• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Terkumpulnya Sifat Takut dan Harap

    Penyejuk Hati

    Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menjelang sakaratul maut (saat menjelang kematian), maka beliau  bertanya kepada pemuda tersebut:

    «كَيْفَ تَجِدُكَ؟». قَالَ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّى أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّى أَخَافُ ذُنُوبِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ  «لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ فِى مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ» رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما.

    “Apa yang kamu rasakan (dalam hatimu) saat ini?”. Dia menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh (saat ini) aku (benar-benar) mengharapkan (rahmat) Allah dan aku (benar-benar) takut akan (siksaan-Nya akibat dari) dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya”[1].

    Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan adanya sifat berharap dan takut kepada Allah secara seimbang dalam diri seorang hamba, sekaligus menunjukkan keutamaan bersangka baik kepada Allah Ta’ala, terutama pada waktu sakit dan saat menjelang kematian[2], sebagaimana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali dalam keadaan dia bersangka baik kepada Allah U”[3].

    Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

    - Dua sifat inilah yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah yang paling mulia di sisi-Nya, para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Allah Ta’ala memuji mereka dalam firman-Nya,

    {إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ}

    Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdoa kepada Kami dengan (perasaan) harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu‘” (QS al-Anbiyaa’:90).

    - Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Yang dimaksud dengan ar-raja’ (berharap) adalah bahwa jika seorang hamba melakukan kesalahan (dosa atau kurang dalam melaksanakan perintah Allah) maka hendaknya dia bersangka baik kepada-Nya dan berharap agar Dia menghgapuskan (mengampuni) dosanya, demikian pula ketika dia melakukan ketaatan (kepada-Nya) dia berharap agar Allah menerimanya. Adapun orang yang bergelimang dalam kemaksiatan kemudian dia berharap Allah tidak menyiksanya (pada hari kiamat) tanpa ada rasa penyesalan dan (kesadaran untuk) meninggalkan perbuatan maksiat (tanpa melakukan taubat yang benar kepada Allah), maka ini adalah orang yang tertipu (oleh setan)” [4].

    - Imam Hasan al-Bashri berkata, “Orang mukmin bersangka baik kepada Rabb-nya (Allah Ta’ala) maka dia pun memperbaiki amal perbuatannya, sedangkan orang orang kafir dan munafik bersangka buruk kepada Allah maka mereka pun memperburuk amal perbuatan mereka” [5].

    - Sebagian dari para ulama menjelaskan bahwa dalam kondisi sehat lebih utama menguatkan sifat al-khauf (takut) daripada ar-raja’ (berharap), agar seseorang tidak mudah lalai dan lebih semangat dalam beramal shaleh. Adapun ketika sakit, apalagi saat menjelang kematian, lebih utama menguatkan sifat ar-raja’ (berharap) untuk menumbuhkan persangkaan baik kepada Allah Ta’ala[6].

    Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA

    Artikel www.muslim.or.id


    [1] HR at-Tirmidzi (no. 983), Ibnu Majah (no. 4261) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1001 dan 1002), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, al-Mundziri dan syaikh al-Albani dalam “Shahihut targiib wat tarhiib” (no. 3383).

    [2] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301), “Shahihut targib wat tarhib” (3/174) dan “Ahkaamul jana-iz (hal. 11).

    [3] HSR Muslim (no. 2877).

    [4] Kitab “Fathul Baari”.

    [5] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/121).

    [6] Lihat kitab “Fathul Baari” (11/301) dan “Faidhul Qadiir” (2/70).


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Menghamba Kepada-Nya

     

    Penyejuk Hati

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

    Allah memiliki berbagai perintah yang wajib ditunaikan oleh para hamba-Nya, memiliki takdir berupa musibah dan ‘aib (maksiat) yang ditetapkan atas para hamba-Nya, memiliki nikmat yang diberikan kepada mereka.

    Ketiga hal ini, yaitu perintah, takdir, dan nikmat memiliki ragam penghambaan kepada-Nya yang wajib ditunaikan setiap hamba. Pribadi yang paling dicintai-Nya adalah yang mampu mengenal berbagai bentuk penghambaan dan mampu menunaikan hak-Nya dalam ketiga kondisi tersebut. Pribadi yang paling jauh dari-Nya adalah pribadi yang tidak tahu bagaimana bentuk penghambaan kepada-Nya dalam ketiga kondisi tadi.

     

    • Bentuk penghambaan terkait perintah-Nya adalah dengan melaksanakannya secara ikhlas dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkait dengan larangan-Nya, yaitu dengan menjauhinya karena takut dan cinta kepada-Nya, karena mengagungkan-Nya.

     

    • Penghambaan kepada-Nya ketika ditimpa musibah adalah dengan bersabar atas musibah tersebut; kemudian ridha, yang tingkatannya lebih tinggi dari bersabar; kemudian bersyukur, yang tingkatannya lebih tinggi dari ridha. Semua itu akan terwujud apabila kecintaan kepada-Nya terhunjam kuat di dalam hati hamba, dan dia tahu bahwa musibah tersebut merupakan pilhan terbaik baginya, bentuk kebaikan dan kelembutan-Nya kepada dirinya, meskipun dia tidak suka terhadap musibah itu.

     

    • Penghambaan kepada-Nya ketika tertimpa kemaksiatan adalah dengan segera bertaubat kepada-Nya, berdiri di hadapan-Nya dalam keadaan memohon ampunan dengan hati yang tercerai berai, karena tahu tidak ada yang mampu menghilangkan ‘aib tersebut melainkan Dia semata, tidak ada yang mampu membendung keburukannya selain diri-Nya. Dirinya tahu, apabila ‘aib tersebut dibiarkan, maka akan menjauhkan dirinya dari berdekat-dekat dengan-Nya, ‘aib tersebut akan melempar dirinya dari pintu-Nya. Dengan demikian, dia melihat ‘aib merupakan bahaya yang tidak dapat disingkap kecuali oleh -Nya, dan dia berkeyakinan bahwa ‘aib (maksiat) tersebut lebih berbahaya daripada penyakit fisik.

     

    Sehingga dia adalah seorang yang meminta perlindungan dengan ridha-Nya dari kemurkaan-Nya, meminta perlindungan dengan pemaafan-Nya dari siksa-Nya, dirinya butuh dan berlindung kepada-Nya.

     

    Dirinya tahu apabila dia terlepas dari perlindungan-Nya, maka kemaksiatan dan aib yang serupa atau bahkan yang lebih buruk akan terjadi. Dirinya tahu tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari belenggu maksiat dan bertaubat dari hal itu, kecuali dengan taufik dan ‘inayah-Nya, semua hal itu berada di tangan-Nya, bukan di tangan hamba.

     

    Dengan demikian, dia adalah seorang yang lemah, tidak berdaya untuk mendatangkan taufik bagi dirinya sendiri, tidak mampu mendatangkan ridha Tuan-nya tanpa izin, kehendak, dan ‘inayah-Nya. Dirinya adalah seorang yang butuh kepada-Nya, hina, miskin, menjatuhkan diri di hadapan-Nya, mengetuk pintu-Nya.

    (Dengan adanya maksiat itu dia memandang dirinya sebagai) orang yang paling rendah dan hina, sehingga dia sangat fakir dan butuh kepada-Nya, dia cinta kepada-Nya.

    (Dia tahu) tidak ada kebaikan pada dirinya, tidak pula kebaikan itu berasal darinya, yang ada adalah seluruh kebaikan adalah milik Allah, berada di tangan-Nya, dengan kehendak-Nya, dan berasal dari-Nya. Dia-lah yang mengatur nikmat, menciptakan, dan memberikan kepada dirinya disertai kebencian-Nya apabila dirinya berpaling, lalai dan bermaksiat kepada-Nya.

    Maka, bagian Allah adalah pujian dan sanjungan, sedangkan bagian hamba adalah celaan, kekurangan, dan ‘aib. Dia memonopoli seluruh pujian dan sanjungan, Dia-lah yang menguasakan berbagai kekurangan dan ‘aib kepada hamba (apabila mendurhakai-Nya). Seluruh pujian hanya untuk-Nya, seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, seluruh keutamaan dan nikmat hanya untuk-Nya.

    Seluruh kebaikan berasal dari-Nya, seluruh keburukan berasal dari hamba. Dia memperlihatkan kasih sayang kepada hamba dengan mencurahkan nikmat kepada mereka, adapun hamba-Nya memperlihatkan kebencian kepada-Nya dengan bermaksiat kepada-Nya. Dia membimbing hamba-Nya, adapun hamba, dia curang kepada-Nya ketika berinteraksi dengan-Nya.

    • Adapun bentuk penghambaan ketika memperoleh nikmat adalah dengan terlebih dahulu mengetahui dan mengakui pada hakekatnya nikmat itu berasal dari-Nya; kemudian berlindung dengan-Nya, jangan sampai terbersit dalam hati tindakan menisbatkan dan menyandarkan nikmat tersebut kepada selain-Nya, meskipun hal itu merupakan sebab terwujudnya nikmat, karena Dia-lah yang menyebabkan dan memberikan pengaruh pada sebab tersebut. Sehingga dari segala sisi nikmat itu hanya berasal dari-Nya; kemudian memuji-Nya atas nikmat yang diberikan, mencintai-Nya atas nikmat tersebut; kemudian bersyukur atas nikmat tersebut dengan menggunakannya untuk ketaatan kepada-Nya.

     

    Bentuk penghambaan yang tertinggi terkait dengan nikmat-Nya adalah memandang banyak nikmat-Nya yang sedikit dan memandang betapa kecil rasa syukur yang dia tunaikan atas nikmat tersebut. Dia meyakini bahwa nikmat tersebut sampai kepada dirinya, dari Tuan-nya, tanpa ada biaya yang dia keluarkan, tanpa ada perantara, dia tahu dirinya tidak berhak atas nikmat tersebut, karena nikmat itu pada hakekatnya hanyalah milik-Nya, bukan milik hamba.

    Maka setiap nikmat bertambah, maka bertambah pulalah ketundukan dan kehinaan diri di hadapan-Nya, bertambah pula sikap tawadhu’ (rendah hati) dan cinta kepada Sang pemberi nikmat. Sehingga setiap kali Allah memperbarui nikmat baginya, maka akan timbul penghambaan, kecintaan, kekhusyu’an, dan kehinaan terhadap-Nya; setiap kali Allah mencabut nikmat itu darinya, maka setiap kali itu pula timbul rasa ridha; setiap kali dia berbuat dosa, dirinya akan segera bertaubat, hatinya tercerai berai di hadapan-Nya, dan meminta maaf kepada-Nya.

    Itulah hamba yang cerdas, adapun hamba yang dungu adalah yang tidak mampu merealisasikan itu semua.

    Waffaqaniyalahu wa iyyakum.

    [Diterjemahkan dari Fawaaidul Fawaaid hal. 46-48]

    Gedong Kuning, Yogyakarta, 20 Rabi’uts Tsani 1431.

    Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Orang Bertakwa Tidak Pernah Merasa Miskin

    Penyejuk Hati

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

    Adapun mengenai firman Allah Ta’ala,

    { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

    Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3). Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah akan menghilangkan bahaya dan memberikan jalan keluar bagi orang yang benar-benar bertakwa pada-Nya. Allah akan mendatangkan padanya berbagai manfaat berupa dimudahkannya rizki. Rizki adalah segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia.

    Rizki yang dimaksud di sini adalah rizki dunia dan rizki akhirat.

    Sebagian orang mengatakan, “Orang yang bertakwa itu tidak pernah merasa fakir sama sekali.” Lalu ada yang bertanya, “Mengapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Karena Allah Ta’ala berfirman:

    { وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا } { وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ }

    Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)”

    Kemudian ada yang bertanya kembali, “Kami menyaksikan sendiri bahwa di antara orang yang bertakwa, ada yang tidak punya apa-apa. Namun memang ada sebagian lagi yang diberi banyak rizki.”

    Jawabannya, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang bertakwa akan diberi rizki dari jalan yang tak terduga. Namun ayat itu tidak menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa tidak diberi rizki. Bahkan setiap makhluk akan diberi rizki sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

    وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

    Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” (QS. Huud: 6). Bahkan hamba yang menerjang yang haram termasuk yang diberi rizki. Orang kafir tetap diberi rizki padahal rizki itu boleh jadi diperoleh dengan cara-cara yang haram, boleh jadi juga dengan cara yang baik, bahkan boleh jadi pula diperoleh dengan susah payah.

    Sedangkan orang yang bertakwa, Allah memberi rizki pada mereka dari jalan yang tidak terduga. Rizkinya tidak mungkin diperoleh dengan cara-cara yang haram, juga tidak mungkin rizki mereka dari yang khobits (yang kotor-kotor).

    Perlu diketahui bahwa orang yang bertakwa tidak mungkin dihalangi dari rizki yang ia butuhkan. Ia hanyalah dihalangi dari materi dunia yang berlebih sebagai rahmat dan kebaikan padanya. Karena boleh jadi diluaskannya rizki malah akan membahayakan dirinya. Sedangkan disempitkannya rizki malah mungkin sebagai rahmat baginya. Namun beda halnya dengan keadaan manusia yang Allah ceritakan,

    { فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ } { وَأَمَّا إذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ } { كُلًّا }

    “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al Fajr: 15-16)

    Senyatanya tidak demikian. Belum tentu orang yang diluaskan rizkinya, ia berarti dimuliakan. Sebaliknya orang yang disempitkan rizkinya, belum tentu ia dihinakan. Bahkan boleh jadi seseorang dilapangkan rizki baginya hanya sebagai istidroj (agar ia semakin terlena dengan maksiatnya).

    Begitu pula boleh jadi seseorang disempitkan rizkinya untuk melindungi dirinya dari bahaya. Sedangkan jika ada orang yang sholih yang disempitkan rizkinya, boleh jadi itu karena sebab dosa-dosa yang ia perbuat sebagaimana sebagian salaf mengatakan,

    إنَّ الْعَبْدَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ

    Seorang hamba boleh jadi terhalang rizki untuknya karena dosa yang ia perbuat.

    Dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ أَكْثَرَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

    Barang siapa yang memperbanyak beristighfar, maka Allah pasti akan selalu memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka-sangka.”[1]

    Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa kebaikan itu akan menghapus kejelekan, istighfar adalah sebab datangnya rizki dan berbagai kenikmatan, sedangkan maksiat adalah sebab datangnya musibah dan berbagai kesulitan. (Kita dapat menyaksikan hal tersebut dalam ayat-ayat berikut ini).

    Allah Ta’ala berfirman,

    الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (1) أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ (2) وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

    Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya” (QS. Huud: 1-3)

     

    فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12)

    Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)

    { وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا } { لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ }

    Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya.” (QS. Al Jin: 16-17)

    وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

    Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96)

    وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

    Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka.” (QS. Al Maidah: 66)

     

    وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

    Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30)

    وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ

    Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS. Hud: 9)

    مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

    Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’: 79)

     

    { فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ } { فَلَوْلَا إذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }

    Kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 42-43)

    Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam kitabnya bahwa Dia akan menguji hamba-Nya dengan kebaikan atau dengan kejelekan. Kebaikan yang dimaksud adalah nikmat dan kejelekan adalah musibah. Ujian ini dimaksudkan agar hamba tersebut teruji sebagai hamba yang bersabar dan bersyukur. Dalam hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَقْضِي اللَّهُ لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدِ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

    Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Allah tidaklah menetapkan bagi seorang mukmin suatu ketentuan melainkan itu baikk baginya. Hal ini tidaklah mungkin kita jumpai kecuali pada seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa suatu bahaya, ia bersabar, maka itu pun baik baginya.

    Demikian penjelasan dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa (16/52-54). Semoga bermanfaat dan dapat sebagai penyejuk hati yang sedang gundah.

    Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

    Panggang-GK, 26 Jumadil Awwal 1431 H (10/05/2010)

    Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Di Mana Air Matamu?

    Penyejuk Hati

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Allah sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi [1633]).

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya;

    [1] seorang pemimpin yang adil,

    [2] seorang pemuda yang tumbuh dalam [ketaatan] beribadah kepada Allah ta’ala,

    [3] seorang lelaki yang hatinya bergantung di masjid,

    [4] dua orang yang saling mencintai karena Allah; mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya,

    [5] seorang lelaki yang diajak oleh seorang perempuan kerkedudukan dan cantik [untuk berzina] akan tetapi dia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah’,

    [6] seorang yang bersedekah secara sembunyi-sumbunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan

    [7] seorang yang mengingat Allah di kala sendirian sehingga kedua matanya mengalirkan air mata (menangis).” (HR. Bukhari [629] dan Muslim [1031]).

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada dua buah mata yang tidak akan tersentuh api neraka; mata yang menangis karena merasa takut kepada Allah, dan mata yang berjaga-jaga di malam hari karena menjaga pertahanan kaum muslimin dalam [jihad] di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi [1639], disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1338]).

    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah selain dua jenis tetesan air dan dua bekas [pada tubuh]; yaitu tetesan air mata karena perasaan takut kepada Allah, dan tetesan darah yang mengalir karena berjuang [berjihad] di jalan Allah. Adapun dua bekas itu adalah; bekas/luka pada tubuh yang terjadi akibat bertempur di jalan Allah dan bekas pada tubuh yang terjadi karena mengerjakan salah satu kewajiban yang diberikan oleh Allah.” (HR. Tirmidzi [1669] disahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Sahih Sunan at-Tirmidzi [1363])

    Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan, “Sungguh, menangis karena takut kepada Allah itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”.

    Ka’ab bin al-Ahbar rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Allah itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”

    Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan; suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku.” Maka kukatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah saya bacakan al-Qur’an kepada anda sementara al-Qur’an itu diturunkan kepada anda?”. Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya aku senang mendengarnya dibaca oleh selain diriku.”

    Maka akupun mulai membacakan kepadanya surat an-Nisaa’. Sampai akhirnya ketika aku telah sampai ayat ini (yang artinya), “Lalu bagaimanakah ketika Kami datangkan saksi bagi setiap umat dan Kami jadikan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’ : 40). Maka beliau berkata, “Cukup, sampai di sini saja.” Lalu aku pun menoleh kepada beliau dan ternyata kedua mata beliau mengalirkan air mata.” (HR. Bukhari [4763] dan Muslim [800]).

    Dari Ubaidullah bin Umair rahimahullah, suatu saat dia pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu’anha, “Kabarkanlah kepada kami tentang sesuatu yang pernah engkau lihat yang paling membuatmu kagum pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”.

    Maka ‘Asiyah pun terdiam lalu mengatakan, “Pada suatu malam, beliau (nabi) berkata, ‘Wahai Aisyah, biarkanlah malam ini aku sendirian untuk beribadah kepada Rabbku.’ Maka aku katakan, ‘Demi Allah, sesungguhnya saya sangat senang dekat dengan anda. Namun saya juga merasa senang apa yang membuat anda senang.’ Aisyah menceritakan, ‘Kemudian beliau bangkit lalu bersuci dan kemudian mengerjakan shalat.’

    Aisyah berkata, ‘Beliau terus menerus menangis sampai-sampai basahlah bagian depan pakaian beliau!’. Aisyah mengatakan, ‘Ketika beliau duduk [dalam shalat] maka beliau masih terus menangis sampai-sampai jenggotnya pun basah oleh air mata!’. Aisyah melanjutkan, ‘Kemudian beliau terus menangis sampai-sampai tanah [tempat beliau shalat] pun menjadi ikut basah [karena tetesan air mata]!”.

    Lalu datanglah Bilal untuk mengumandangkan adzan shalat (Subuh). Ketika dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis, Bilal pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, anda menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosa anda yang telah berlalu maupun yang akan datang?!’.

    Maka Nabi pun menjawab, ‘Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang pandai bersyukur?! Sesungguhnya tadi malam telah turun sebuah ayat kepadaku, sungguh celaka orang yang tidak membacanya dan tidak merenungi kandungannya! Yaitu ayat (yang artinya), “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi….dst sampai selesai” (QS. Ali Imran : 190).” (HR. Ibnu Hiban [2/386] dan selainnya. Disahihkan Syaikh al-Albani dalam Sahih at-Targhib [1468] dan ash-Shahihah [68]).

    Mu’adz radhiyallahu’anhu pun suatu ketika pernah menangis tersedu-sedu. Kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Karena Allah ‘azza wa jalla hanya mencabut dua jenis nyawa. Yang satu akan masuk surga dan satunya akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan aku tidak tahu akan termasuk golongan manakah aku di antara kedua golongan itu?”.

    al-Hasan al-Bashri rahimahullah pun pernah menangis, dan ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Maka beliau menjawab, “Aku khawatir besok Allah akan melemparkan diriku ke dalam neraka dan tidak memperdulikanku lagi.”

    Abu Musa al-Asya’ri radhiyallahu’anhu suatu ketika memberikan khutbah di Bashrah, dan di dalam khutbahnya dia bercerita tentang neraka. Maka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar! Dan pada hari itu orang-orang (yang mendengarkan) pun menangis dengan tangisan yang amat dalam.

    Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menangis pada saat sakitnya [menjelang ajal]. Maka ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?!”. Maka beliau menjawab, “Aku bukan menangis gara-gara dunia kalian [yang akan kutinggalkan] ini. Namun, aku menangis karena jauhnya perjalanan yang akan aku lalui sedangkan bekalku teramat sedikit, sementara bisa jadi nanti sore aku harus mendaki jalan ke surga atau neraka, dan aku tidak tahu akan ke manakah digiring diriku nanti?”.

    Suatu malam al-Hasan al-Bashri rahimahullah terbangun dari tidurnya lalu menangis sampai-sampai tangisannya membuat segenap penghuni rumah kaget dan terbangun. Maka mereka pun bertanya mengenai keadaan dirinya, dia menjawab, “Aku teringat akan sebuah dosaku, maka aku pun menangis.”

    Saya [penyusun artikel] berkata: Kalau al-Hasan al-Bashri saja menangis sedemikian keras karena satu dosa yang diperbuatnya, lalu bagaimanakah lagi dengan orang yang mengingat bahwa jumlah dosanya tidak dapat lagi dihitung dengan jari tangan dan jari kaki? Laa haula wa laa quwwata illa billah!

    Alangkah jauhnya akhlak kita dibandingkan dengan akhlak para salafush shalih? Beginikah seorang salaf, wahai saudaraku? Tidakkah dosamu membuatmu menangis dan bertaubat kepada Rabbmu? “Apakah mereka tidak mau bertaubat kepada Allah dan meminta ampunan kepada-Nya? Sementara Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (lihat QS. al-Maa’idah : 74).

    Aina nahnu min haa’ulaa’i? Aina nahnu min akhlagis salaf? Ya akhi, jadilah salafi sejati!

    Disarikan dari al-Buka’ min Khas-yatillah, asbabuhu wa mawani’uhu wa thuruq tahshilihi, hal. 4-13 karya Abu Thariq Ihsan bin Muhammad bin ‘Ayish al-’Utaibi, tanpa penerbit, berupa file word.

    Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

    Artikel www.muslim.or.id


    1 comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Pribadi Teladan

    Penyejuk Hati

    Banyak kita temukan gambaran mengenai pribadi teladan di dalam untaian ayat-ayat al-Qur’an.

    Di antaranya adalah apa yang digambarkan Allah ta’ala di dalam ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa saja yang mampu mereka persembahkan sementara hati mereka merasa takut; bagaimanakah nasib mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60).

    Inilah gambaran ideal seorang mukmin. Sosok yang mempersembahkan ketaatan dengan sebaik-baiknya. Di saat yang sama, dia juga merasa takut kalau amalannya tidak diterima.

    Sebagaimana yang masyhur dari ucapan Hasan al-Bashri rahimahullah, “Seorang mukmin memadukan antara ihsan -perbuatan baik dalam hal amal- dan rasa takut. Adapun seorang munafik -atau fajir- memadukan antara isa’ah/perbuatan jelek dan perasaan aman -dari hukuman Allah-.” Pribadi semacam ini tak mudah untuk dijumpai, namun bukan berarti tidak ada. Para Sahabat Nabi adalah barisan terdepan dalam mewujudkan keteladanan ini dalam hidup mereka.

    Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.” Padahal, kita semua mengetahui betapa agung kedudukan para Sahabat yang dikatakan oleh sebagian salaf bahwa iman mereka itu laksana gunung.

    Bahkan, sampai-sampai dikatakan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu dalam sebuah riwayat yang disandarkan kepada beliau, “Seandainya iman Abu Bakar [saja] ditimbang dengan iman segenap umat ini -selain para Nabi- niscaya iman Abu Bakar yang lebih berat.” Subhanallah!

    Kebanyakan orang tatkala berhasil melakukan kebaikan terlalu larut dengan rasa gembira karena keberhasilannya. Seolah-olah dirinyalah yang ‘menciptakan’ keberhasilan itu. Sehingga tidak jarang muncul dari lisan atau tingkah lakunya yang mencerminkan perasaan ini. Lupa diri, itulah yang terjadi.

    Fenomena semacam ini sungguh memprihatinkan. Karena perasaan semacam ini akan menyeret pelakunya kepada ujub yang oleh para ulama dimasukkan dalam kategori syirik; sebab orang yang ujub mempersekutukan Allah dengan -kemampuan- dirinya sendiri (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rayyis hafizhahullah dalam salah satu ceramah beliau). Oleh karena itu, kalau kita bandingkan kondisi kita hari ini dengan para salafus shalih dahulu, amatlah jauh! Bagaikan langit dengan [dasar] sumur, begitu kata orang…

    Suatu ketika, Aisyah radhiyallahu’anha -seorang istri Nabi yang sangat cerdas- bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kandungan ayat dalam surat al-Mu’minun di atas, “Apakah mereka itu -yang merasa takut- adalah orang-orang yang suka minum khamr, berzina, atau mencuri?”.

    Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukan, wahai putri ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang suka berpuasa, mengerjakan sholat, dan rajin bersedekah, namun mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka itu tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.” (HR. Tirmidzi, lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu, hal. 17).

    Mereka menyadari bahwa apa yang mereka persembahkan kepada Allah jauh daripada yang semestinya diterima oleh-Nya. Mereka tidak su’udzan kepada Allah, namun su’udzan kepada dirinya sendiri. Bagi mereka semua kebaikan yang mereka lakukan adalah berkat taufik dari-Nya, bukan hasil jerih payah mereka sendiri.

    Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kalaulah Allah menerima amal mereka itu jelas karena kemurahan dari-Nya. Namun, kalau misalnya tidak diterima oleh-Nya, maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan keteledoran diri mereka, sehingga apa yang mereka persembahkan tidak layak untuk-Nya (lihat al-Fawa’id, hal. 36). Demikianlah keadaan orang yang mengenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya. Wallahul musta’aan.

    Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment