika Abu Dzar keluar menuju Rabdzah, serombongan pengendara dari Iraq menemuinya lalu berkata :
    “Hai Abu Dzar, apa yang menimpamu telah sampai kepada kami, pancangkanlah bendera jihad (berontak) niscaya akan datang kepadamu orang- orang berapapun kamu kehendaki.” Ia berkata : [Tenanglah hai kaum Muslimin, sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Akan ada sesudahku nanti penguasa maka hormatilah dia, barangsiapa yang mencari-cari kesalahannya maka ia berarti benar-benar merobohkan sendi-sendi Islam dan tidak akan diterima taubatnya sampai mengembalikannya seperti semula.”] (Ibid nomor 1079)


    32. Dari Qathn Abul Haitsami ia berkata bahwa Abu Ghalib bercerita kepada kami, saya berada di sisi Abu Umamah ketika seseorang berkata kepadanya :
    “Apa pendapat Anda mengenai ayat :


    Dia-lah yang telah menurunkan kepadamu Al Kitab di antaranya (berisi) ayat-ayat yang muhkam itulah Ummul Kitab dan ayat lainnya adalah ayat mutasyabihat. Maka adapun orng-orang yang dalam hati mereka ada zaigh (condong kepada kesesatan) maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. (QS. Ali Imran : 7)
    Siapakah mereka (orang yang di hatinya terdapat zaigh) ini?” Ia berkata : “Mereka adalah Khawarij, --beliau melanjutkan-- dan tetaplah kamu beriltizam (komitmen) dengan As Sawadul A’zham.” Saya berkata : “Engkau telah mengetahui apa yang ada pada mereka (penguasa).” Ia menjawab : “Kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu, taatilah mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk.” (As Sunnah Ibnu Nashr 22 nomor 55)


    33. Dari Daud bin Abil Furat ia berkata, Abu Ghalib bercerita kepadaku bahwa Abu Umamah bercerita bahwa Bani Israil terpecah menjadi 71 golongan dan ummat ini lebih banyak satu golongan dari mereka, semua di neraka kecuali As Sawadul A'zham, yakni Al Jamaah. Saya berkata :


    “Terkadang dapat diketahui apa yang ada pada As Sawadul A'zham --di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan--.” Ia berkata : “Ketahuilah, sungguh demi Allah saya benar-benar tidak suka perbuatan mereka namun bagi kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajibanmu adalah apa yang dibebankan kepadamu, di samping itu mendengar dan taat kepada mereka lebih baik daripada durhaka dan bermaksiat kepada mereka.” (Ibid nomor 56)


    34. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Barangsiapa yang memuliakan penguasa (yang dijadikan) Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah memuliakannya pada hari kiamat dan siapa yang menghinakan penguasa Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah hinakan dia pada hari kiamat.” (Ash Shahihah Al Albani 2297)


    35. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
    “Lima perkara, barangsiapa yang mengamalkan salah satunya ia mendapat jaminan dari Allah Azza wa Jalla, yaitu (antara lain) barangsiapa yang masuk kepada imam (pemimpinnya) untuk memuliakan dan menghormatinya.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1021)


    36. Dari Ubadah bin Ash Shamit radliyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (beliau) bersabda :
    “Dengar dan taatilah mereka baik --dalam-- kesulitan atau kemudahan, gembira dan tidak suka, dan (meskipun) mereka bersikap egois (sewenang-wenang) terhadapmu, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu.” (Ibid, dishahihkan Al Albani 1026)


    37. Dari Rabi’i bin Harrasy ia berkata, saya mendatangi Hudzaifah radliyallahu 'anhu di Madain pada malam hari ketika banyak orang yang mendatangi Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu maka ia berkata :


    “Hai Rabi’i! Apa yang dilakukan kaummu?” Saya menjawab : “Tentang kejadian mana yang Anda tanyakan?” Ia berkata : “Tentang siapa di antara mereka yang keluar (unjuk rasa/memberontak) kepada orang itu (Utsman)?” Maka saya sebutkan nama-nama beberapa orang di antara mereka. Lalu kata Hudzaifah : “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :


    Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan merendahkan pemerintah maka ia akan menemui Allah Azza wa Jalla dalam keadaan tidak mempunyai muka lagi --dalam lafaz Adz Dzahabi, tidak mempunyai hujjah--.” (HR. Ahmad 5/387, Al Hakim menshahihkannya, dan disetujui Adz Dzahabi 1/119)


    38. Imam Al Barbahary berkata, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
    “Dengar dan taatilah para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridlai Allah! Dan siapa yang diserahi jabatan kekhalifahan dengan kesepakatan dan keridlaan manusia kepadanya maka ia adalah Amirul Mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk berdiam satu malam dalam keadaan tidak menganggap adanya imam baik orang yang shalih ataupun durhaka.” (Thabaqat Hanabilah 2/21 dan Syarhus Sunnah 77-78)
    Kata Syaikh Jamal bin Farihan, ijma’ (kesepakatan manusia dan keridlaan mereka) di sini maksudnya adalah manusia dari kalangan Ahlul Hali wal ‘Aqdi (ulama mujtahid) bukan seluruh rakyat yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang yang bodoh. Maka perhatikanlah hal ini!


    39. Kata beliau (dalam Syarhus Sunnah hal 77-78) :
    “Barangsiapa yang keluar (demonstrasi/memberontak) kepada imam kaum Muslimin maka ia Khawarij dan sungguh mereka telah mematahkan tongkatnya kaum Muslimin, menyelisihi atsar maka mereka mati dalam keadaan jahiliyyah.”


    40. Dan kata beliau lagi :
    “Tidak halal memerangi (memberontak) kepada penguasa dan keluar (demonstrasi) terhadap mereka meskipun mereka jahat karena tidak ada dalam As Sunnah (tuntunan) memerangi penguasa sebab yang demikian mengakibatkan kerusakan dunia dan agama.”


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 4 : Bersabar Atas Kejahatan Penguasa

    --------------------------------------------------------------------------------

    41. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Barangsiapa yang melihat pada amirnya terdapat satu hal yang dia benci hendaknya ia (tetap) bersabar.” (Hadits dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1101)


    42. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Adapun sesudah itu, sesungguhnya kamu akan melihat sikap atsarah (egois dan suka melebihkan orang lain selain kamu) maka bersabarlah sampai kamu berjumpa denganku.” (Ibid 1102)

    BAB 5 : Tanda-Tanda Ahlus Sunnah

    --------------------------------------------------------------------------------

    43. Imam Al Barbahary berkata :
    “Jika kamu lihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudlair radliyallahu 'anhum maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah --Insya Allah-- dan jika kamu lihat seseorang mencintai Ayyub, Ibnu ‘Aun, Yunus bin ‘Ubaid, ‘Abdullah bin Idris Al Audi, Asy Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zurai, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, Al Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah begitu pula jika ada seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, Al Hajjaj bin Al Minhal, Ahmad bin Nashr serta menyebut kebaikan mereka dan berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah ia adalah seorang Sunni.” (Syarhus Sunnah 119-121)


    Saya (Jamal bin Farihan) mengatakan, dan jika kamu melihat pada masa kini ada seseorang yang mencintai para ulama di negeri ini (Saudi) dan negeri lainnya yang berpegang teguh dengan As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih serta berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang Sunniy.


    44. Kata beliau (ibid 107) :
    “Dan siapa yang mengetahui apa yang dibuang dan ditinggalkan ahli bid’ah dari Sunnah ini dan ia justru berpegang teguh dengannya maka ia adalah pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ia berhak untuk diikuti (diteladani), dibantu, dan dijaga bahkan dia termasuk yang dipesankan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.


    45. Dan kata beliau (ibid 116) :
    “Dan jika kamu lihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah --Insya Allah--.”


    Saya katakan ringkasnya : “Jika kamu lihat seseorang mencintai Ahli Sunnah di mana pun berada dan benci kepada ahli bid’ah dan ahli ahwa’ di manapun mereka menetap dan berpindah maka ketahuilah ia adalah Ahlus Sunnah.”


    46. Abu Hatim berkata :
    “Jika kamu lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah ia adalah pengikut Sunnah.” (As Siyar 11/198)


    47. Dari Ja’far bin Muhammad ia berkata, saya mendengar Qutaibah berkata :
    “Apabila kamu melihat seseorang mencintai Ahli Hadits seperti Yahya bin Sa’id dan Abdurrahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal serta Ishaq bin Rahawaih --ia menyebut beberapa orang lagi-- maka ketahuilah bahwa ia berada di atas Sunnah dan siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa ia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah).” (Al Lalikai 1/67 nomor 59)

     

    BAB 6 : Tanda-Tanda Ahli Bid’ah Dan Ahli Ahwa’

    --------------------------------------------------------------------------------


    48. Ayyub As Sikhtiyani berkata :
    “Saya tidak mengetahui ada seseorang dari ahli ahwa’ yang berdebat kecuali dengan perkara (ayat) mutasyabihat.” (Al Ibanah 2/501, 605, 609)


    49. Imam Al Barbahary berkata :
    “Jika kamu lihat seseorang mencela salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka ketahuilah bahwa sesungguhya dia telah mengucapkan kata-kata yang buruk dan termasuk ahli ahwa’.” (Halaman 115 nomor 133)


    50. Ia juga berkata :
    “Jika kamu mendengar seseorang mencerca atsar (hadits-hadits), menolaknya, dan menginginkan selain itu maka curigailah keislamannya dan jangan kamu ragu bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu dan mubtadi’.” (Ibid 115-116 nomor 134)


    51. Kata beliau juga :
    “Jika kamu lihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu.” (Ibid 116 nomor 136)


    52. Abu Hatim berkata :
    “Salah satu tanda ahli bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahli Atsar.” (Al Lalikai 1/179)


    Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.”


    53. Ibnul Qaththan berkata :
    “Tidak ada di dunia ini seorang mubtadi’ melainkan sangat membenci Ahli Hadits.” (Aqidah Salaf Ash Shabuni 102 nomor 163)


    54. Imam Ash Shabuni berkata :
    Dan tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat jelas terlihat pada mereka dan salah satu tanda yang paling menonjol adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa berita dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, menghina, dan meremehkan mereka.” (Ibid 101 nomor 162)


    55. Dari Qutaibah bin Sa’id berkata :
    “Apabila kamu lihat seseorang mencintai Ahli Hadits maka ketahuilah bahwa ia di atas As Sunnah dan siapa yang menyelisihi perkara ini maka ketahuilah bahwa ia adalah mubtadi’.” (Muqaddimah muhaqqiq Kitab Syi’ar Ashhabul Hadits lil Hakim 7)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 7 : Sebab-Sebab Hilangnya Agama

    --------------------------------------------------------------------------------


    56. Abdullah bin Ad Dailamy berkata :
    “Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah meninggalkan As Sunnah. Agama ini akan hilang sunnah demi sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al Lalikai 1/93 nomor 127, Ad Darimy 1/58 nomor 97, dan Ibnu Wadldlah dalam Al Bida’ 73)


    57. Ia juga berkata, saya mendengar Amru berkata :
    “Tidaklah dilakukan suatu bid’ah melainkan akan bertambah cepat berkembangnya dan tidaklah ditinggalkan As Sunnah kecuali bertambah cepat hilangnya.” (Al Lalikai 1/93 nomor 128 dan Ibnu Wadldlah 73)


    58. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu ia berkata :
    “Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)


    59. Al Auza’i menyebutkan dari Hassan bin Athiyyah, ia berkata :
    “Tidaklah suatu kaum berbuat satu bid’ah dalam Dien mereka melainkan Allah cabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya dan tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat.” (Ad Darimy 1/58 nomor 98)


    60. Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
    “Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)

     

    BAB 8 : Jeleknya Ahli Ahwa’ dan Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    61. Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Akan ada di akhir zaman nanti para dajjal dan pendusta, mereka mendatangimu dengan hadits-hadits yang belum pernah didengar oleh kamu dan bapak-bapak kamu maka hati-hatilah kamu dari mereka, mereka jangan sampai menyesatkan kamu dan menimbulkan fitnah terhadapmu.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah 7)


    62. Dari Khalid bin Sa’d ia berkata bahwa menjelang wafatnya Hudzaifah bin Al Yaman datang kepadanya Abu Mas’ud Al Anshary --radliyallahu anhuma-- lalu berkata :
    “Hai Abu Abdillah, berpesanlah untuk kami.” Hudzaifah berkata : “Bukankah telah datang kepadamu perkara yang yaqin, ketahuilah sesungguhnya kesesatan itu benar-benar kesesatan kalau kamu anggap ma’ruf (baik) apa yang sebelumnya kamu ingkari dan mengingkari apa yang telah kamu ketahui, hati-hatilah kamu dari sikap berbeda-beda (berpecah-belah, pent.) dalam agama Allah karena sesungguhnya agama Allah ini hanya satu.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/33 dan Al Lalikai 1/90 nomor 120)


    63. Dari Abi Qilabah dari Zaid bin Umairah ia berkata, Mu’adz bin Jabbal berkata :
    “Hai manusia, sesungguhnya akan terjadi fitnah yang pada waktu itu harta benda berlimpah, Al Quran terbuka (tersebar) hingga mudah dibaca oleh seorang Mukmin, munafiq, pria dan wanita, anak-anak kecil maupun orang dewasa sampai-sampai seseorang berkata :


    ‘Kita telah membaca Al Quran tapi tidak ada yang mau mengikuti, tidakkah sebaiknya kita bacakan terang-terangan kepada mereka?’
    Maka mereka membacanya terang-terangan dan tetap tidak ada satupun yang mengikutinya maka ia berkata :


    ‘Saya telah membacanya terang-terangan tidak ada juga yang mengikutiku.’
    Lalu ia membangun tempat shalat di rumahnya lalu mengucapkan perkataan bid’ah yang bukan dari Kitab Allah bahkan tidak juga dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka hati-hatilah kamu dari bid’ahnya karena sesungguhnya bid’ah itu sesat.” (Al Lalikai 1/89 nomor 117, Al Hujjah 1/303, Ibnu Wadldlah 33, dan Abu Daud 4611)


    64. Dari Ashim Al Ahwal ia berkata, Abul Aliyah berkata :
    “Pelajarilah Al Islam! Maka jika telah kamu pelajari janganlah kamu membencinya dan tetaplah kamu di atas shirathal mustaqim karena itulah sesungguhnya Al Islam dan jangan kamu menyimpang ke kanan dan ke kiri.

    Dan berpeganglah dengan Sunnah Nabimu Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan apa yang dipegang oleh kaum Muslimin sebelum mereka membunuh shahabat mereka sendiri (Utsman bin Affan) dan sebelum mereka berbuat apa yang telah mereka perbuat. Maka sesungguhnya kami telah membaca Al Quran sebelum mereka berselisih (saling memerangi) dan sebelum mereka melakukan apa yang telah mereka lakukan selama 15 tahun. Dan berhati-hatilah kamu dari hawa nafsu ini yang senantiasa menimbulkan permusuhan dan kebencian di tengah-tengah manusia.”
    Kemudian saya sampaikan hal ini kepada Al Hasan Al Bashry, katanya :
    “Ia benar dan telah memberi nasihat.”

    Dan saya ceritakan pula kepada Hafshah bintu Sirin, katanya :
    “Keluargaku tebusanmu, apakah telah kau sampaikan kepada Muhammad (Ibnu Sirin) cerita ini?”
    Saya menjawab tidak (belum). Lalu katanya :
    “Jika begitu sampaikanlah kepadanya!” (As Sunnah Ibnu Nashr 13 nomor 26, Al Ibanah 1/299 nomor 136, Al Lalikai 1/56, 127 nomor 17, 214)

     

    BAB 9 : Peringatan Bahayanya Duduk Dengan Ahli Bid’ah dan Ahli Ahwa serta Bergaul dan Berjalan Bersama Mereka 

    --------------------------------------------------------------------------------


    65. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al Hikmah. Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang kokoh. Dan saya makan di samping yahudi dan nashrani lebih saya sukai daripada makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al Lalikai 4/638 nomor 1149)


    66. Hanbal bin Ishaq berkata, saya mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata :
    “Tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahli bid’ah, duduk dan bergaul dengan mereka.” (Al Ibanah 2/475 nomor 495)


    67. Dari Habib bin Abi Az Zabarqan ia berkata, Muhammad bin Sirin apabila mendengar ucapan ahli bid’ah, menutup telinganya dengan jarinya kemudian berkata :
    “Tidak halal bagiku mengajaknya berbicara sampai ia berdiri dan meninggalkan tempat duduknya.” (Al Ibanah 2/473 nomor 484)


    68. Seorang ahli ahwa’ berkata kepada Ayyub As Sikhtiyani :
    “Hai Abu Bakr, saya ingin bertanya tentang satu kalimat.”
    Beliau menukas --sambil berisyarat dengan jarinya-- :
    “Tidak, meskipun setengah kalimat. Tidak, meskipun setengah kalimat.” (Al Ibanah 2/447 nomor 402)


    69. Imam Ahmad berkata dalam risalahnya untuk Musaddad :
    “Jangan kamu bermusyawarah dengan ahli bid’ah dalam urusan agamamu dan jangan jadikan dia teman dalam safarmu (bepergian).” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/578)


    70. Ibnul Jauzy berkata :
    “Allah, Allah. Janganlah berteman dengan mereka ini (ahli bid’ah). Dan wajib kamu cegah anak-anak kecil bergaul dengan mereka agar jangan terpatri sesuatu (perkara bid’ah) dalam hati mereka dan jadikan mereka sibuk (mempelajari) hadits- hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar watak mereka terbentuk di atasnya.” (Ibid 3/577-578)


    71. Imam Al Barbahary berkata :
    “Apabila tampak bagimu satu perkara bid’ah pada seseorang maka jauhilah dia sebab sesungguhnya yang dia sembunyikan darimu jauh lebih banyak dari yang dia tampakkan.” (Syarhus Sunnah 123 nomor 148)


    72. Dan kata beliau :
    “Perumpamaan ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka menyembunyikan kepala dan badan mereka di dalam tanah dan mengeluarkan ekornya maka jika mereka telah mantap dengan posisinya maka mereka menyengat mangsanya. Demikian pula ahli bid’ah, mereka menyembunyikan bid’ah di tengah-tengah manusia lalu apabila mereka telah mantap dengan kedudukannya mereka sampaikan apa yang mereka inginkan.” (Thabaqat Hanabilah 2/44)


    Saya (Jamal bin Farihan) katakan, demikianlah keadaan Ikhwanul Muslimin (dan kelompok dakwah sempalan lainnya, pent.) mereka mencari kedudukan dan jika telah mantap posisi mereka maka mulailah mereka melancarkan tindakan-tindakan dalam menyelisihi Ahlus Sunnah.


    1 comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 10 : Peringatan Salafus Shalih Akan Bahayanya Bergaul Dengan Ahli Bid’ah dan Menyebut Nama Tokoh-Tokoh Mereka Bukan Ghibah

    --------------------------------------------------------------------------------


    73. Abu Nu’aim berkata, Sufyan Ats Tsauri memasuki mesjid pada hari Jum’at, tiba- tiba ia melihat Al Hasan bin Shalih bin Hayy sedang shalat, beliau berkata :
    “Kami berlindung kepada Allah dari khusyuknya munafiq.”
    Lalu beliau mengambil sandalnya dan berpindah.


    Katanya lagi --juga dari Ats Tsauri-- : “Dia itu adalah orang yang menganggap bolehnya menumpahkan darah ummat.” (At Tahdzib 2/249 nomor 516)
    74. Bisyr bin Al Harits berkata, Zaidah biasa duduk di masjid memperingatkan manusia dari Ibnu Hayy dan shahabat-shahabatnya, katanya :
    “Mereka itu menganggap halal menumpahkan darah kaum Muslimin.” (Ibid)


    75. Abu Shalih Al Farra’ berkata, saya menyampaikan kepada Yusuf bin Asbath dari Waki’ mengenai perkara fitnah, ia berkata :
    “Dia --Al Hasan bin Hayy-- itu seperti gurunya.”
    Lalu saya berkata kepada Yusuf :
    “Apakah kamu tidak takut kalau ini ghibah?”
    Ia menjawab :
    “Mengapa, hai bodoh? Saya lebih baik terhadap mereka dibanding bapak ibu mereka. Saya mencegah manusia beramal dengan apa yang mereka ada-adakan agar manusia tidak mengikuti pula dosa-dosa mereka itu dan orang yang menyanjung mereka justru jauh lebih berbahaya daripada mereka.” (Ibid)


    76. Abdullah bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, saya mendengar ayahku berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ucapanku (lafadhku) dengan Al Quran adalah makhluk maka ini adalah ucapan yang sangat jelek dan rendah dan ini adalah perkataan orang-orang Jahmiyyah.”
    Saya katakan padanya : “Sesungguhnya Husain Al Karabisiy mengatakan hal ini.”
    Beliau berkata : “Dia dusta, semoga Allah membuka aibnya yang jelek itu. Sungguh ia telah menggantikan Bisyr Al Marisiy.” (As Sunnah li Abdillah 1/165-166 nomor 186-188)


    77. Kata beliau juga :
    “Saya bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbiy tentang Husain Al Karabisiy lalu beliau berkata dengan ucapan yang jelek dan rendah tentang Husain.” (Ibid)


    78. Abdullah berkata --lagi-- :
    “Saya bertanya kepada Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani tentang Husain Al Karabisiy ternyata ia mengatakan hal yang sama dengan Abu Tsaur.” (Ibid)


    79. Imam Ahmad berkata :
    “Bisyr Al Marisiy telah mati dan ia digantikan oleh Husain Al Karabisiy.” (Tarikh Baghdad 8/66)


    80. Dari Muhammad bin Al Hasan bin Harun Al Maushuly ia berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang ucapan Al Karabisiy :
    “Ucapanku dengan Al Quran adalah makhluk.”
    Maka beliau berkata kepadaku :
    “Hai Abu Abdillah, hati-hatilah kamu, hati-hatilah kamu terhadap Al Karabisiy, jangan ajak dia bicara dan jangan pula kamu ajak bicara orang yang bicara dengannya.”
    Beliau ucapkan 4 atau 5 kali. (Ibid 8/65)


    81. Sampai berita kepada Umar bin Al Khaththab radliyallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki yang terkumpul pada dirinya beberapa perkara bid’ah maka beliau melarang manusia duduk dengannya. (Majmu’ Fatawa 35/414)
    Ibnu Taimiyyah berkata : “Maka apabila seseorang bergaul dengan orang yang jahat secara rahasia tetap harus diperingatkan manusia darinya.” (Ibid)


    82. Ayyub As Sikhtiyani berkata, Abu Qilabah berkata kepadaku :
    “Jangan beri kesempatan ahli ahwa’ itu mendengar sesuatu dari kamu nanti ia akan melontarkan terhadapnya apa yang mereka kehendaki.” (Al Lalikai 1/134 nomor 246 dan Al Ibanah 2/445 nomor 397)


    83. Utsman bin Zaidah berkata, Sufyan (Ats Tsauri) berwasiat kepadaku :
    “Janganlah kamu bergabung dengan ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)


    84. Al Faryabi berkata :
    “Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk dengan si Fulan --yaitu seorang ahli bid’ah--.” (Ibid)


    85. Ibnul Mubarak berkata :
    “Hati-hatilah kamu jangan sampai duduk dengan ahli bid’ah.” (Ibid)


    86. Muqatil bin Muhammad berkata, Abdurrahman bin Mahdi berkata kepadaku :
    “Hai Abul Hasan, janganlah kamu duduk dengan ahli bid’ah ini sesungguhnya mereka senantiasa berfatwa tentang perkara yang Malaikat tidak mampu (menuliskannya).” (Ibid)


    87. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Saya telah mendapatkan bahwa sebaik-baik manusia seluruhnya adalah Ahli Sunnah dan mereka senantiasa melarang bergaul dengan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/138 nomor 267)


    88. Yahya bin Abi Katsir berkata :
    “Kalau kamu bertemu ahli bid’ah di suatu jalan maka ambillah jalan lain.”
    Begitu pula kata Al Fudlail bin Iyyadl. (Al I’tisham 1/172, Al Ibanah 2/474-475 nomor 490 dan 493, Ibnu Wudldlah dalam Al Bida’ 55, Asy Syari’ah 67, dan Al Lalikai 1/137 nomor 259)


    89. Abu Qilabah berkata :
    “Janganlah kamu duduk bersama ahli ahwa’ dan jangan berdialog dengan mereka sebab sesungguhnya saya tidak aman kalau-kalau mereka membenamkan kamu dalam kesesatan mereka atau mengaburkan apa-apa yang telah kamu ketahui.” (Al Bida’ 55, Al I’tisham 1/172, Al Lalikai 1/134 nomor 244, Ad Darimy 1/120 nomor 391, Al Ibanah 2/473 nomor 369, Asy Syari’ah 61)


    90. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jangan kamu duduk (bermajelis) bersama ahli bid’ah sebab sesungguhnya saya khawatir kamu tertimpa laknat.” (Al Lalikai 1/137 nomor 261 dan 262)


    91. Ia --juga-- berkata :
    “Hati-hatilah kamu (jangan) masuk kepada ahli bid’ah karena sesungguhnya mereka itu selalu menghalangi orang dari Al Haq.” (Ibid)


    92. Al Hasan Al Bashry dan Ibnu Sirin berkata :
    “Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ dan jangan kamu berdialog dengan mereka dan jangan dengar ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/444 nomor 395 dan Ad Darimy 1/121 no 401)


    93. Ibrahim An Nakha’i berkata :
    “Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ karena saya khawatir kalau- kalau hatimu berbalik (murtad).” (Al Ibanah 2/439 nomor 373, Al Bida’ 56, Al I’tisham 1/172)


    94. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab yang demikian menjadikan hati berpenyakit.” (Al Bida’ 54, Al Ibanah 2/438 nomor 373 juga dari Abdullah Al Mula’i nomor 373 dan Ibnu Abbas nomor 371)


    95. Mujahid berkata :
    “Janganlah kamu berada dalam satu majelis dengan ahli ahwa’ sebab mereka mempunyai cacat seperti kurap.” (Al Ibanah 2/441 nomor 382)


    96. Muhammad bin Muslim berkata, Allah mewahyukan kepada Musa bin Imran Alaihis Salam :
    “Hendaknya kamu jangan duduk dengan ahli ahwa’ karena (dikhawatirkan) engkau akan mendengar satu ucapan yang menyebabkan kamu ragu lalu sesat dan masuk neraka.” (Al Bida’ 56)


    97. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Barangsiapa yang suka memuliakan Diennya maka tinggalkanlah bermajelis dengan ahli ahwa’ sebab yang demikian itu lebih sulit lepasnya dibanding penyakit kulit (koreng, dan sebagainya).” (Ibid 57)


    98. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Janganlah duduk dengan pengekor hawa nafsu lalu ia melemparkan sesuatu dalam hatimu dan kamu ikuti lalu kamu celaka atau kamu menolaknya akibatnya hatimu menjadi sakit.” (Ibid)


    99. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Ahli bid’ah itu jangan kamu mempercayainya dalam soal agamamu dan jangan ajak dia bermusyawarah dalam urusanmu dan jangan duduk dengannya. Maka siapa yang duduk dengannya, Allah wariskan kepadanya kebutaan (dari Al Haq).” (Al Lalikai 1/138 nomor 264)


    100. Ibrahim An Nakha’i berkata :
    “Janganlah duduk dengan ahli ahwa’ sebab sesungguhnya duduk dengan mereka melenyapkan cahaya iman dari dalam hati dan menghilangkan keindahan wajah dan mewariskan kebencian di dalam hati kaum Mukminin.” (Al Ibanah 2/439 nomor 375)


    101. Dari Atha’ ia berkata, Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa Alaihis Salam :
    “Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab sesungguhnya mereka akan menimbulkan perkara baru yang belum pernah ada di dalam hatimu.” (Ibid 2/433 nomor 358)


    102. Salamah bin Alqamah berkata :
    “Muhammad bin Sirin selalu melarang manusia berbicara dan duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid 2/522 nomor 624)


    103.    Aly bin Abi Khalid menceritakan bahwa ia berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal :
    “Orang tua ini --sambil mengisyaratkan kepada syaikh itu-- adalah jiranku dan saya telah melarangnya bergaul dengan seseorang (bid’iy) dan ia lebih suka mendengar perkataan Anda dalam perkara ini --mengenai Harits Al Qashir-- (Harits Al Muhasibi) dan Anda pernah melihatku bersamanya selama beberapa tahun lalu Anda katakan pada saya :
    ‘Jangan duduk (bermajelis) dengannya dan jangan ajak bicara.’
    Maka sejak saat itu saya tidak pernah mengajaknya bicara sampai saat ini sedangkan orang tua ini senang duduk (bermajelis) dengannya maka bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?”
    Saya lihat wajah Imam Ahmad memerah, urat lehernya membengkak dan matanya melotot marah dan saya belum pernah melihatnya seperti itu sama sekali kemudian beliau menghembuskan nafas dan mulai berkata :
    “Orang itu! Allah telah berbuat terhadapnya apa yang Dia perbuat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berpengalaman dan mengenalnya, uwaiyyah, uwaiyyah, uwaiyyah, dia itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali yang pernah bergaul dan mengenalnya, dia itu yang pernah duduk bersamanya Al Maghazily, Ya’qub, dan Fulan lalu ia menggiring mereka kepada pemikiran Jahm akhirnya mereka binasa karenanya.”
    Orang tua itu berkata : “Wahai Abu Abdillah, ia juga meriwayatkan hadits, lembut, khusyu’ dan orang tua itu terus menceritakan kebaikan Harits Al Muhasibi.”
    Imam Ahmad marah dan berkata :
    “Janganlah kau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya. Dan jangan kamu terpedaya dengan kebiasaannya menundukkan kepala karena sesungguhnya dia adalah laki-laki yang jahat, dia itu tidaklah mengetahuinya kecuali yang telah berpengalaman dengannya, jangan kamu ajak dia bicara. Tidak ada kemuliaan baginya. Apakah setiap yang meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam padahal ia seorang mubtadi’ kamu akan duduk bersamanya? Tidak! Jangan. Tidak ada kemuliaan baginya dan jangan kita membutakan mata!”
    Beliau mengulangi-ulangi ucapannya : “Tidak ada yang mengetahuinya kecuali yang pernah mengujinya dan mengenalnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/233-234 nomor 325)


    104.    Dari Abduus bin Malik Al Aththar ia berkata, saya mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata :
    “Dasar-dasar As Sunnah menurut kami adalah --beliau sebutkan di antaranya-- : ‘ ... dan tidak duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid 1/241 nomor 338)


    105.    Imam Ahmad ketika ditanya tentang Al Karabisiy, beliau menjawab :
    “Dia itu seorang mubtadi’.” (Tarikh Baghdad 8/66)


    106.    Diberitakan kepada Yahya bin Ma’in bahwa Husain Al Karabisiy mengatakan sesuatu tentang Ahmad bin Hanbal maka katanya :
    “Siapa Husain Al Karabisiy itu? Semoga Allah melaknatnya. Dia itu selalu membicarakan perkara yang masih tersamar bagi manusia, Husain itu rendah dan Ahmad itu tinggi kedudukannya.” (Ibid 8/65)


    107.    Juga diceritakan kepadanya bahwa Husain mengatakan sesuatu tentang Imam Ahmad maka ia berkata :
    “Alangkah pantasnya ia dipukul.” (Ibid 8/64)


    108.    Yusuf bin Asbath berkata :
    “Ayahku seorang Qadariy sedangkan saudara-saudara ibuku adalah Rafidly (Syiah ekstrim) lalu Allah menyelamatkanku dengan (bimbingan) Sufyan.” (Al Lalikai 1/60 nomor 32)

    BAB 11 : Bolehnya Meninggalkan Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah, Majelis Mereka, Dan Menjauhkan Manusia Dari Mereka

    --------------------------------------------------------------------------------


    109. Farwah bin Yahya biasa duduk dengan Abdul Karim Khashifa, datang kepada mereka Salim Al Afthas dari Iraq lalu berbicara tentang pemikiran Murjiah maka mereka berdiri dari majelis tersebut katanya (rawi) :
    “Sering saya lihat dia duduk sendirian tanpa seorang pun yang mendekatinya.” (Al Ibanah 2/452 nomor 418)


    110. Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin :
    “Sesungguhnya si Fulan ingin menemui Anda dan tidak akan berbicara tentang apa pun.”
    Katanya : “Katakan kepadanya, tidak! Ia tidak usah menemuiku karena sesungguhnya hati anak Adam itu lemah dan saya takut mendengar satu kata saja dari dia yang menyebabkan hatiku tidak kembali kepada keadaanya semula.” (Ibid 2/446 nomor 399-401)


    111. Ma’mar berkata, ketika Ibnu Thawus sedang duduk, datang seorang Mu’tazilah dan mulai berbicara katanya (rawi) lalu ia menutup telinganya dengan jarinya dan berkata kepada anaknya :
    “Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan keraskanlah dan jangan kau dengar ucapannya sedikitpun.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh baghdad 8/215)


    112. Abdur Razzaq berkata, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya berkata kepadaku --ia seorang Mu’taziliy-- :
    “Saya lihat kaum Mu’tazilah banyak di sekitarmu?” Saya katakan : “Betul dan mereka menyangka kamu termasuk golongan mereka.” Katanya : “Apakah tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke warung ini agar saya berbicara denganmu?” Saya berkata : “Tidak usah.” Ia bertanya : “Mengapa?” Jawabku : “Karena hati manusia itu sangat lemah sedangkan agama itu bukan kepunyaan orang yang menang berdebat.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)


    113. Ibrahim An Nakha’i berkata kepada Muhammad bin As Saib :
    “Janganlah kamu mendekati kami selama kamu masih berpegang dengan pendapatmu ini (pemikiran Murjiah). (Karena dia seorang Murjiah, pent.).” (Al Bida’ 59)


    114. Abul Qasim An Nashr Abadzy berkata :
    “Sampai kepadaku bahwa Al Harits Al Muhasibiy mengucapkan sesuatu tentang Al Kalam (Al Quran) maka Imam Ahmad bin Hanbal menjauhinya, ia pun bersembunyi dan ketika ia mati tidak ada yang mendatanginya kecuali 4 orang.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/216)


    115. Ketika ditanya tentang Al Muhasibi dan kitab-kitabnya, Abu Zur’ah menjawab :
    “Tinggalkan olehmu kitab-kitab ini (karena) ini adalah kitab-kitab bid’ah dan sesat. Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih sebab sesungguhnya akan kamu dapatkan padanya segala sesuatu yang mencukupi kamu. Dan tidak perlu kitab- kitab ini.”
    Lalu dikatakan kepadanya : “Di dalam kitab ini ada juga ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
    Beliau berkata : “Barangsiapa yang tidak dapat mengambil ibrah dari Kitab Allah maka dia tidak akan mendapatkan ibrah dari sumber yang lain.” Kemudian katanya lagi : “Alangkah cepatnya manusia itu menuju bid’ah.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)


    116. Dengan sanad yang shahih, Al Khathib Al Baghdadi <meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah mendengar ucapan Al Muhasibi maka iapun berkata kepada para shahabatnya :
    “Aku belum pernah mendengar tentang perkara hakikat seperti ucapan orang ini akan tetapi saya menganggap tidak perlu kamu bergaul dengannya.” (At Tahdzib 2/117)


    117. Daud Al Ashbahani tiba di Baghdad dan dia punya hubungan baik dengan Shalih bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal. Ia meminta Shalih agar berlemah-lembut memintakan izin kepada ayahandanya untuk dirinya. Maka Shalih mendatangi ayahnya lalu berkata :
    “Seseorang memintaku agar ia boleh menemui Anda.” Beliau bertanya : “Siapa namanya?” Shalih berkata : “Daud.” Kata beliau : “Asalnya dari mana?” Kata Shalih : “Dari penduduk Ashbahan.” Beliau bertanya lagi : “Apa yang diperbuatnya?” Kata (rawi), Shalih selalu mengelak mengenalkannya kepada ayahandanya dan Imam Ahmad selalu berusaha untuk bertanya sampai akhirnya beliau mengerti betul siapa yang datang. Maka kata beliau : “Tentang orang ini, Muhammad bin Yahya An Naisaburi telah menuliskannya kepadaku lewat surat bahwa ia menganggap bahwa Al Quran adalah muhdats (makhluk) maka janganlah ia mendekatiku.”
    Kata Shalih : “Wahai ayahanda, ia pun menolak dan mengingkarinya.” Maka kata beliau : “Ucapan Muhammad bin Yahya lebih jujur dari orang ini, jangan izinkan dia mendatangi saya.” (Tarikh Baghdad 8/373,374 dan As Siyar 13/99)


    118. Abdullah bin Umar As Sarkhasi berkata, saya pernah makan di sisi seorang ahli bid’ah lalu sampai berita ini kepada Ibnul Mubarak maka katanya :
    “Saya tidak akan mengajaknya bicara selama tiga puluh hari.” (Al Lalikai 1/139 nomor 274)


    119. Al Faryabi berkata :
    “Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk (bermajelis) dengan Fulan --yakni seorang ahli bid’ah--.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)


    120. Dua orang ahli ahwa’ mendatangi Ibnu Sirin lalu berkata :
    “Hai Abu Bakr, (bolehkah) kami menyampaikan satu hadits kepadamu?”
    Ia berkata : “Tidak.” Keduanya berkata lagi : “Atau kami bacakan ayat Al Quran kepadamu?”
    Ia menjawab : “Tidak. Kalian pergi dari saya atau saya yang akan pergi?”
    Lalu keduanya keluar maka sebagian orang berkata : “Hai Abu Bakr, mengapa Anda tidak mau mereka membacakan ayat-ayat Al Quran kepadamu?” Beliau menjawab :
    “Sesungguhnya saya khawatir ia bacakan kepadaku satu ayat lalu mereka menyelewengkannya sehingga berbekas dalam hatiku.” (Ad Darimy 1/120 nomor 397)


    121. Salam berkata, seorang ahli ahwa berkata kepada Ayyub :
    “Saya ingin bertanya mengenai satu kalimat kepada Anda.” Ayyub segera berpaling dan berkata : “Tidak perlu meski setengah kalimat walaupun setengah kalimat.” --Ia mengisyaratkan jarinya--. (Al Ibanah 2/447 nomor 402, Al Lalikai 1/143 nomor 291, As Sunnah li Abdillah 1/138 nomor 101, Ad Darimy 1/121 nomor 398)


    122.  Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak hatimu dan jangan duduk dengan pengekor hawa nafsu karena sesungguhnya saya khawatir kamu terkena murka Allah.” (Al Ibanah 2/462-463 nomor 451-452)


    123. Ismail Ath Thusi mengatakan, Ibnul Mubarak berkata kepadaku :
    “Hendaknya majelismu itu bersama orang-orang miskin dan berhati-hatilah jangan duduk bersama ahli bid’ah.”


    124. Nafi’ menceritakan bahwa Shabigh Al Iraqi mulai bertanya-tanya tentang sesuatu dari Al Quran di tengah-tengah pasukan Muslimin sampai tiba di Mesir lalu Amru bin Al Ash mengirimnya kepada Umar bin Al Khaththab. Maka ketika utusan menemuinya dengan surat dari Amru, Umar bin Al Khaththab segera membacanya, katanya :
    “Mana orang itu?” Utusan itu berkata : “Ia di kendaraan.” Kata Umar : “Awasi dia! Kalau dia hilang, kamu akan kena hukuman yang menyakitkan.”


    Maka dibawalah Shabigh, kata Umar : “Kamu bertanya-tanya soal yang baru (belum pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).” Lalu Umar minta pelepah kurma yang masih segar dan memukulkannya ke punggung Shabigh sampai remuk kemudian ditinggalkan sampai pulih kembali dan diulangi lagi kemudian ia dipanggil agar menghadap maka kata Shabigh : “Jika Anda ingin membunuhku maka bunuhlah dengan baik kalau Anda ingin mengobatiku maka sungguh demi Allah saya sudah sembuh (dari keinginan bertanya- tanya).”


    Kemudian ia diizinkan kembali ke negerinya dan Umar menulis surat kepada Abu Musa Al Asy’ari, jangan ada seorang pun dari kaum Muslimin duduk bersamanya. Akhirnya hal ini terasa sangat berat bagi Shabigh kemudian (setelah ia bertaubat) Abu Musa menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab bahwa Shabigh telah baik keadaannya, setelah itu Umar menulis surat kepada Abu Musa agar manusia diizinkan untuk duduk bersamanya. (Ad Darimy 1/67 nomor 148, Al Hujjah 1/194, dan Al Bida’ 63)


    125. Salah seorang Salaf berkata :
    “Saya pernah berjalan bersama Amru bin Ubaid dan dilihat oleh Ibnu Aun, sejak itu iapun menjauhiku selama dua bulan.” (Al Bida’ 58)

    BAB 12 : Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama

    --------------------------------------------------------------------------------


    126. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu Abdillah) berkata :
    “Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah dia.”
    Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”


    Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki bashirah).

    Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah ucapannya yang rusak tersebut?”

     

    Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku --semoga Allah merahmatimu- -. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :


    Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya, madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju sikap istiqamah hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana yang menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti inilah yang wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing daan menyelamatkannya itu bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat) yang baik.

    Jauhilah olehmu sikap takalluf (memberat-beratkan) terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu bawakan pendapatmu (ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan maka perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin (membela) As Sunnah.

    Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi tidak denngan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh orang yang menipu dirinya sendiri. Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor 679)


    127. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata, seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah mereka maka Imam Ahmad membalasnya :
    “Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu dari hal yang tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).

    Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu) sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu.

    Dan yang lebih berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al Ibanah 2/471-472 nomor 481)


    128. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan perbantahan maka ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah (pemikirannya).” (Asy Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)


    129. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar Wahb mengatakan :
    “Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu karena sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian atasmu.” (Asy Syari’ah 64)


    130. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang bernama Abul Huriyyah menyusulnya --ia diduga seorang Murjiah-- katanya :


    “Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku kepadamu.”
    Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang itu berkata : “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana jika datang seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?” Laki-laki itu menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik rahimahullah :


    “Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)


    131. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata :
    Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi iilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah ucapannya?”
    Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
    Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus kita perbuat?”


    Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak disukai ulama untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah terhadapnya dalam agamamu.”
    Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”


    Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan Salafus Shalih.”


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 13 : Menghinakan dan Tidak Menghormati Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    132. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang menghormati ahli bid’ah berarti ia memberi bantuan untuk meruntuhkkan Islam dan siapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah maka ia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan siapa yang menikahkan puterinya kepada mubtadi’ maka ia telah memutuskan hubungan silaturrahimnya dan siapa yang mengiringi jenazah seorang mubtadi’ akan senantiasa berada dalam kemarahan Allah sampai ia kembali.”
    Ia juga mengatakan : “Saya makan bersama yahudi dan nashrani dan tidak makan bersama mubtadi’.” (Syarhus Sunnah 139)

     

    BAB 14 : Jangan Tertipu Oleh Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    133. Dari Ismail bin Ishaq As Siraj ia mengatakan, Imam Ahmad bin Hanbal pada suatu hari berkata kepadaku :
    “Saya dengar bahwa Al Harits Al Muhasibi sering berkumpul di tempatmu, kalau kamu mengundangnya ke rumahmu dan kau tempatkan saya di tempat yang tidak terlihat olehnya tentu saya akan dapat mendengar perkataannya.” Maka saya berkata : “Saya dengar dan saya patuhi untuk Anda, hai Abu Abdillah dan ini menyenangkan saya.” Lalu saya mendatangi Al Harits dan memintanya datang malam ini, saya katakan : “Engkau ajaklah shahabatmu hadir bersamamu.”

    Katanya : “Hai Abu Ismail, mereka banyak maka jangan beri mereka lebih dari minyak dan kurma dan perbanyaklah keduanya semampumu.”

    Saya pun melakukan apa yang dia minta dan saya berangkat ke tempat Imam Ahmad dan menceritakan hal ini kepadanya, beliau hadir sesudah maghrib dan naik ke kamar dan berusaha untuk tetap hadir sampai selesai. Kemudian Al Harits datang beserta shahabat-shahabatnya lalu mereka makan kemudian shalat pada sepertiga awal malam dan tidak shalat lagi sesudahnya.

    Setelah itu mereka duduk di hadapan Al Harits dan diam tidak berbicara hingga tengah malam kemudian mulailah salah seorang bertanya kepada Al Harits tentang sesuatu dan ia mulai berbicara sementara shahabatnya memperhatikan seakan-akan di atas kepala mereka bertengger seekor burung (karena tenangnya), di antara mereka ada yang menangis adapula yang menjerit dan Al Harits tetap berbicara kemudian saya naik ke kamar melihat keadaan Imam Ahmad, saya dapati beliau menangis sampai tidak sadarkan diri.

    Saya pun berpaling melihat keadaan orang- orang itu ternyata mereka tetap dalam keadaan seperti itu sampai shubuh lalu mereka berdiri dan berpisah. Saya segera menemui Imam Ahmad sedang ia terlihat lain maka saya berkata : “Bagaimana pendapat Anda tentang mereka ini, wahai Abu Abdillah?”


    Beliau menjawab : “Belum pernah saya mengetahui ada orang-orang seperti mereka ini dan saya belum pernah mendengar tentang ilmu hakikat seperti ucapan laki-laki itu (Al Harits) dan meskipun saya terangkan keadaan mereka ini, saya tetap tidak memandang perlunya kamu bergaul dengan mereka.” Lalu ia berdiri dan keluar. (Tarikh Baghdad 8/214-215)

     

    BAB 15 : Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq

    --------------------------------------------------------------------------------


    134. Abu Musa berkata :
    “Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah 2/468 nomor 469)


    135. Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya :
    “Saya larang kamu berzina, mencuri, dan minum khomer namun seandainya kamu bertemu Allah Azza wa Jalla dengan (masih) berbuat ini lebih saya sukai daripada kamu bertemu Allah membawa pemikiran Amru bin Ubaid dan shahabat- shahabatnya.” (Al Ibanah 2/466 nomor 464)


    136. Abul Jauza berkata :
    “Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk yang disebut dalam ayat :
    Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119) (Al Ibanah 2/467 nomor 466-467)“


    137. Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa :
    “Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang musik dan peminum khomr dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’ 56)


    138. Yahya bin Ubaid berkata :
    Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan berkata :
    “Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.” (Al Bida’ 59)


    139. Arthaah bin Al Mundzir berkata :
    “Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasiq lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah).” (Asy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah 132 nomor 87)
    140. Sa’id bin Jubair berkata :
    “Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun mubtadi’.” (Ibid nomor 89)


    141. Ketika dikatakan kepada Malik bin Mighwal bahwa anaknya bermain-main dengan burung, ia berkata:
    “Alangkah baiknya apa yang menyibukkannya dari berteman dengan mubtadi’.” (Ibid 133 nomor 90)


    142. Imam Al Barbahary berkata :
    “Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka bersamanya.” (Syarhus Sunnah 124 nomor 149)


    143. Abu Hatim berkata, saya mendengar Ahmad bin Sinan mengatakan :
    “Seandainya bertetangga denganku pemusik tetap lebih aku sukai daripada ahli bid’ah yang jadi jiranku. Karena pemusik itu mungkin dapat untuk saya larang dan saya hancurkan musiknya (tamburnya) sedang mubtadi’ ia merusak semua manusia, tetangga maupun para pemuda (tanpa disadari, ed.)” (Al Ibanah 2/469 nomor 473)


    144. Imam Asy Syafi’iy --rahimahullah-- berkata :
    “Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa kecuali syirik jauh lebih baik (lebih ringan dosanya, ed.) daripada ia menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (bid’ah).” (Syarhus Sunnah halaman 124, disandarkan kepada Al Baihaqy dalam I’tiqad 158)


    145. Imam Ahmad berkata :
    “Kuburan Ahli Sunnah pelaku dosa besar bagaikan taman sedang kuburnya ahli bid’ah biarpun ahli zuhud adalah jurang (neraka). Orang fasiq di kalangan Ahli Sunnah termasuk wali-wali Allah sedang orang-orang zuhud (ahli ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.” (Thabaqat Hanabilah 1/184)


    1 comment


    Follow this section's article RSS flux
    Follow this section's comments RSS flux