• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim..

    Ingginnya kita menatap hidup kedepan dengan lebih baik..., semoga dengan mengikuti program berikut memberikan kita jalan untuk memperolehnya insya Allah...

    Dapatkan SMS Bimbingan Islam secara gratis...!

     

    Ketik.............: Bim#nama#kota domisili

    Kirim ke.........: 0812 1000 9451 ( Tarif biasa)

    Contoh..........: Bim#Naureen#Jakarta

     

    Insya Allah saudara/iku akan mendapatkan pesan-pesan bimbingan berisikan wawasan Islami secara rutin dan gratis.

    Ini juga berlaku untuk ikhwah yang berada di luar Indo.

    Semoga bermamfaat ..

    Jazak Allahu Khayran..

    Barak Allahu feekum..

    ===============


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim


    ADAB JANAZAH DAN TA’ZIAH

     

    Penyejuk Hati



    • Ingatlah mati, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan tentang mati, yaitu firman Allah SWT:

    اَللهُ يَتـَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَـوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِـهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلمَـوْتَ وَيـُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى أَجَـلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْن

    “Allah memegang jiwa (orang) ketika matiَnya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.

    قُلْ يَتَوَفّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْن

    “Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawaَ) mu akan mematikan kamu kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.

    حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ تَوَفـَّتْهُ رُسُلُنَا وَهـُمْ لاَ يُفـَرِّطـُوْن

    “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kamiَ, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”.


    Pada ayat di atas Allah Ta’ala menjelaskan bahwa yang mematikan adalah Allah SWT pada suatu saat, dan pada saat lain adalah para malaikat dan para utusan (berupa malaikat juga). Maka para ulama mengkompromikan tiga ayat di atas dengan mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan, dan para malaikatlah yang merealisasikan perintah tersebut secara langsung, lalu diserahkan kepada para malaikat lain yang membawanya menuju langit, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang panjang. Malaikat tersebut memberikan kabar tentang orang yang paling dicintai Nya dan orang-orang yang paling dibenci Nya.

    • Ibnul Arabi mengatakan: Dari berbagai hadits dapat disimpulkan bahwa mengumumkan orang yang telah mati terbagi dalam tiga kategori:

    Pertama: Memberitahukan keluarga, teman dan orang-orang yang shaleh, perbuatan ini sunnah.

    Kedua: Mengundang orang berpesta untuk berbangga-bangga, perbuatan ini makruh.

    Ketiga: Mengumumkan kematian dengan meratapi orang yang telah meninggal, perbuatan ini diharamkan.

    • Segera dalam menyelenggarkan janazah dan pemakamannya untuk meringankan beban keluarga dan sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

    أَسْـرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فًخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

    “Segerakanlah jenazah tersebut, sebab jika dia shaleh maka kalian telah mensegerakannya kepada kebaikan, namun jika selain itu, maka kalian telah melepaskan beban keburukan dari diri kalian”.

    • Disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah bahwa termasuk petunjuk Nabi Muhammad SAW tidak menguburkan mayit saat terbit dan terbenamnya matahari, dan tidak pula saat matahari berada di tengah langit, beliau menegaskan bahwa menguburkan mayit pada waktu malam tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat atau demi kemaslahatan yang lebih kuat, hal ini didasarkan pada kesimpulan para ulama setelah mengumpulkan beberapa hadits.

    • Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa diantara tuntunan Rasulullah SAW dalam mengikuti jenazah adalah:
    a. Jika seseorang berjalan, maka hendaklah berada di depan jenazah.
    b. Jika berkendaraan, maka hendaklah berada di belakang jenazah.
    c. Mempercepat jalan dan tidak diperkenankan berjalan dengan pelan.
    d. Tidak mendahului duduk sampai jenazah tersebut diletakkan di atas tanah.

    • Dibolehkan mendahulukan shalat jenazah jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu.

    • Di antara petunjuk Nabi muhammad SAW tentang sifat kubur adalah membuat liang lahad dan memperdalamnya serta memperluas kuburan dari sisi kepala dan kedua kaki mayit.

    • Tidak menangisi mayit dengan suara yang tinggi, meratapinya, menyesali kematiannya, meratapi jasa-jasanya dan merobek-robek kantong baju, berdasarkan sabda Nabi SAW:

    لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَـمَ اْلخُـدُوْدَ وَشَـقَّ الْجُـيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ

    “Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek kantong dan menyeru dengan seruan-seruan jahilyah”.

    • Kesabaran yang bisa mendatangkan pahala (saat ditimpa musibah) adalah kesabaran pada saat pertama kali musibah menimpa, berdasarkan hadits Nabi SAW:

    إِنََّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى

    “Hanya sanya kesabaran tersebut saat pukulan pertama (saat musibah menimpa)”.
    • Menangis di sisi kuburan adalah sikap yang tidak mencerminkan kesabaran, berdasarkan hadits yang menceritakan tentang seorang wanita yang manangis pada sebuah kuburan lalu Rasulullah SAW menegurnya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”.

    • Dianjurkan mengantarkan janazah sampai jenazah tersebut dikuburkan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

    مَنْ شَهِدَ اْلجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلىَّ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهاَ حَتَّى تُدْفَنَ فَلََهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَينِ

    “Barangsiapa yang menghadiri penyelenggaraan jenazah sampai dishalatkan maka dia akan mendapatkan pahala sebesar satu qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya sampai dimakamkan maka dia mendapat dua qiroth, beliau ditanya: Berapakah dua qiroth tersebut? Rasulullah SAW menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar”.

    • Memuji mayit dengan menyebut-nyebut perbuatan dan sifat baiknya dan tidak menyebut keburukannya, berdasarkan sabda Nabi:
    لاَ تَسُـبُّوْا اْلأَمْوَاتَ فَإِنَّـهُمْ قَـدْ أَُفْضُوْا إِلَى مَا قَـدَّمُوْا

    “Janganlah engkau mencaci orang yang telah meninggal sebab mereka telah digiring kepada apa yang telah mereka perbuat”.

    • Memintakan ampun bagi orang yang telah meninggal setelah dikuburkan. Dari Ibnu Umar RA menceritakan bahwa apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan janazah, maka beliau berdiri di atas kuburnya kemudian bersabda:

    اِسْـتَغْفِـرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التّثْـبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ
    “Mintakanlah ampun bagi saudaramu dan berdo’alah baginya agar diteguhkan sebab dia sekarang sedang ditanya”.

    • Takziah tidak memiliki hari dan waktu yang khusus, namun disyari’atkan dari sejak kematian seseorang, baik sebelum shalat atau sesudahnya, sebalum dikuburkan atau setelahnya, dan mensegerakannya lebih baik, pada saat musibah tersebut terasa berat. Dan dibolehkan juga setelah tiga hari dari kematian si mayit karena tidak ada dalil yang membatasinya dengan waktu tertentu.

    • Dianjurkan meringankan beban keluarga orang yang telah meninggal dan membuatkan makanan bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi :

    اِصـْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَـرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَـدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُـمْ
    “Buatlah makanan bagi kelurga Ja’far sebab telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.

    • Dianjurkan menghibur orang yang tertimpa musibah dan menasehati mereka agar tetap bersabar, seperti mengucapkan perkataan:

    إِنَّ ِللهِ مِا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَئْ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

    “Sesungguhnya hanya bagi Allahlah apa yang diambil -Nya dan bagi -Nya pula apa-apa yang diberikan, dan segala sesuatu di sisi -Nya pada batas yang telah ditentukan maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari -Nya”.
    Dan kalimat ini adalah kalimat yang paling baik untuk bertakziah, dan lebih baik dari kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang:

    أَعْظَمَ اللهُ أًَجْـرَكَ وَأَحْسَـنَ عَزَاءَكَ وَغَـفَرَ لِمَيِّـتِكَ

    “Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepadamu dan menghiburmu dengan kebaikan bagimu serta mengampuni dosa-dosa mayitmu”. Kalimat ini adalah pilihan para ulama dan apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW lebih baik dan utama.

    Dan sebagian ulama pernah menghibur seorang bapak karena anaknya yang kecil telah meninggal dunia dan berkata kepadanya: “Sebagian dirimu telah masuk surga maka berusahalah agar sisa yang lain dari dirimu tidak tertinggal (masuk surga).”

    Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa tidak ada kata-kata takziah yang mereka dengar lebih mengena dan singkat dari kata-kata takziah yang diucapkan oleh Syubaib bin Syaibah kepada Al-Mahdi pada saat kematian anaknya (Yaqutah), dia berkata: Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang didapatkan (oleh anakmu) di sisi Allah lebih baik baginya dari dirimu, dan pahala dari Allah lebih baik bagimu dari dirinya, aku berdo’a kepada Allah semoga Dia tidak menjadikanmu sedih dan tidak pula mendatangkan fitnah bagimu, dan Allah memberikan ganjaran karena musibah yang telah menimpamu, menganugrahkan kesabaran bagimu, tidak membuat susah dengan ujian, tidak mencabut nikmat yang telah diberikannya kepadamu, dan (ujian yang) sangat membutuhkan kesabaran adalah kesabaran atas sesuatu yang (diambil) dan tidak ada jalan untuk mengembalikannya.

    • Ibnul Qoyyim rohimhullah menjelaskan bahwa tidak termasuk petunjuk Nabi melaksanakan sholat gaib bagi setiap mayit, beliau menguatkan pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah yang merinci pendapatnya (dalam masalah ini) dengan mengatakan: Jika mayit tersebut telah dishalatkan pada tempat dia meninggal dunia, maka tidak dishalatkan kembali dengan shalat gaib, namun jika tidak maka dia harus dishalatkan dengan shalat gaib”.

    • Bahwa Nabi Muhammad SAW jika dihadapkan dengan seorang yang meninggal dunia untuk meminpin shalat baginya maka beliau bertanya: Apakah dia mempunyai hutang atau tidak?, jika mayit tersebut tidak mempunyai hutang maka beliau shalat untuk mayit tersebut, namun jika mayit tersebut mempunyai hutang maka beliau tidak menshalatkannya dan mengizinkan para shahabatnya untuk menshalatkannya.

    • Ibnul Qoyyim juga menyebutkan perbedaan beberapa riwayat tentang berdiri atau duduknya Nabi untuk suatu jenazah saat jenazah tersebut lewat, dan perbedaan ulama dalam masalah ini. Dan beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa mengerjakannya adalah sunnah dan boleh meninggalkannya.

    • Bersedaqah untuk mayit adalah perbuatan yang disyari’atkan, baik sedeqah tersebut berupa harta atau do’a berdasarkan sabda Nabi:

    إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ انْقَطَـعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ: صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَـفَعُ بِهِ أَوْ َولَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
    “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orang tua nya”.

    • Disyari’atkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, serta berdo’a saat berziarah kubur dengan do’a yang sudah ada dari Rasulullah SAW:

    اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

    (Kesejahteraan bagimu penghuni kubur dari orang-orang mu’minin dan muslimin, dan kami dengan kehendak Allah pasti menyusul kalian, saya mohon kepada Allah bagi kami dan kalian keselamatan”.
    Dan diperbolehkan mengangkat tangan untuk berdo’a dengan tidak menghadap kubur akan tetapi menghadap ka’bah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur baik bagi orang yang lewat atau orang yang masuk.

    • Tidak berjalan di antara kubur orang-orang muslimin dengan memakai sandal. Dari Uqbah bin Amir RA berkata: Rasulullah SAW bersabda:

    ِلأَنْ أَمْشِيَ عَلىَ جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أوْ أخَصِْفَ نَعْليِ بِرِجْليِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَمْشِي عَلىَ قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَاليِ أَوَسْـطَ اْلقُـبُوْرِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْـطَ السُّـوْقِ
    “Dan aku berjalan di atas bara api, pedang atau menjahit sandal saya dengan kaki saya lebih aku cintai daripada melewati kubur seorang muslim dan aku tidak menghiraukan apakah aku memenuhi kebutuhanku di tengah kubur atau di tengah pasar”.

    http://www.islamhouse.com/p/227858
    ---------------


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Hati Yang Terbaik

    Penyejuk Hati

    Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,

    يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

    “Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya 1/70-80).

    Hati yang Terbaik

    Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.

    Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

    “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).

    Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.

    Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan mempelajari agama Allah ta’a a, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan.

    Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan,

    مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين – أَيْ : يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع – فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر

    “Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).

    Sang Alim Rabbani

    Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah ta’ala,

    الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

    ”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).

    Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu  yang benar yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rahimahullah

    كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ    إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَ عِلْمَ الْفِقْهِ قِي الدِّيْنِ

    اَلْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا         وَ مَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَسُ الشَّيَاطِيْنَ

    Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih

    Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)

    Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

    Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه

    “Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).

    Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan

    Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة yaitu seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.

    Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

    “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).

    Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة  orang yang berada di atas jalan keselamatan.

    Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)

    Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.

    Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.

    Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.

    Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka dikarenakan hal tersebut.

    Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub.

    Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di sampng kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.

    Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.

    Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,

    مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً          تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ

    وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ         فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

    Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar

    Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya

    Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda

    Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

    Urgensi Menuntut Ilmu Agama

    Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.

    Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,

    الناس محتاجون إلى العلم قبل الخيز و الماء لأن العلم محتاجون إليه الإنسان في كل ساعة و الخبز و الماء في اليوم مرة أو مرتين

    “Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).

    Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syar’i di saat ini adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.

    Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian merubah penampilan sehinga nampak shalih dijadikan ikon keshalihan dan dijadikan tempat bertanya mengenai permasalahan agama.

    Seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama, tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal al Qur-an begitupula tidak tahu-menahu mengenai hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai pendapatnya dalam permasalahan agama.

    Sungguh benar apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi dalam sebuah haditsnya,

    سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة . قيل وما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه ؛ يتكلم في أمر العامة

    “Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu, seorang pendusta justru dibenarkan dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakekatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” (Ash-Shahihah nomor 1887).

    Begitupula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami bahwa setiap muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)

    “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Ar Ruum: 6-7).

    Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

    أي: أكثر الناس ليس لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وما فيها، فهم حذاق أذكياء في تحصيلها ووجوه مكاسبها، وهم غافلون عما ينفعهم في الدار الآخرة، كأن أحدهم مُغَفّل لا ذهن له ولا فكرة

    “Maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan akhirat dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal dan tidak pula memikirkan (perkara akhiratnya)”

    Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

    >والله لَبَلَغَ من أحدهم بدنياه أنه يقلب الدرهم على ظفره، فيخبرك بوزنه، وما يحسن أن يصلي

    “Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, dimana ia bisa membalikkan dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan shalat”

    Dampak dari kebodohan terhadap agama Allah adalah berkurangnya keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim yang ‘alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridlaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya, dan begitupula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah sehingga ia dapat menjauhinya.

    Berbeda halnya dengan seorang muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia. Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja, ia tidak terlalu mempedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.

    Terkadang, dia beranggapan bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan dan mengukurnya dengan barometer syari’at, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah ta’ala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.

    Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.

    Jika kita menyimak ayat-ayat Al Qur-an, maka kita pun akan menemukan bahwa berbagai bentuk kesyirikan –yang notabene adalah dosa terbesar- dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,

    وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

    “Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb)” (Al A’raaf: 138).

    وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤)أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)

    “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)” (An Naml 54-55).

    Coba anda perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya, nabi Musa dan Luth menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang jahil!

    Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk menuntut ilmu agama. Siapa pun dia, apa pun profesinya wajib menuntut ilmu agama untuk menghadapi dan melepaskan diri dari berbagai fitnah yang akan dia temui di dunia.

    Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau.

    Penulis:Muhammad Nur Ichwan Muslim

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Terkumpulnya Sifat Takut dan Harap

    Penyejuk Hati

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menjelang sakaratul maut (saat menjelang kematian), maka beliau  bertanya kepada pemuda tersebut:

    «كَيْفَ تَجِدُكَ؟». قَالَ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّى أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّى أَخَافُ ذُنُوبِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ  «لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ فِى مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ» رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما.

    “Apa yang kamu rasakan (dalam hatimu) saat ini?”. Dia menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh (saat ini) aku (benar-benar) mengharapkan (rahmat) Allah dan aku (benar-benar) takut akan (siksaan-Nya akibat dari) dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya”[1].

    Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan adanya sifat berharap dan takut kepada Allah secara seimbang dalam diri seorang hamba, sekaligus menunjukkan keutamaan bersangka baik kepada Allah Ta’ala, terutama pada waktu sakit dan saat menjelang kematian[2], sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan dia bersangka baik kepada Allah U”[3].

    Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

    - Dua sifat inilah yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang paling mulia di sisi-Nya, para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,

    {إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

    Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan (perasaan) harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘” (QS al-Anbiyaa’:90).

    - Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Yang dimaksud dengan ar-raja’ (berharap) adalah bahwa jika seorang hamba melakukan kesalahan (dosa atau kurang dalam melaksanakan perintah Allah) maka hendaknya dia bersangka baik kepada-Nya dan berharap agar Dia menghgapuskan (mengampuni) dosanya, demikian pula ketika dia melakukan ketaatan (kepada-Nya) dia berharap agar Allah menerimanya. Adapun orang yang bergelimang dalam kemaksiatan kemudian dia berharap Allah tidak menyiksanya (pada hari kiamat) tanpa ada rasa penyesalan dan (kesadaran untuk) meninggalkan perbuatan maksiat (tanpa melakukan taubat yang benar kepada Allah), maka ini adalah orang yang tertipu (oleh setan)” [4].

    - Imam Hasan al-Bashri berkata, “Orang mukmin bersangka baik kepada Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka dia pun memperbaiki amal perbuatannya, sedangkan orang orang kafir dan munafik bersangka buruk kepada Allah maka mereka pun memperburuk amal perbuatan mereka” [5].

    - Sebagian dari para ulama menjelaskan bahwa dalam kondisi sehat lebih utama menguatkan sifat al-khauf (takut) daripada ar-raja’ (berharap), agar seseorang tidak mudah lalai dan lebih semangat dalam beramal shaleh. Adapun ketika sakit, apalagi saat menjelang kematian, lebih utama menguatkan sifat ar-raja’ (berharap) untuk menumbuhkan persangkaan baik kepada Allah Ta’ala[6].

    Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

    Artikel www.muslim.or.id


    [1] HR at-Tirmidzi (no. 983), Ibnu Majah (no. 4261) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1001 dan 1002), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, al-Mundziri dan syaikh al-Albani dalam “Shahihut targiib wat tarhiib” (no. 3383).

    [2] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301), “Shahihut targib wat tarhib” (3/174) dan “Ahkaamul jana-iz (hal. 11).

    [3] HSR Muslim (no. 2877).

    [4] Kitab “Fathul Baari”.

    [5] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/121).

    [6] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301) dan “Faidhul Qadiir” (2/70).


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Menghamba Kepada-Nya

     

    Penyejuk Hati

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

    Allah memiliki berbagai perintah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya, memiliki takdir berupa musibah dan ‘aib (maksiat) yang ditetapkan atas para hamba-Nya, memiliki nikmat yang diberikan kepada mereka.

    Ketiga hal ini, yaitu perintah, takdir, dan nikmat memiliki ragam penghambaan kepada-Nya yang wajib ditunaikan setiap hamba. Pribadi yang paling dicintai-Nya adalah yang mampu mengenal berbagai bentuk penghambaan dan mampu menunaikan hak-Nya dalam ketiga kondisi tersebut. Pribadi yang paling jauh dari-Nya adalah pribadi yang tidak tahu bagaimana bentuk penghambaan kepada-Nya dalam ketiga kondisi tadi.

     

    • Bentuk penghambaan terkait perintah-Nya adalah dengan melaksanakannya secara ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkait dengan larangan-Nya, yaitu dengan menjauhinya karena takut dan cinta kepada-Nya, karena mengagungkan-Nya.

     

    • Penghambaan kepada-Nya ketika ditimpa musibah adalah dengan bersabar atas musibah tersebut; kemudian ridha, yang tingkatannya lebih tinggi dari bersabar; kemudian bersyukur, yang tingkatannya lebih tinggi dari ridha. Semua itu akan terwujud apabila kecintaan kepada-Nya terhunjam kuat di dalam hati hamba, dan dia tahu bahwa musibah tersebut merupakan pilhan terbaik baginya, bentuk kebaikan dan kelembutan-Nya kepada dirinya, meskipun dia tidak suka terhadap musibah itu.

     

    • Penghambaan kepada-Nya ketika tertimpa kemaksiatan adalah dengan segera bertaubat kepada-Nya, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan memohon ampunan dengan hati yang tercerai berai, karena tahu tidak ada yang mampu menghilangkan ‘aib tersebut melainkan Dia semata, tidak ada yang mampu membendung keburukannya selain diri-Nya. Dirinya tahu, apabila ‘aib tersebut dibiarkan, maka akan menjauhkan dirinya dari berdekat-dekat dengan-Nya, ‘aib tersebut akan melempar dirinya dari pintu-Nya. Dengan demikian, dia melihat ‘aib merupakan bahaya yang tidak dapat disingkap kecuali oleh -Nya, dan dia berkeyakinan bahwa ‘aib (maksiat) tersebut lebih berbahaya daripada penyakit fisik.

     

    Sehingga dia adalah seorang yang meminta perlindungan dengan ridha-Nya dari kemurkaan-Nya, meminta perlindungan dengan pemaafan-Nya dari siksa-Nya, dirinya butuh dan berlindung kepada-Nya.

     

    Dirinya tahu apabila dia terlepas dari perlindungan-Nya, maka kemaksiatan dan aib yang serupa atau bahkan yang lebih buruk akan terjadi. Dirinya tahu tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu maksiat dan bertaubat dari hal itu, kecuali dengan taufik dan ‘inayah-Nya, semua hal itu berada di tangan-Nya, bukan di tangan hamba.

     

    Dengan demikian, dia adalah seorang yang lemah, tidak berdaya untuk mendatangkan taufik bagi dirinya sendiri, tidak mampu mendatangkan ridha Tuan-nya tanpa izin, kehendak, dan ‘inayah-Nya. Dirinya adalah seorang yang butuh kepada-Nya, hina, miskin, menjatuhkan diri di hadapan-Nya, mengetuk pintu-Nya.

    (Dengan adanya maksiat itu dia memandang dirinya sebagai) orang yang paling rendah dan hina, sehingga dia sangat fakir dan butuh kepada-Nya, dia cinta kepada-Nya.

    (Dia tahu) tidak ada kebaikan pada dirinya, tidak pula kebaikan itu berasal darinya, yang ada adalah seluruh kebaikan adalah milik Allah, berada di tangan-Nya, dengan kehendak-Nya, dan berasal dari-Nya. Dia-lah yang mengatur nikmat, menciptakan, dan memberikan kepada dirinya disertai kebencian-Nya apabila dirinya berpaling, lalai dan bermaksiat kepada-Nya.

    Maka, bagian Allah adalah pujian dan sanjungan, sedangkan bagian hamba adalah celaan, kekurangan, dan ‘aib. Dia memonopoli seluruh pujian dan sanjungan, Dia-lah yang menguasakan berbagai kekurangan dan ‘aib kepada hamba (apabila mendurhakai-Nya). Seluruh pujian hanya untuk-Nya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, seluruh keutamaan dan nikmat hanya untuk-Nya.

    Seluruh kebaikan berasal dari-Nya, seluruh keburukan berasal dari hamba. Dia memperlihatkan kasih sayang kepada hamba dengan mencurahkan nikmat kepada mereka, adapun hamba-Nya memperlihatkan kebencian kepada-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya. Dia membimbing hamba-Nya, adapun hamba, dia curang kepada-Nya ketika berinteraksi dengan-Nya.

    • Adapun bentuk penghambaan ketika memperoleh nikmat adalah dengan terlebih dahulu mengetahui dan mengakui pada hakekatnya nikmat itu berasal dari-Nya; kemudian berlindung dengan-Nya, jangan sampai terbersit dalam hati tindakan menisbatkan dan menyandarkan nikmat tersebut kepada selain-Nya, meskipun hal itu merupakan sebab terwujudnya nikmat, karena Dia-lah yang menyebabkan dan memberikan pengaruh pada sebab tersebut. Sehingga dari segala sisi nikmat itu hanya berasal dari-Nya; kemudian memuji-Nya atas nikmat yang diberikan, mencintai-Nya atas nikmat tersebut; kemudian bersyukur atas nikmat tersebut dengan menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.

     

    Bentuk penghambaan yang tertinggi terkait dengan nikmat-Nya adalah memandang banyak nikmat-Nya yang sedikit dan memandang betapa kecil rasa syukur yang dia tunaikan atas nikmat tersebut. Dia meyakini bahwa nikmat tersebut sampai kepada dirinya, dari Tuan-nya, tanpa ada biaya yang dia keluarkan, tanpa ada perantara, dia tahu dirinya tidak berhak atas nikmat tersebut, karena nikmat itu pada hakekatnya hanyalah milik-Nya, bukan milik hamba.

    Maka setiap nikmat bertambah, maka bertambah pulalah ketundukan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, bertambah pula sikap tawadhu’ (rendah hati) dan cinta kepada Sang pemberi nikmat. Sehingga setiap kali Allah memperbarui nikmat baginya, maka akan timbul penghambaan, kecintaan, kekhusyu’an, dan kehinaan terhadap-Nya; setiap kali Allah mencabut nikmat itu darinya, maka setiap kali itu pula timbul rasa ridha; setiap kali dia berbuat dosa, dirinya akan segera bertaubat, hatinya tercerai berai di hadapan-Nya, dan meminta maaf kepada-Nya.

    Itulah hamba yang cerdas, adapun hamba yang dungu adalah yang tidak mampu merealisasikan itu semua.

    Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

    [Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 46-48]

    Gedong Kuning, Yogyakarta, 20 Rabi’uts Tsani 1431.

    Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment


    Follow this section's article RSS flux
    Follow this section's comments RSS flux