• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 16 : Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan Keadaan Seseorang

    --------------------------------------------------------------------------------

    146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu membicarakan seseorang?”
    Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham 1/127)


    147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    [Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :

    Saya bertanya kepada Imam Malik dan Ats Tsauri dan Al Laits bin Sa’d --saya menduganya Al Auza’iy-- tentang seseorang yang tertuduh dalam periwayatan hadits atau tidak hafal. Mereka mengatakan :

    “Terangkan keadaannya itu.”
    Dan sebagian ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sesungguhnya berat bagiku mengatakan bahwa Fulan begitu, Fulan begini.”
    Maka kata beliau : “Jika kamu dan saya diam dalam masalah ini maka kapan orang yang jahil itu tahu mana hadits yang shahih dan mana yang cacat?! Dan seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki berbagai pendapat dan ibadah yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan manusia dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin (Ahli Ilmu).”

    Sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Seseorang berpuasa, shalat, i’tikaf lebih Anda cintai ataukah jika ia menerangkan keadaan ahli bid’ah?”

    Beliau berkata : “Jika ia puasa, shalat, dan i’tikaf maka itu untuk dirinya sendiri sedangkan apabila ia menerangkan keadaan ahli bid’ah maka ini adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan ini lebih utama maka menerangkan perkara ini agar berguna bagi kaum Muslimin dalam agama mereka termasuk salah satu jihad di jalan Allah sebab membersihkan jalan Allah dan agama, manhaj, dan syariat-Nya serta menghalau kejahatan ahli bid’ah dan permusuhan mereka adalah Fardlu Kifayah menurut kesepakatan kaum Muslimin.

    Dan apabila tidak ada orang yang Allah bangkitkan untuk menolak bahaya ahli bid’ah ini benar-benar akan hancurlah agama ini. Dan kerusakannya jauh lebih besar daripada kerusakan akibat penjajahan musuh dari kalangan orang-orang yang kafir yang mesti diperangi. Sebab mereka ini jika berkuasa belum tentu mampu merusak hati manusia yang dijajahnya kecuali pada kesempatan berikutnya sedangkan ahli bid’ah ini jika mereka berkuasa akan merusak hati lebih dahulu.” ] (Majmu’ Fatawa 28/231 dan 232)

     

    BAB 17 : Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat Teman Dekatnya  

    --------------------------------------------------------------------------------


    148. Abu Qilabah berkata :
    [ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang mengucapkan syair :
    Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya
    Karena setiap orang akan meniru temannya ]
    Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.”
    Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”


    149. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)


    150. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)


    151. Dan ia berkata :
    “Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)


    152. Beliau melanjutkan :
    “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)


    153. Abu Darda mengatakan :
    “Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)


    154. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda :
    “Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)


    155. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata :
    “Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” (Al Ibanah 2/479- 480 nomor 511)


    156. Qatadah berkata :
    “Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)


    157. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)


    158. Al Auza’iy berkata :
    “Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)


    159. Al A’masy mengatakan :
    “Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)


    160. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata :
    “Kemarilah --kepada-- temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)


    161. Abdullah bin Mas’ud berkata :
    “Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)


    162. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
    “Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)


    163. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
    “Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”


    164. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
    “Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)


    165. Ia --juga-- mengatakan :
    “Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”


    166. Ibnu Aun mengatakan :
    “Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)


    167. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?”
    Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
    Mereka menjawab : “Qadary.”
    Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah 2/453 nomor 421)
    Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta apa- apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :
    “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118) ]


    168. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
    Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)


    169. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
    “Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah) --dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka-- kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)


    170. Utbah Al Ghulam berkata :
    “Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)


    171. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)


    172. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata :
    “Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)


    173. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”


    174. Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
    “Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)


    175. Ahmad bin Hanbal berkata :
    “Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)


    176. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
    “Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)


    177. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
    “Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)

     

    BAB 18 : Bukanlah Ghibah Menceritakan Keadaan Ahli Bid’ah Menurut Salafus Shalih

    --------------------------------------------------------------------------------


    178. Dari Al A’masy dari Ibrahim ia berkata :
    “Bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah.” (Al Lalikai 1/140 nomor 276)


    179. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan kefasikan orang yang berbuat fasiq terang- terangan bukan perbuatan ghibah.” (Al Lalikai nomor 279-280)


    180. Dan kata beliau selanjutnya :
    “Bukanlah ghibah menceritakan kesalahan (aib) ahli bid’ah.” (Ibid nomor 279-280)


    181. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah maka tidak ada kehormatan baginya.” (Al Lalikai nomor 282)


    182. Dari Sufyan bin Uyainah berkata, Syu’bah pernah berkata :
    “Kemarilah kita (berbuat) ghibah di jalan Allah Azza wa Jalla.” (Al Kifayah 91 dan Syarah Ilal At Tirmidzy 1/349)


    183. Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwiy berkata, Syu’bah mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata :
    “Ini bukanlah hari (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari ghibah, marilah melakukan ghibah tentang para pembohong itu.” (Al Kifayah 91)


    184. Dari Makky bin Ibrahim ia berkata, Syu’bah mendatangi Imran bin Hudair dan berkata : “Hai Imran, marilah kita ghibah sesaat di jalan Allah Azza wa Jalla.”
    Kemudian mereka menyebut-nyebut kejelekan (kesalahan) para perawi hadits. (Al Kifayah 91)


    185. Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, saya mendengar Abu Mushir (ketika) ditanya tentang seorang rawi yang keliru dan kacau serta menambah-nambah dalam meriwayatkan hadits, ia berkata : “Terangkan keadaan orang itu!”
    Maka saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah itu tidak Anda anggap ghibah?”
    Ia menjawab : “Tidak.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349 dan Al Kifayah 91 dan 92)


    186. Ibnul Mubarak berkata : “Al Ma’la bin Hilal adalah rawi hanya saja jika datang satu hadits ia berdusta (berbuat dusta dengan hadits itu).”
    Seorang Sufi berkata : “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat ghibah?”
    Maka beliau menjawab : “Diamlah kau! Jika kami tidak menerangkan hal ini bagaimana mungkin dapat diketahui mana yang haq mana yang bathil?” (Al Kifayah 91 dan 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)


    187. Abdullah bin (Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Turab An Nakhsyabi datang kepada ayahku lalu beliau mulai berkata : “Si Fulan dlaif, si Fulan tsiqah.”
    Berkatalah Abu Turab : “Wahai Syaikh, janganlah mengghibah ulama.”
    Ayahku segera menoleh ke arahnya dan berkata : “Celakalah kamu! Ini adalah nasihat bukan ghibah.” (Al Kifayah 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    188. Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjaniy berkata, saya mengatakan kepada Imam Ahmad bahwa sangat berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan dlaif, si Fulan pendusta.
    Maka beliau berkata : “Jika kamu diam dalam perkara ini dan saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang awam mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)


    189. Dari Syaudzab (katanya) dari Katsir Abu Sahl ia berkata :
    “Dikatakan bahwa ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai kehormatan.” (Al Lalikai 1/140 nomor 281)


    190. Dari Al Hasan bin Aly Al Iskafy ia berkata, saya bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang pengertian ghibah, beliau menerangkan : “Ghibah itu ialah jika kamu tidak menolak aib seseorang.”
    Saya bertanya lagi, bagaimana dengan seorang yang mengatakan : “Si Fulan tidak mendengar hadits dari seseorang dan si Fulan keliru?”
    Beliau menjawab : “Seandainya hal ini ditinggalkan manusia maka tidak akan pernah diketahui shahih atau tidaknya suatu hadits.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    191. Ismail Al Khathaby berkata, Abdullah bin (Imam) Ahmad menceritakan kepada kami bahwa ia berkata kepada ayahandanya :
    “Apa yang Anda katakan mengenai para rawi yang mendatangi seorang syaikh yang barangkali ia seorang Murjiah atau Syi’iy atau dalam diri syaikh itu terdapat perkara yang menyelisihi As Sunnah apakah ada kelonggaran buat saya untuk diam dalam hal ini ataukah saya harus memperingatkan manusia agar berhati-hati dari syaikh ini?”
    Ayahku menjawab : “Jika ia mengajak orang kepada bid’ah sedangkan dia adalah imam ahli bid’ah maka benar kamu harus memperingatkan manusia dari syaikh ini.” (Al Kifayah 93 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 19 : Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al Asy’ari.”


    Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini. Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya siapa laki-laki tadi?”
    Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu) Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”
    Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)


    Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil) yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.


    Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”

     

    BAB 20 : Hukuman Terhadap Ahli Bid’ah

    --------------------------------------------------------------------------------

    193. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan :
    “Dan wajib dikenakan hukuman terhadap orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ahli bid’ah, membela dan memuji mereka atau menyanjung dan mengagungkan tulisan-tulisan mereka atau mengemukakan alasan bahwa ucapan (bid’ah) ini tidak dapat difahami apa maksudnya? Atau mempertanyakan benarkah mereka yang menulis kitab ini? Dan alasan-alasan yang seperti ini yang sesungguhnya tidak akan diucapkan kecuali oleh orang yang jahil atau munafiq.

    Bahkan wajib pula dihukum setiap orang yang sudah mengetahui keadaan mereka tetapi tidak membantu menegakkan hukuman itu terhadap mereka (ahli bid’ah) itu maka sesungguhnya menegakkan hukuman terhadap orang-orang yang seperti ini merupakan kewajiban yang sangat agung. Karena mereka merusak akal dan agama seluruh makhluk dari kalangan masyayikh, para ulama, raja-raja dan para pemimpin bahkan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi ini dan menghalangi manusia dari jalan Allah.” (Majmu’ Fatawa 2/132)


    194. Syaikh Bakr Abu Zaid mengomentari ucapan beliau dengan mengatakan :
    “Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan memberinya minum dari mata air Jannah Salsabil (Aamiin). Sesungguhnya ucapan beliau ini benar-benar berada pada puncak ketelitian dan urgensi (kepentingan) yang sangat tinggi dan ini meskipun ditujukan khusus untuk menghadapi orang-orang sesat dari kalangan Al Ittihadiyyah (paham manunggaling kawulo gusti) namun ternyata berlaku juga terhadap seluruh firqah sempalan (dahulu dan sekarang).

    Maka siapa pun yang mendukung tindakan ahli bid’ah, menghormatinya dan memuliakan karya-karya mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah kaum Muslimin dan membanggakannya serta ikut menyiarkan bid’ah dan kesesatan yang ada di dalamnya dan tidak membongkar cacat dan (tidak pula menjelaskan) penyimpangan aqidah yang terdapat di dalamnya (jika ia melakukan hal ini) berarti ia meremehkan perintah ini. Wajib dihentikan kejahatannya itu agar tidak menimpa (menular) kepada kaum Muslimin.


    Dan kita pun telah diuji pada masa ini dengan (didatangkannya) orang-orang yang berjalan di atas metode ini yakni mereka memuliakan ahli bid’ah (mubtadi’) menyebarkan ucapan-ucapan mereka tanpa memberi peringatan atas kekeliruan para mubtadi’ tersebut juga kesesatan jalan yang dilaluinya.

    (Bahkan di antara mereka ada yang menganggap ahli bid’ah dan pekerjaan-pekerjaan mereka mengandung kebaikan dan layak untuk dibaca dan diperhatikan, pent.). Oleh sebab itu peringatkanlah untuk menjauhi para pimpinan kebodohan pelaku bid’ah (mubtadi’) ini. Dan kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan orang-orangnya.” (Hijrul Mubtadi’ 48-49)


    195. Rafi’ bin Asyras berkata :
    “Hukuman orang fasiq yang (juga) mubtadi’ adalah jangan menyebut kebaikan- kebaikannya.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/353)


    196. Asy Syathibi berkata :
    “Maka sesungguhnya golongan yang selamat --Ahlussunnah-- mereka diperintah untuk menunjukkan permusuhan terhadap ahli bid’ah, menjauhi mereka, dan menjatuhkan sanksi terhadap orang-orang yang bergabung dengan ahli bid’ah dengan hukuman mati atau yang lebih rendah dari itu. Sesungguhnya para ulama telah memperingatkan ummat agar jangan berteman dan duduk dengan mereka karena hal itu merupakan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian.

    Akan tetapi tindakan demikian hanya berlaku terhadap mereka yang menjadi sebab seseorang keluar dari Al Jamaah dengan bid’ahnya dan tidak mengikuti jalan kaum Mukminin bukan karena permusuhan secara mutlak (umum). Bagaimana tidak? Kita diperintah untuk memusuhi mereka dan sebaliknya mereka diperintah untuk loyal (setia dan tunduk) kepada kita dan kembali kepada Al Jamaah?!” (Al I’tisham 158-159)


    197. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Adapun dai yang mengajak ummat menuju bid’ah sangat pantas (berhak) mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin dan sanksi itu dapat berupa hukuman bunuh (diperangi) dan terkadang dapat pula dengan selain itu.

    Dan apabila dengan pertimbangan tertentu seorang mubtadi’ belum pantas diberi sanksi atau tidak mungkin mendapat hukuman maka --mau tidak mau-- haruslah dijelaskan kepada ummat kebida’ahannya dan mengingatkan mereka agar menjauhinya karena hal ini termasuk dalam perbuatan amar ma’ruf nahy munkar yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa 35/414)

     

    BAB 21 : Titik (Tujuan) Akhir Ahli Bid’ah Dan Sifat-Sifat Mereka

    --------------------------------------------------------------------------------


    198. Dari Abu Qilabah ia berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat bid’ah melainkan (suatu saat) ia akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkan darah).” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/58 nomor 99)


    199. Ayyub menamakan para mubtadi’ itu (sebagai) Khawarij dan ia menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Khawarij itu nama dan julukan mereka berbeda namun mereka bersepakat dalam menghalalkan darah kaum Muslimin. (Al I’tisham 1/113)


    200. Abu Qilabah berkata :
    “Sesungguhnya ahlul ahwa itu adalah orang-orang yang sesat dan saya tidak menganggap ada tempat kembali mereka selain neraka.” (Al I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/158)


    201. Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas : “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami (berjalan) di atas hawa nafsu kalian (para shahabat).”
    Ibnu Abbas menukas : “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu ini. Dan ia dinamakan hawa karena ia menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka.” (Asy Syarhu wal Ibanah 123 nomor 62)


    202. Pendapat tersebut juga berasal dari Al Hasan Al Bashry, Mujahid, Abul Aliyah, dan Asy Sya’bi. (Asy Syarhu 124 nomor 63 dan Ad Darimy 1/120 nomor 395)


    203. Ibnu Sirin berpendapat bahwa orang yang paling segera murtad adalah ahlul ahwa (mubtadi’). (Al I’tisham 1/113)


    204. Dari Abi Ghalib dari Umamah, ia berkata mengenai ayat :
    “Lalu mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar)” (QS. Ali Imran : 7)
    Bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang Khawarij dan para ahli bid’ah. (Al Ibanah 2/606 nomor 783)


    205. Dari Ma’mar dari Qatadah ia menerangkan maksud ayat :
    “Adapun orang-orang yang di hatinya terdapat zaigh (kecenderungan kepada kesesatan)”
    Ia berkata : “Jika yang dimaksud ayat ini bukan Khawarij dan kaum Sabaiyyah, saya tidak tahu lagi siapa mereka. Demi Allah, seandainya orang Khawarij itu di atas hidayah tentulah mereka akan bersatu namun ternyata mereka di atas kesesatan maka mereka bercerai-berai. Begitupula segala perkara yang bukan berasal dari sisi Allah tentu akan terdapat di dalamnya perselisihan yang sangat banyak. Demi Allah sungguh Haruriyyah itu benar-benar bid’ah dan Sabaiyyah juga benar-benar bid’ah yang tidak pernah ada dalam satu kitab pun dan tidak pula disunnahkan oleh seorang Nabi pun.”


    Ibnu Baththah Al Ukbary berkata : “Al Haruriyyah adalah Khawarij dan As Sabaiyyah adalah kaum Rafidliy pengikut Abdullah bin Saba’ yang dibakar oleh Aly bin Abi Thalib dan hanya tertinggal sebagian di antara mereka.” (Al Ibanah 2/607 nomor 785)


    206. Dari Ayyub dari Abu Qilabah ia berkata :
    [ Sesungguhnya ahlil ahwa adalah orang-orang yang sesat. Saya menganggap tidak ada tempat kembali mereka selain neraka. Cobalah kalian uji mereka maka tidak ada satu pun dari mereka yang meyakini suatu ucapan atau berpendapat dengan satu pendapat lalu urusan mereka berakhir kecuali dengan pedang (menumpahkan darah). Dan sesungguhnya karakter kemunafikan itu beraneka-ragam modelnya. Kemudian ia membaca :
    “Di antara mereka ada yang mengikat janji kepada Allah.” (QS. At Taubah : 75)
    “Di antara mereka ada yang mencelamu dalam (pembagian) zakat.” (QS. At Taubah : 58)
    “Dan di antara mereka ada yang menyakiti Nabi.” (QS. At Taubah : 61)
    Ucapan mereka berbeda-beda namun mereka bersatu dalam keraguan, kedustaan, dan pedang (penumpahan darah kaum Muslimin). Dan saya menganggap bahwa tempat kembali mereka tidak lain adalah neraka. ] (Ad Darimy 1/58 nomor 100)
    Kemudian Ayyub mengatakan : “Abu Qilabah adalah --demi Allah-- salah seorang dari para fuqaha’ yang berakal (cerdas).”


    207. Sa’id bin Anbasah berkata :
    “Tidak akan ada seseorang yang mengerjakan suatu kebid’ahan kecuali dengki hatinya terhadap kaum Muslimin dan tercabut amanah dari dirinya.” (Ibanah Ash Shughra 135 nomor 98-100)


    208. Al Auza’iy berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan hilang sikap wara’-nya.” (Ibid)


    209. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan keimanannya akan berlepas diri darinya.” (Ibid)


    210. Imam Al Barbahary berkata (Syarhus Sunnah halaman 122) :
    “Dan ketahuilah sesungguhnya hawa nafsu itu semuanya rendah dan selalu mengajak kepada pedang (penumpahan darah).”


    Saya (Jamal) berkata : “Engkau lihat firqah-firqah dan hizb (golongan) yang ada dewasa ini seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah, Al Jabhah (di Aljazair), Tandhimul Jihad, Firqah At Turabi, Hizb Mas’udi dan lain-lain di manapun juga. Seolah-olah mereka berselisih sesama mereka namun (ternyata) mereka bersepakat dalam (urusan) pedang yaitu menghalalkan darah kaum Muslimin dan memusuhi Ahlus Sunnah.”


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 22 : Adakah Taubat Bagi Ahli Bid’ah?

    --------------------------------------------------------------------------------

    211. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
    “Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari ahli bid’ah.” (Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 1620)


    212. Dari Abu Amru Asy Syaibani ia berkata :
    “Selalu dikatakan bahwa Allah enggan (menolak) memberi taubat kepada ahli bid’ah dan ia tidak berpindah kecuali menuju yang lebih jelek lagi.” (Ibnu Wadldlah 61 dan 62)


    213. Dari Ibnu Syaudzab ia berkata, saya mendengar Abdullah bin Al Qasim berkata :
    “Tidaklah seorang hamba yang berada di atas hawa nafsu lalu ia meninggalkannya melainkan ia berpindah kepada yang lebih jelek lagi.”

    Kemudian saya menyebutkan hadits ini (hadits pada poin 211) kepada sebagian shahabat kami lalu katanya :
    [ Pembenarannya terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mengatakan :
    Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya panah (menembus keluar) dari sasarannya dan tidak akan kembali sampai mati.” ] (Ibnu Wudldlah : 61-62)


    214. Dari Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata, ada seseorang yang berpendapat dengan satu pendapat lalu kembali dan meninggalkannya maka saya mendatangi Muhammad (bin Sirin) dengan gembira untuk menyampaikan berita ini kepada beliau dan mengatakan : “Bagaimana perasaanmu bahwa si Fulan telah meninggalkan pemikirannya yang selama ini dianutnya?”

    Beliau menjawab : “Perhatikanlah ke mana dia berpindah, sesungguhnya penutup hadits (tentang Khawarij, ed.) ini lebih keras lagi terhadap mereka dibanding awalnya yaitu mereka lepas dari agama Islam dan tidak akan kembali kepadanya.” (Ibid)


    215. Dari Mu’awiyah bin Shalih (ia mengatakan) bahwa Al Hasan bin Abil Hasan Al Bashry berkata :
    “Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi enggan memberi izin ahli bid’ah untuk bertaubat.” (Al Lalikai 1/141 nomor 285)


    216. Seseorang berkata kepada Ayyub : “Hai Abu Bakr, sesungguhnya Amru bin Ubaid sudah kembali meninggalkan pemikirannya.”
    Beliau berkata : “Sesungguhnya ia tidak akan kembali.”
    Orang itu berkata lagi : “Benar. Sungguh ia telah kembali!”
    Ayyub berkata pula :

    [ Sungguh dia tidak akan kembali --diulanginya tiga kali--. Ketahuilah bahwa dia tidak akan kembali. Tidakkah kamu mendengar sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (ketika beliau berkata) :
    “Mereka lepas dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya (sasarannya) yang kemudian tidak akan kembali sampai mati.” ] (Al Lalikai nomor 286)


    217. Abdullah bin Al Mubarak berkata :
    “Wajah ahli bid’ah itu diliputi kegelapan (tidak bercahaya) meskipun ia meminyakinya sehari tiga kali.” (Al Lalikai nomor 284)


    218. Dari Ibnul Mubarak dari Al Auza’i dari Atha’ Al Khurasani sesungguhnya ia berkata :
    “Hampir-hampir Allah itu tidak mengizinkan ahli bid’ah itu taubat.” (Al Lalikai 283)


    219. Sufyan Ats Tsaury berkata :
    “Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada kemaksiatan karena (pelaku) maksiat dapat (diharapkan) bertaubat sedangkan (pelaku) bid’ah tidak dapat (diharapkan) untuk bertaubat.” (Majmu’ Fatawa 11/372)

     

    BAB 23 : Sebab-Sebab Jatuhnya Seseorang Kepada Bid’ah Dan Hawa Nafsu

    --------------------------------------------------------------------------------


    220. Ibnu Baththah Al Ukbary berkata :
    “Saya pernah melihat sekelompok manusia yang dahulunya melaknat dan mencaci ahli bid’ah lalu mereka duduk bersama ahli bid’ah untuk mengingkari dan membantah mereka dan terus menerus orang-orang itu bermudah-mudah sedangkan tipu daya itu sangat halus (tersamar) dan kekafiran sangat lembut (merambat) dan akhirnya tercurah kepada mereka.” (Al Ibanah 2/470)


    221. Muhammad bin Al Ala’ Abu Bakr menceritakan kepada kami dari Mughirah ia berkata, Muhammad bin As Saib keluar --dan ia bukan ahli bid’ah-- ia berkata :
    “Pergilah bersama kami sampai kita mendengar ucapan mereka (ahli bid’ah)”, maka ia tidak kembali sampai akhirnya ia menerima kebid’ahan itu dan hatinya terikat dengan ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/470 nomor 476-477 dan Tahdzibut Tahdzib 8/113)


    222. Al Ashma’i berkata :
    “Mu’tamir menceritakan kepada kami dari Utsman Al Buty, ia berkata bahwa Imran bin Haththan adalah seorang Sunniy lalu datang pelayan dari penduduk Amman seperti bighal (seorang mubtadi’, ed.) maka ia membalikkan hatinya di tempat duduknya (berubah saat itu juga, ed.).” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 36)


    223. Abu Hatim berkata, diceritakan kepadaku dari Abu Bakr bin Ayyasy, ia berkata, Mughirah mengatakan bahwa Muhammad bin As Saib berkata :
    “Marilah kita menuju ke tempat orang Murjiah agar mendengar ucapan mereka.”
    (Kata Mughirah) akhirnya ia tidak kembali sampai hatinya terpaut dengan ucapan itu. (Al Ibanah 2/462-471 nomor 449 dan 480)

     

    BAB 24 : Pedoman Agar Tidak Jatuh Kepada Kebid’ahan Dan Hawa Nafsu  

    --------------------------------------------------------------------------------


    224. Ahmad bin Abil Hawary berkata, Abdullah bin As Sariy --seorang yang khusyu’ dan belum pernah saya dapati orang yang lebih khusyu’ daripadanya-- ia berkata :
    “Bagi kami bukanlah dikatakan Sunnah jika kamu membantah ahli bid’ah namun Sunnah itu adalah bahwa kamu tidak mengajak ahli bid’ah berbincang-bincang.” (Al Ibanah 2/471 nomor 478 dan 479)


    225. Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata :
    “Tidak ada bantahanku terhadap mereka yang lebih keras daripada diamku (tidak mengajak mereka berbicara, ed.).” (Ibid)


    226. Abu Abdillah bin Baththah berkata :
    [ Allah, Allah, wahai kaum Muslimin, janganlah ada seorang pun dari kalian yang terbawa oleh sikap baik sangka terhadap dirinya sendiri atau oleh pengetahuannya tentang madzhab yang benar untuk (mencoba) masuk ke dalam bahaya yang mengancam agamanya (seandainya) ia duduk dengan ahli bid’ah lalu ia berkata :
    “Saya akan menemui mereka untuk mematahkan hujjah mereka atau saya akan membuat mereka keluar dari madzhab mereka yang rusak ini.”
    Sebab sesungguhnya ahli bid’ah itu lebih berbahaya dari dajjal dan ucapan mereka lebih melekat dari penyakit kudis bahkan lebih membakar dari lidah api. ] (Ibid)


    227. Imam Ahmad berkata :
    “Yang selalu kami dengar dan kami dapatkan dari uraian Ahli Ilmu bahwa mereka sangat membenci perbincangan dan duduk dengan ahli zaigh dan sesungguhnya perkara penting dalam agama ini adalah sikap menerima (tunduk) dan kembali kepada apa yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah bukan duduk-duduk dengan ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah argumentasi mereka karena sesungguhnya mereka tentu akan mengelabui kamu sedangkan mereka tidak akan kembali (kepada yang haq). Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah dengan meninggallkan majelis mereka dan tidak membahas bid’ah dan kesesatan mereka.” (Al Ibanah 2/472 nomor 481)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 25 : Membantah Ahli Bid’ah Harus Dengan As Sunnah

    --------------------------------------------------------------------------------


    228. Umar bin Al Khaththab berkata :
    “Akan datang orang-orang yang akan mendebatmu dengan ayat-ayat mutasyabihat dari Al Quran maka bantahlah mereka dengan As Sunnah karena sesungguhnya Ahlus Sunnah paling tahu kandungan Kitab Allah Azza wa Jalla.” (Al Hujjah 1/313, Asy Syari’ah 58, Ad Darimy 1/62 nomor 119, Al Lalikai 1/123 nomor 202, Al Ibanah 1/250 nomor 83 dan 84, Al Baghawy 1/202)


    229. Ini juga dikatakan Aly bin Abi Thalib. (Al Lalikai 1/123 nomor 203 dan Al Hujjah 1/313)


    230. Ibnu Rajab Al Hanbaly menukil keterangan sebagian ulama Salafus Shalih bahwa dikatakan kepadanya : “Bolehkah seseorang yang mempunyai ilmu tentang As Sunnah membantah ahli bid’ah?”
    Ia menjawab : “Tidak! Tapi hendaknya ia menerangkan As Sunnah itu kalau diterima itu lebih baik baginya dan jika tidak maka (sebaiknya) ia diam saja (jangan berdebat, ed.).” (Bayanu Fadlli Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf halaman 36)


    231. Ibnu Baththah Al Akbary berkata :
    “Hendaknya bekalmu untuk membimbing dan menghentikan bid’ah bersumber dari Al Quran dan As Sunnah serta Atsar yang shahih yang datang dari ulama ummat ini baik dari shahabat maupun tabi’in.” (Al Ibanah 2/541)

     

    BAB 26 : Shifat Al Ghuraba’

    --------------------------------------------------------------------------------

    232. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Ikutilah jalan-jalan petunjuk! Dan tidak akan merugikanmu meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilah jalan-jalan kesesatan! Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di dalamnya.” (Al I’tisham 1/112)


    233. Al Hasan Al Bashry berkata :
    “Amal yang sedikit dalam Sunnah lebih baik daripada amalan yang banyak di dalam bid’ah.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)


    234. Beliau juga berkata :
    “Wahai Ahlus Sunnah, berteman baiklah kalian! --Semoga Allah merahmati kamu-- sesunggguhnya kalian adalah kelompok manusia yang sangat sedikit jumlahnya.” (Al Lalikai 1/57 nomor 19)


    235. Dari Yunus bin Ubaid ia berkata :
    “Seorang yang disampaikan kepadanya As Sunnah kemudian menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing namun lebih asing lagi adalah yang menyampaikannya. (Beruntunglah orang-orang yang asing, pent.).” (Al Lalikai 1/58 nomor 21 dan Al Hilyah Abu Nu’aim 3/12)


    236. Abu Idris Al Khulaniy berkata :
    “Saya mendengar bahwa dalam Islam ini terdapat tali tempat bergantung manusia dan tali itu akan terurai seutas demi seutas tali maka yang pertama terlepas dari tali itu adalah sifat halim (lemah-lembut) dan yang paling akhir adalah shalat.” (Ibnu Wudldlah 73)


    237. Dari Ibnul Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri ia berkata :
    “Berwasiatlah kamu terhadap Ahlis Sunnah dengan kebaikan karena sesungguhnya mereka adalah Ghuraba’ (orang-orang yang asing).” (Al Lalikai 1/644 nomor 49-50)


    238. Dari Yusuf bin Asbath ia berkata, saya mendengar Sufyan Ats Tsauri berkata :
    “Jika kamu mendengar berita bahwa di belahan bumi timur ada seorang Ahli Sunnah dan di barat ada seorang Ahli Sunnah, kirimkanlah salam buat keduanya dan doakan kebaikan untuk mereka! Sungguh alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.” (Ibid)

     

    BAB 27 : Menilai Seseorang Dengan Kecintaan dan Kebenciannya Terhadap Ahlus Sunnah
    --------------------------------------------------------------------------------

    239. Dari Ibnul Madiniy ia berkata bahwa saya mendengar Abdurrahman bin Mahdi berkata :
    “Jika kamu lihat seseorang mencintai Ibnu Aun di kalangan penduduk Bashrah maka percayailah dia. Dan di kalangan penduduk Kufah, Malik bin Mighwal dan Zaidah bin Qudamah maka jika kamu lihat orang mencintai mereka harapkanlah kebaikannya. Demikian pula jika kamu lihat orang mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al  Fazary di Syam serta Malik bin Anas di Hijaz.” (Al Lalikai 1/62 no 41)


    240. Ibnu Mahdy berkata :
    “Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al Fazary harapkanlah kebaikannya.” (Al Jarh wa Ta’dil 1/217)


    241. Ia juga berkata :
    “Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan Abu Ishaq Al Fazary maka ia adalah Ahlus Sunnah.” (Ibid)


    242. Dari Ahmad bin Yunus dari Ats Tsaury ia berkata :
    “Ujilah sikap penduduk Mosul terhadap Al Mu’afy bin Imran.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)


    243. Imam Al Barbahary berkata :
    “Menguji keadaan seseorang di dalam Islam adalah bid’ah adapun saat ini maka menguji dilakukan dengan Sunnah.” (Syarhus Sunnah 126 nomor 152 dan Thabaqat Hanabilah 2/38)


    244. Dari Ahmad bin Zuhair ia berkata, saya mendengar Ahmad bin Abdullah bin Yunus berkata :
    “Ujilah penduduk Mosul dengan Al Mu’afy bin Imran. Jika mereka mencintainya maka mereka adalah Ahli Sunnah dan sebaliknya apabila mereka membencinya maka mereka adalah ahli bid’ah sebagaimana penduduk Kufah juga diuji dengan (sikap mereka terhadap) Yahya.” (Al Lalikai 1/66 nomor 58)


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    BAB 28 : Beberapa Faedah, Nasihat, dan Adab

    --------------------------------------------------------------------------------

    245. Yahya bin Mu’adz berkata :
    [ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh mengatakan :
    “Ingatlah saya dalam doamu ... .”


    Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling mengenal jarang ada yang berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan persahabatan. Ini adalah sesuatu yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu mengharapkannya. Saya tidak tahu ada seseorang yang murni bersahabat dengannya saudaranya senasab (keturunan) juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah keinginan untuk mencari persahabatan yang murni dan tulus. Jadilah orang yang asing dan bergaullah sebagaimana bergaulnya Al Ghuraba’. Dan berhati-hatilah kamu (jangan) tertipu oleh orang yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena sesungguhnya seiring perjalanan waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang ditunjukkannya.


    Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
    “Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah maka jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari’at maka bertemanlah dengannya.”


    Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu membuatnya marah maka ia akan menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab hilangnya persahabatan yang murni adalah kecintaan terhadap dunia yang menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih, perhatian mereka senantiasa hanya tertuju kepada akhirat maka mereka pun memurnikan niat dalam mencari saudara dan mereka bergaul dengan sesamanya karena agama bukan karena dunia. Maka jika kamu lihat berkaitan dengan masalah agama maka ujilah ketika ia marah. ] (Adabus Syari’ah 3/581)


    246. Al Qadhi Abu Ya’la berkata :
    [ Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena pelakunya dapat dikatakan sebagai orang yang bodoh.


    Syaikh Abdul Qadir berkata : “Bersiul dan bertepuk tangan adalah dua hal yang dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar dari posisi duduknya sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina teman duduk kecuali karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet karena ini adalah perbuatan yang rendah.

    Juga dibenci tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu berjalan dengan sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru sehingga menabrak orang lain dan menyusahkan diri sendiri.

    Jangan pula berjalan selangkah demi selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Dan termasuk pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap dan menyanyikan lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah Subhanahu wata’ala dan menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa amal) yang juga merupakan perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di tengah-tengah manusia dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya tertutup.” ] (Adabus Syari’ah 3/375)


    247. Al Fudlail berkata :
    “Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman maka saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri (dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan mereka tidak menyembunyikan kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan hak teman duduknya juga tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka sebab itu (ketika) saya perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu iri (dengki) dengan kenikmatan orang lain.

    Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha Suci sangat cemburu kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan sesuatu (selain Allah) maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangi- Nya (jinak kepada Allah).


    Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zhahir.


    Jangan bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat dan itupun sejenak saja kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan kecuali Dia.” (Al I’tisham 1/158)


    248. Ia juga berkata :
    “Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka berhati-hatilah kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu sedangkan kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka merupakan keharusan.

    Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai (suka bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al Bayan) tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan berwibawa.

    Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu harus.” (Al Hujjah 1/304)


    249. Asy Syathibi berkata :
    “Asal kerusakan ini --yaitu mencerca Salafus Shalih-- datang dari Khawarij merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan mengkafirkan shahabat -- radliyallahu anhum ajmaiin-- dan perbuatan yang seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” (Al I’tisham 1/158)


    250. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu sebagai panutan lalu mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan memusuhi di atas jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula ada yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan (pedoman) untuk bersikap loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya dan apa yang telah disepakati oleh ummat (shahabat).

    Sebab hal itu tidak lain merupakan perbuatan ahli bid’ah yang senang mengangkat orang tertentu dan melontarkan suatu perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat. Mereka menyerahkan loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka nisbatkan (sandarkan) diri mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi membela pendapat dan penisbatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa 20/164)


    251. Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan tanpa diikuti (diketahui) oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan kesesatan.” (Ad Darimy 1/103 nomor 307)


    252. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya karena perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang lebih kuat lalu ia kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat kepada apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap yang demikian akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau mengikuti siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah jelas baginya ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas ketaatan kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun.” (Fatawa Al Kubra 5/96)


    253. Umar bin Al Khaththab berkata :
    “Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.” (Adabus Syariah 3/588)


    254. Ibnu Mas’ud berkata :
    “Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 38)


    255. Ibnul Atsir berkata :
    “Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid’ah terus berlangsung seiring perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan kembali kepada yang haq.” (An Nihayah 5/245)


    256. Ibnu Umar berkata :
    “Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang menurutku lebih utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka berselisih ini.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)


    Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :
    “Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam ini yang menurutku lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap fanatik golongan yang sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan pemuda dan sebagian para dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah mengotori pikiran mereka dan menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih.”


    257. Ayyub bin Al Qariyyah berkata :
    “Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga yaitu ulama, saudara (sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang meremehkan ulama berarti ia merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan penguasa berarti ia merusak dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan meremehkan siapapun, adapun yang disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang menjadikan agama itu sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah wataknya sedangkan logika yang baik adalah pembawaannya.” (Jami’ Bayanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 231)


    258. Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :
    [ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu penuhi adalah jika kamu mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk seluruhnya kemudian duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan tanganmu dan jangan memandangnya dengan remeh dan jangan berkata :
    “Si Fulan mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat Anda!”


    Dan jangan menarik pakaiannya, jangan mendesak dalam bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang masih basah yang akan selalu jatuh kepadamu. ] (Ibid)


    259. Imam An Nawawi berkata :
    “Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan shahabatnya yang menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah disampaikannya sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam] terdapat pelajaran tentang bolehnya meninggalkan ahli bid’ah dan kefasikan serta orang-orang yang menolak As Sunnah padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya selama-lamanya.” (Syarh Shahih Muslim 13/106)


    260. Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : “Si Fulan membencimu!”
    Ia menjawab : “Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh darinya bukanlah sesuatu yang menakutkan.” (Adabus Syari’ah 3/575)


    261. Al Ashma’i berkata, Abu Amru bin Al Ala’ berkata kepadaku :
    “Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang mulia jika kamu menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya, serta waspadalah terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga terhadap orang yang bodoh jika kamu bergurau dengannya.

    Dan berhati-hatilah kamu terhadap orang yang jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah termasuk adab (akhlak yang baik, ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau kamu bertanya pada orang yang tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan orang yang tidak mau diam memperhatikan (ucapan)mu.” (Ibid)


    262. Umar bin Abdul Aziz berkata :
    “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)


    Ibnu Rajab berkata :
    “Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak terfitnah dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak ucapannya, debatnya ataupun bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang paling berilmu dibanding orang yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya benar-benar kebodohan yang murni, coba perhatikan para pembesar shahabat dan ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar, Aly, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu Abbas.

    Begitu pula dengan para tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para shahabat sedangkan para shahabat lebih alim dibandingkan mereka juga para tabi’ut tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para tabi’in namun para tabi’in lebih alim (berilmu) dari mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya periwayatan apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat mengenal yang haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu menerangkan yang haq itu dengan ungkapan- ungkapan yang ringkas dan tepat menurut tujuannya.” (Ibid)


    Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz, Al Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Ucapan mereka lebih ringkas dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri sendiri sebagai dai padahal mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan berbagai ungkapan yang panjang lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada mereka.


    263. Ibnu Rajab berkata :
    [ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas pembahasan dan perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak demikian keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian manusia yang meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang belakangan menunjukkan mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang terdahulu.

    [Seperti ungkapan mereka : “Perkataan Khalaf (orang-orang yang datang belakangan itu lebih berhikmah (ahkam), berilmu (a’lam) dan lebih selamat (aslam). Tidakkah mereka tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang di bawah (tahta) ats tsara?? Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf, pent.] ] (Ibid)


    264. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
    “Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran.” (Al Fatawa 4/149)

     

    BAB 29 : Syair-Syair

    --------------------------------------------------------------------------------


    265. Ibnu Baththah menyebutkan bait-bait ini, Asy Sya’bi ia berkata, Aly bin Abi Thalib berkata kepada seorang laki-laki yang berteman dengan seseorang yang ia tidak suka laki-laki itu bergaul dengannya :


    Janganlah berteman dengan saudara yang bodoh, hati-hatilah kamu dan jauhilah dia Betapa banyak orang yang bodoh menjahili orang yang sabar ketika dianggap saudara
    Seseorang itu dinilai dengan temannya ketika ia berjalan bersamanya Dan sesuatu dengan yang lainnya mengandung kias dan keserupaan Juga ruh dengan ruh yang lain sebagai bukti ketika saling bertemu Orang yang cerdas jika ia melihat apa yang menakutkannya akan berjaga-jaga Orang yang lalai akan tertipu seiring dengan peredaran masa ia akan tertimpa petaka Siapa yang memahami perjalanan waktu tidak akan meremehkan nikmat yang ada padanya

    Dan ia berkata --juga-- :
    Jika kamu tidak sakit berteman dengan orang sakit dan menjadi temannya berarti kamu orang yang sakit


    266. Ibnu Baththah juga menyebutkan bahwa Abu Bakr bin Al Anbary berkata kepada kami, Ubay mengucapkan syair kepada Abul Atahiyah : Siapa lagi yang akan tersamar bagimu jika kamu perhatikan teman dekatnya Dan pemuda dengan wataknya merupakan tanda yang bercahaya di keningnya

    267. Abu Bakr Al Arjaniy berkata dalam syairnya :
    Ketika aku uji manusia aku meminta dari mereka teman yang dapat dipercaya ketika menghadapi kesulitan Kelapangan dan kesulitan memperebutkan keadaanku aku berteriak ke seluruh penjuru adakah yang mau membantu Aku tidak dapati kecuali banyak yang gembira dengan kesulitanku dan aku tidak temukan kecuali banyak yang iri dengan kebahagiaanku


    268. Penyair lain berkata :
    Siapa yang ingin meluaskan pergaulan hendaknya ia bertaqwa dan bersikap lembut
    Menundukkan pandangan dari kejelekan orang yang berbuat jelek dan sabar dengan kejahilan teman


    3 comments


    Follow this section's article RSS flux
    Follow this section's comments RSS flux