• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...

    Bismillaahirrohmaanirrohiim ..

    Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna.

    Taman Hidayah



    Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,

    وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

    “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
    (Qs Al Anbiya’: 35)

     
    Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)

    Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah

    Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

    “Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)

    Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)

    Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,

    مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs  ِAn Nahl: 97)

    Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

    وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

    “Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)

    Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

    Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    وجعلت قرة عيني في الصلاة

    “Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)

    Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)

    Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah

    Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya.

     

    Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

    مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

    “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)

    Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)

    Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.

     

    Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya).

    Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut.

    Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

    وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ

    “Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)

    Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)

    Hikmah cobaan

    Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.

    Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

    أنا عند ظنّ عبدي بي

    “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)

    Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)

    Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:

    [Pertama]

    Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala.

    Oleh karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    “Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)

    [Kedua]

    Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan)

    Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)

    [Ketiga]

    Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya.

    Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل

    “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)

    Penutup

    Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.

    Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau).

    Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan).

    Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

    وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

    Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H

    ***

    Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
    Artikel www.muslim.or.id


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim..

    Ingginnya kita menatap hidup kedepan dengan lebih baik..., semoga dengan mengikuti program berikut memberikan kita jalan untuk memperolehnya insya Allah...

    Dapatkan SMS Bimbingan Islam secara gratis...!

     

    Ketik.............: Bim#nama#kota domisili

    Kirim ke.........: 0812 1000 9451 ( Tarif biasa)

    Contoh..........: Bim#Naureen#Jakarta

     

    Insya Allah saudara/iku akan mendapatkan pesan-pesan bimbingan berisikan wawasan Islami secara rutin dan gratis.

    Ini juga berlaku untuk ikhwah yang berada di luar Indo.

    Semoga bermamfaat ..

    Jazak Allahu Khayran..

    Barak Allahu feekum..

    ===============


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim


    ADAB JANAZAH DAN TA’ZIAH

     

    Penyejuk Hati



    • Ingatlah mati, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan tentang mati, yaitu firman Allah SWT:

    اَللهُ يَتـَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَـوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِـهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا اْلمَـوْتَ وَيـُرْسِلُ اْلأُخْـرَى إِلَى أَجَـلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذلِكَ َلآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْن

    “Allah memegang jiwa (orang) ketika matiَnya dan memegang jiwa orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka dia tahanlah jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”.

    قُلْ يَتَوَفّكُمْ مَلَكُ اْلمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُوْن

    “Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawaَ) mu akan mematikan kamu kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan”.

    حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ تَوَفـَّتْهُ رُسُلُنَا وَهـُمْ لاَ يُفـَرِّطـُوْن

    “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kamiَ, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya”.


    Pada ayat di atas Allah Ta’ala menjelaskan bahwa yang mematikan adalah Allah SWT pada suatu saat, dan pada saat lain adalah para malaikat dan para utusan (berupa malaikat juga). Maka para ulama mengkompromikan tiga ayat di atas dengan mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan, dan para malaikatlah yang merealisasikan perintah tersebut secara langsung, lalu diserahkan kepada para malaikat lain yang membawanya menuju langit, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang panjang. Malaikat tersebut memberikan kabar tentang orang yang paling dicintai Nya dan orang-orang yang paling dibenci Nya.

    • Ibnul Arabi mengatakan: Dari berbagai hadits dapat disimpulkan bahwa mengumumkan orang yang telah mati terbagi dalam tiga kategori:

    Pertama: Memberitahukan keluarga, teman dan orang-orang yang shaleh, perbuatan ini sunnah.

    Kedua: Mengundang orang berpesta untuk berbangga-bangga, perbuatan ini makruh.

    Ketiga: Mengumumkan kematian dengan meratapi orang yang telah meninggal, perbuatan ini diharamkan.

    • Segera dalam menyelenggarkan janazah dan pemakamannya untuk meringankan beban keluarga dan sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka, berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

    أَسْـرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فًخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا إِلَيْهِ وَإِنْ تَكُ سِوَى ذلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ

    “Segerakanlah jenazah tersebut, sebab jika dia shaleh maka kalian telah mensegerakannya kepada kebaikan, namun jika selain itu, maka kalian telah melepaskan beban keburukan dari diri kalian”.

    • Disebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah bahwa termasuk petunjuk Nabi Muhammad SAW tidak menguburkan mayit saat terbit dan terbenamnya matahari, dan tidak pula saat matahari berada di tengah langit, beliau menegaskan bahwa menguburkan mayit pada waktu malam tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan darurat atau demi kemaslahatan yang lebih kuat, hal ini didasarkan pada kesimpulan para ulama setelah mengumpulkan beberapa hadits.

    • Ibnul Qoyyim menyebutkan bahwa diantara tuntunan Rasulullah SAW dalam mengikuti jenazah adalah:
    a. Jika seseorang berjalan, maka hendaklah berada di depan jenazah.
    b. Jika berkendaraan, maka hendaklah berada di belakang jenazah.
    c. Mempercepat jalan dan tidak diperkenankan berjalan dengan pelan.
    d. Tidak mendahului duduk sampai jenazah tersebut diletakkan di atas tanah.

    • Dibolehkan mendahulukan shalat jenazah jika tidak dikhawatirkan habisnya waktu shalat fardhu.

    • Di antara petunjuk Nabi muhammad SAW tentang sifat kubur adalah membuat liang lahad dan memperdalamnya serta memperluas kuburan dari sisi kepala dan kedua kaki mayit.

    • Tidak menangisi mayit dengan suara yang tinggi, meratapinya, menyesali kematiannya, meratapi jasa-jasanya dan merobek-robek kantong baju, berdasarkan sabda Nabi SAW:

    لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَـمَ اْلخُـدُوْدَ وَشَـقَّ الْجُـيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ

    “Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek kantong dan menyeru dengan seruan-seruan jahilyah”.

    • Kesabaran yang bisa mendatangkan pahala (saat ditimpa musibah) adalah kesabaran pada saat pertama kali musibah menimpa, berdasarkan hadits Nabi SAW:

    إِنََّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى

    “Hanya sanya kesabaran tersebut saat pukulan pertama (saat musibah menimpa)”.
    • Menangis di sisi kuburan adalah sikap yang tidak mencerminkan kesabaran, berdasarkan hadits yang menceritakan tentang seorang wanita yang manangis pada sebuah kuburan lalu Rasulullah SAW menegurnya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah”.

    • Dianjurkan mengantarkan janazah sampai jenazah tersebut dikuburkan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

    مَنْ شَهِدَ اْلجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلىَّ عَلَيْهَا فَلَهُ قِيْرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهاَ حَتَّى تُدْفَنَ فَلََهُ قِيْرَاطَانِ قِيْلَ وَمَا اْلقِيْرَاطَانِ؟ قَالَ مِثْلُ اْلجَبَلَيْنِ الْعَظِيْمَينِ

    “Barangsiapa yang menghadiri penyelenggaraan jenazah sampai dishalatkan maka dia akan mendapatkan pahala sebesar satu qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya sampai dimakamkan maka dia mendapat dua qiroth, beliau ditanya: Berapakah dua qiroth tersebut? Rasulullah SAW menjawab: Seperti dua buah gunung yang besar”.

    • Memuji mayit dengan menyebut-nyebut perbuatan dan sifat baiknya dan tidak menyebut keburukannya, berdasarkan sabda Nabi:
    لاَ تَسُـبُّوْا اْلأَمْوَاتَ فَإِنَّـهُمْ قَـدْ أَُفْضُوْا إِلَى مَا قَـدَّمُوْا

    “Janganlah engkau mencaci orang yang telah meninggal sebab mereka telah digiring kepada apa yang telah mereka perbuat”.

    • Memintakan ampun bagi orang yang telah meninggal setelah dikuburkan. Dari Ibnu Umar RA menceritakan bahwa apabila Rasulullah SAW selesai menguburkan janazah, maka beliau berdiri di atas kuburnya kemudian bersabda:

    اِسْـتَغْفِـرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التّثْـبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ
    “Mintakanlah ampun bagi saudaramu dan berdo’alah baginya agar diteguhkan sebab dia sekarang sedang ditanya”.

    • Takziah tidak memiliki hari dan waktu yang khusus, namun disyari’atkan dari sejak kematian seseorang, baik sebelum shalat atau sesudahnya, sebalum dikuburkan atau setelahnya, dan mensegerakannya lebih baik, pada saat musibah tersebut terasa berat. Dan dibolehkan juga setelah tiga hari dari kematian si mayit karena tidak ada dalil yang membatasinya dengan waktu tertentu.

    • Dianjurkan meringankan beban keluarga orang yang telah meninggal dan membuatkan makanan bagi mereka, berdasarkan sabda Nabi :

    اِصـْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَـرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَـدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُـمْ
    “Buatlah makanan bagi kelurga Ja’far sebab telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.

    • Dianjurkan menghibur orang yang tertimpa musibah dan menasehati mereka agar tetap bersabar, seperti mengucapkan perkataan:

    إِنَّ ِللهِ مِا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَئْ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

    “Sesungguhnya hanya bagi Allahlah apa yang diambil -Nya dan bagi -Nya pula apa-apa yang diberikan, dan segala sesuatu di sisi -Nya pada batas yang telah ditentukan maka bersabarlah dan berharaplah pahala dari -Nya”.
    Dan kalimat ini adalah kalimat yang paling baik untuk bertakziah, dan lebih baik dari kalimat yang sering diucapkan oleh sebagian orang:

    أَعْظَمَ اللهُ أًَجْـرَكَ وَأَحْسَـنَ عَزَاءَكَ وَغَـفَرَ لِمَيِّـتِكَ

    “Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepadamu dan menghiburmu dengan kebaikan bagimu serta mengampuni dosa-dosa mayitmu”. Kalimat ini adalah pilihan para ulama dan apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW lebih baik dan utama.

    Dan sebagian ulama pernah menghibur seorang bapak karena anaknya yang kecil telah meninggal dunia dan berkata kepadanya: “Sebagian dirimu telah masuk surga maka berusahalah agar sisa yang lain dari dirimu tidak tertinggal (masuk surga).”

    Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa tidak ada kata-kata takziah yang mereka dengar lebih mengena dan singkat dari kata-kata takziah yang diucapkan oleh Syubaib bin Syaibah kepada Al-Mahdi pada saat kematian anaknya (Yaqutah), dia berkata: Wahai Amirul Mu’minin! Apa yang didapatkan (oleh anakmu) di sisi Allah lebih baik baginya dari dirimu, dan pahala dari Allah lebih baik bagimu dari dirinya, aku berdo’a kepada Allah semoga Dia tidak menjadikanmu sedih dan tidak pula mendatangkan fitnah bagimu, dan Allah memberikan ganjaran karena musibah yang telah menimpamu, menganugrahkan kesabaran bagimu, tidak membuat susah dengan ujian, tidak mencabut nikmat yang telah diberikannya kepadamu, dan (ujian yang) sangat membutuhkan kesabaran adalah kesabaran atas sesuatu yang (diambil) dan tidak ada jalan untuk mengembalikannya.

    • Ibnul Qoyyim rohimhullah menjelaskan bahwa tidak termasuk petunjuk Nabi melaksanakan sholat gaib bagi setiap mayit, beliau menguatkan pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimhullah yang merinci pendapatnya (dalam masalah ini) dengan mengatakan: Jika mayit tersebut telah dishalatkan pada tempat dia meninggal dunia, maka tidak dishalatkan kembali dengan shalat gaib, namun jika tidak maka dia harus dishalatkan dengan shalat gaib”.

    • Bahwa Nabi Muhammad SAW jika dihadapkan dengan seorang yang meninggal dunia untuk meminpin shalat baginya maka beliau bertanya: Apakah dia mempunyai hutang atau tidak?, jika mayit tersebut tidak mempunyai hutang maka beliau shalat untuk mayit tersebut, namun jika mayit tersebut mempunyai hutang maka beliau tidak menshalatkannya dan mengizinkan para shahabatnya untuk menshalatkannya.

    • Ibnul Qoyyim juga menyebutkan perbedaan beberapa riwayat tentang berdiri atau duduknya Nabi untuk suatu jenazah saat jenazah tersebut lewat, dan perbedaan ulama dalam masalah ini. Dan beliau memilih pendapat yang mengatakan bahwa mengerjakannya adalah sunnah dan boleh meninggalkannya.

    • Bersedaqah untuk mayit adalah perbuatan yang disyari’atkan, baik sedeqah tersebut berupa harta atau do’a berdasarkan sabda Nabi:

    إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ انْقَطَـعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَـلاَثٍ: صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَـفَعُ بِهِ أَوْ َولَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
    “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan kedua orang tua nya”.

    • Disyari’atkan berziarah kubur untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, serta berdo’a saat berziarah kubur dengan do’a yang sudah ada dari Rasulullah SAW:

    اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

    (Kesejahteraan bagimu penghuni kubur dari orang-orang mu’minin dan muslimin, dan kami dengan kehendak Allah pasti menyusul kalian, saya mohon kepada Allah bagi kami dan kalian keselamatan”.
    Dan diperbolehkan mengangkat tangan untuk berdo’a dengan tidak menghadap kubur akan tetapi menghadap ka’bah, sebagaimana dianjurkan mengucapkan salam kepada penghuni kubur baik bagi orang yang lewat atau orang yang masuk.

    • Tidak berjalan di antara kubur orang-orang muslimin dengan memakai sandal. Dari Uqbah bin Amir RA berkata: Rasulullah SAW bersabda:

    ِلأَنْ أَمْشِيَ عَلىَ جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أوْ أخَصِْفَ نَعْليِ بِرِجْليِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَمْشِي عَلىَ قَبْرِ مُسْلِمٍ وَمَا أُبَاليِ أَوَسْـطَ اْلقُـبُوْرِ قَضَيْتُ حَاجَتِي أَوْ وَسْـطَ السُّـوْقِ
    “Dan aku berjalan di atas bara api, pedang atau menjahit sandal saya dengan kaki saya lebih aku cintai daripada melewati kubur seorang muslim dan aku tidak menghiraukan apakah aku memenuhi kebutuhanku di tengah kubur atau di tengah pasar”.

    http://www.islamhouse.com/p/227858
    ---------------


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Sisterhood is a beautiful bond between muslimaat.

    Penyejuk Hati

     

    "Help you, one another in al-Birr and at-Taqwaa (virtue, righteousness) but do not help one another in sin and transgression."[Soorah al-Maaidah (5): 2]

    A Good Sister is more than a good friend. She is a companion in this dunya, in this world. She gives naseehah (advice), shares her knowledge, keeps contact with her sisters in Islaam, does ibaadah (worship of Allaah) together with her sisters in Islaam..

    She protects the honour of her sisters in faith, she controls her tongue and does not spread rumours nor talks behind the back of her sisters. She is a trustworthy friend, a beloved sister.


    Sisterhood is a beautiful bond between muslimaat. Simplest way to spread love between us is to spread salaam as Prophet Muhammad, sallallaahu 'alayhi wa sallam, has said,


    "By the One in Whose hand in my soul, you will not enter Paradise until you believe, and you will not believe until you love one another. Shall I not tell you of something that if you do it, you will love one another? Spread salam amongst yourselves." [Muslim]


    He, sallallaahu 'alayhi wa sallam, has also said: "Do not think little of any good deed, even if it is just greeting your brother with a cheerful countenance."[ Sahih Muslim]


    On the authority of Aboo Dharr Jundub ibn Junaadah and Aboo Abdur Rahman Mu'aadh ibn Jabal, on the Messenger of Allah (sallallahu alayhi wa sallam) that he said: "Fear Allah wherever you may be, trail a bad deed with a good deed and it will wipe out, and treat the people with good character" {Tirmidhee}

    posted by Our beloved sister.. : Nawel Al Djazayriah

     


    4 comments
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ....

    Hati Yang Terbaik

    Penyejuk Hati

    Ali radhiallahu ‘anhu berwasiat kepada muridnya, Kumail bin Ziyad,

    يا كميل بن زياد القلوب أوعية فخيرها أوعاها للعلم احفظ ما أقول لك الناس ثلاثة فعالم رباني ومتعلم على سبيل نجاة وهمج رعاع اتباع كل ناعق يميلون مع كل ريح لم يستضيئوا بنور العلم ولم يلجئوا إلى ركن وثيق

    “Wahai Kumail bin Ziyad. Hati manusia itu bagaikan bejana (wadah). Oleh karena itu, hati yang terbaik adalah hati yang paling banyak memuat ilmu. Camkanlah baik-baik apa yang akan kusampaikan kepadamu. Manusia itu terdiri dari 3 kategori, seorang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya. Seorang yang terus mau belajar, dan orang inilah yang berada di atas jalan keselamatan. Orang yang tidak berguna dan gembel, dialah seorang yang mengikuti setiap orang yang bersuara. Oleh karenanya, dia adalah seorang yang tidak punya pendirian karena senantiasa mengikuti kemana arah angin bertiup. Kehidupannya tidak dinaungi oleh cahaya ilmu dan tidak berada pada posisi yang kuat.” (Hilyah al-Auliya 1/70-80).

    Hati yang Terbaik

    Wasiat khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu ini, adalah suatu wasiat yang terkenal di kalangan para ulama yang menjelaskan kategori manusia.

    Setelah beliau menjelaskan bahwa hati manusia itu adalah bagaikan wadah, maka hati yang terbaik adalah hati yang dipenuhi dengan ilmu. Hati yang dipenuhi oleh pemahaman terhadap Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka yang memahami Al Qur-an dan sunnah rasul-Nya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala untuk memperoleh kebaikan sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

    “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037).

    Pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, rasulullah menyebutkan lafadz خيرا yang berarti kebaikan dalam bentuk nakirah (indefinitif) yang didahului oleh kalimat bersyarat sehingga menunjukkan makna yang umum dan luas. Seakan-akan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengatakan, jika Allah menghendaki seluruh kebaikan diberikan kepada seorang, maka Allah hanya akan memberikannya kepada para hamba-Nya yang Dia pahamkan terhadap agama-Nya. Karena seluruh kebaikan hanya Allah berikan bagi orang-orang yang mau mempelajari dan mengkaji agama Allah ta’ala.

    Dari hadits di atas juga, kita dapat memahami bahwasanya mereka yang enggan mempelajari agama Allah ta’a a, maka pada hakikatnya mereka tidak memperoleh kebaikan.

    Oleh karenanya, imam Ibnu Hajr Al Asqalani Asy Syafi’i tatkala menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan,

    مَفْهُوم الْحَدِيث أَنَّ مَنْ لَمْ يَتَفَقَّه فِي الدِّين – أَيْ : يَتَعَلَّم قَوَاعِد الْإِسْلَام وَمَا يَتَّصِل بِهَا مِنْ الْفُرُوع – فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْر

    “Konteks hadits di atas menunjukkan bahwa seorang yang tidak memahami agama, dalam artian tidak mempelajari berbagai prinsip fundamental dalam agama Islam dan berbagai permasalahan cabang yang terkait dengannya, maka sungguh ia diharamkan untuk memperoleh kebaikan” (Fathul Baari 1/165).

    Sang Alim Rabbani

    Kemudian khalifah ’Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu menerangkan bahwasanya manusia terbagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama adalah عالم رباني seorang yang berilmu, mengajarkan, mendakwahkan dan menyebarkan ilmunya. Karena seorang alim rabbani adalah sebagaimana yang diterangkan oleh imam Mujahid rahimahullah ta’ala,

    الرباني الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره

    ”Ar Rabbani adalah seorang yang mengajari manusia hal-hal yang mendasar sebelum mengajari mereka dengan berbagai hal yang rumit.” (Tafsir Al Qurthubi 4/119).

    Maka, seorang rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmunya. Maka dialah seorang yang selayaknya kita ikuti. Dialah seorang yang berilmu dengan ilmu  yang benar yaitu yang berupa Al Qur-an dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ilmu adalah sebagaimana yang dikatakan oleh imam Asy Syafi’i rahimahullah

    كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مُشْغِلَةٌ    إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَ عِلْمَ الْفِقْهِ قِي الدِّيْنِ

    اَلْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا         وَ مَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَسُ الشَّيَاطِيْنَ

    Setiap ilmu selain Al Qur-an akan menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih

    Ilmu adalah sesuatu yang di dalamnya terdapat ungkapan ‘Haddatsana’ (yaitu ilmu yang berdasar kepada wahyu)

    Adapun ilmu selainnya, hal itu hanyalah bisikan syaithan semata (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

    Namun yang patut dicamkan oleh mereka yang berilmu adalah ilmu yang mereka ketahui dan ajarkan kepada manusia selamanya tidak akan bermanfaat hingga mereka mengamalkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مثل العالم الذي يعلم الناس الخير و ينسى نفسه كمثل السراج يضيء للناس و يحرق نفسه

    “Permisalan seorang alim yang mengajari kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya (karena tidak mengamalkan ilmunya) adalah seperti lilin yang menerangi manusia namun justru membakar dirinya sendiri.” (Al Jami’ush Shaghir wa Ziyadatuhu nomor 10770 dengan sanad yang shahih).

    Penuntut Ilmu di Atas Jalan Keselamatan

    Jika kita bukan termasuk kategori yang pertama, maka hendaknya kita menjadi orang yang termasuk dalam kategori kedua, kategori yang beliau katakan sebagai متعلم على سبيل نجاة yaitu seorang yang mau belajar dan orang inilah orang yang berada di atas jalan keselamatan.

    Maka benarlah apa yang beliau katakan, karena sesungguhnya seorang yang terus mau belajar adalah orang yang sedang meniti jalan menuju surga sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

    من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

    “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim nomor 2699).

    Maka seorang yang selalu belajar dan belajar, maka dialah على سبيل نجاة  orang yang berada di atas jalan keselamatan.

    Hamajun Ra-a’ (Gembel yang Tidak Berguna)

    Adapun orang yang selain kedua golongan ini. Maka hal ini adalah sesuatu yang memalukan dan sangat berbahaya.

    Kata beliau mereka ini adalah orang-orang yang gembel dan tidak begitu berguna. Mereka ini adalah orang-orang yang memiliki sifat mengikuti setiap orang yang berkomentar dan mengikuti kemana arah angin bertiup.

    Artinya, siapa saja yang memberikan komentar kepadanya, maka dia akan mengikutinya tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. Orang ini tidak memiliki pendirian, ketegasan sikap karena ia tidak memiliki ilmu. Maka dia adalah seorang yang bingung.

    Maka beliau katakan bahwa orang ini layaknya seperti pohon yang mengikuti kemana arah angin bertiup. Itulah orang-orang yang tidak menjalani kehidupannya dengan cahaya ilmu, dengan cahaya firman Allah dan sabda rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Orang ini adalah orang yang tidak berada dalam posisi yang kokoh dan kuat sehingga ia adalah seorang yang cepat berubah dan tidak memiliki pendirian. Orang yang mengikuti apa saja yang dikatakan oleh orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Maka boleh jadi dan bisa jadi dia celaka dikarenakan hal tersebut.

    Persis seperti kejadian yang terjadi di masa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada seorang yang terlempar dari untanya, maka kepalanya pun terluka. Namun pada malam hari, dia bermimpi sehingga dia memasuki pagi hari dalam kondisi junub.

    Akan tetapi ia tidak tahu bagaimana bersikap dikarenakan minimnya ilmu yang dia miliki. Akhirnya dia pun bertanya kepada orang yang berada di sampng kanan dan di samping kirinya. Apakah ia harus mandi untuk bersuci atau dia diperbolehkan bertayammum karena kepalanya terluka.

    Ternyata dia bertanya kepada orang yang salah, sehingga dia memperoleh jawaban yang salah. Pihak yang ditanyai menyarankan bahwa dia tetap harus mandi karena tidak ada rukhshah (dispensasi) bagi dirinya. Akhirnya orang ini pun mandi, dan ia pun meninggal. Karena ketidaktahuannya tentang suatu hal yang mendasar bagi seorang muslim, yaitu bagaimana cara seorang muslim harus bersuci, kapan dia harus mandi dan bertayammum, akhirnya … keadaan naas pun menimpanya.

    Demikian pula, seorang yang tidak menuntut ilmu agama pada hakekatnya dia bagaikan jasad yang tidak bernyawa. Hal ini dikarenakan ilmu agama adalah nutrisi bagi hati yang menentukan keberlangsungan hidup hati seorang. Seorang yang tidak memahami agamanya, dia layaknya sebuah mayat meski jasadnya hidup. Tidak heran jika al Imam asy Syafi’i rahimahullah sampai mengatakan,

    مَنْ لَمْ يَذُقْ مُرَّ التَّعَلُّمِ سَاعَةً          تَجَرَّعَ ذُلُّ الْجَهْلِ طُوْلَ حَيَاتِهِ

    وَ مَنْ فَاتَهُ التَّعْلِيْمُ وَقْتَ شَبَابِهِ         فَكَبِّرْ عَلَيْهِ أَرْبَعًا لِوَفَاتِهِ

    Barangsiapa yang tidak pernah mencicipi pahitnya belajar

    Maka dia akan meneguk hinanya kebodohan di sepanjang hidupnya

    Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu di masa muda

    Maka bertakbirlah empat kali, karena sungguh dirinya telah wafat (Diwan al Imam asy Syafi’i, Dar al Kutub al ’Ilmiyah).

    Urgensi Menuntut Ilmu Agama

    Wasiat Amir al-Mukminin, Ali radhiallahu anhu di atas pada dasarnya menghasung kita sebagai umat Islam untuk mempelajari agama ini dengan benar, karena diri kita sangatlah butuh akan ilmu agama ini.

    Al Imam Ahmad rahimahullah mengatakan,

    الناس محتاجون إلى العلم قبل الخيز و الماء لأن العلم محتاجون إليه الإنسان في كل ساعة و الخبز و الماء في اليوم مرة أو مرتين

    “Manusia sangat membutuhkan ilmu melebihi kebutuhan terhadap roti dan air, karena ilmu dibutuhkan manusia di setiap saat. Sedangkan roti dan air hanya dibutuhkan manusia sekali atau dua kali” (Al Adab asy Syar’iyyah 2/44-45).

    Faktor yang membuat kita memahami urgensi menuntut ilmu syar’i di saat ini adalah jika kita mengamati realita keagamaan di sekitar kita. Jika kita mau mengamati, betapa banyak pada zaman sekarang orang-orang yang berbicara tentang agama Allah ini tanpa dilandasi dengan ilmu.

    Mantan artis yang baru saja berkubang dengan kemaksiatan, kemudian merubah penampilan sehinga nampak shalih dijadikan ikon keshalihan dan dijadikan tempat bertanya mengenai permasalahan agama.

    Seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama secara formal, tidak memiliki background pendidikan agama, tidak tahu bahasa Arab, tidak menghafal al Qur-an begitupula tidak tahu-menahu mengenai hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai pendapatnya dalam permasalahan agama.

    Sungguh benar apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, beliau telah mensinyalir hal ini akan terjadi dalam sebuah haditsnya,

    سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب ويكذب فيها الصادق ويؤتمن فيها الخائن ويخون فيها الأمين وينطق فيها الرويبضة . قيل وما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه ؛ يتكلم في أمر العامة

    “Akan datang tahun-tahun yang dipenuhi penipuan. Pada saat itu, seorang pendusta justru dibenarkan dan seorang yang jujur malah didustakan. Seorang pengkhianat malah dipercaya dan seorang yang amanah malah dikhianati. Pada saat itu, ar-ruwaibidhah akan angkat bicara. Para sahabat bertanya, “Apa ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Ar-rumwaibidhah adalah seorang yang (pada hakekatnya) dungu, namun berani bicara mengenai urusan umat.” (Ash-Shahihah nomor 1887).

    Begitupula jika kita menyimak firman Allah yang mencela kebodohan seorang terhadap agama-Nya, maka kita akan memahami bahwa setiap muslim dituntut untuk mengetahui perkara agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

    وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (٦)يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ (٧)

    “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (Ar Ruum: 6-7).

    Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

    أي: أكثر الناس ليس لهم علم إلا بالدنيا وأكسابها وشؤونها وما فيها، فهم حذاق أذكياء في تحصيلها ووجوه مكاسبها، وهم غافلون عما ينفعهم في الدار الآخرة، كأن أحدهم مُغَفّل لا ذهن له ولا فكرة

    “Maksudnya kebanyakan manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan tentang dunia dan pergulatan serta kesibukannya, juga segala apa yang di dalamnya. Mereka cukup cerdas untuk mencapai dan menggeluti berbagai kesibukan dunia, tetapi mereka lalai terhadap urusan akhirat dan berbagai hal yang bermanfaat bagi mereka di alam akhirat, seakan-akan seorang dari mereka lalai, tidak berakal dan tidak pula memikirkan (perkara akhiratnya)”

    Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

    >والله لَبَلَغَ من أحدهم بدنياه أنه يقلب الدرهم على ظفره، فيخبرك بوزنه، وما يحسن أن يصلي

    “Demi Allah, seorang dari mereka akan berhasil menggapai dunia, dimana ia bisa membalikkan dirham di atas kukunya, lalu dia mampu memberitahukan anda tentang beratnya. Namun dia tidak becus dalam mengerjakan shalat”

    Dampak dari kebodohan terhadap agama Allah adalah berkurangnya keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang muslim yang ‘alim terhadap perkara agama akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang keridlaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dirinya, dan begitupula ia akan mengetahui berbagai perkara yang dapat mengundang kemurkaan Allah sehingga ia dapat menjauhinya.

    Berbeda halnya dengan seorang muslim yang tidak tahu perkara agama, karena ketidaktahuan dirinya dan sedikitnya ilmu agama yang ia miliki terkadang ia menerjang kemaksiatan, mendahulukan perkara-perkara yang tidak penting, atau rela menjual agamanya demi mendapatkan dunia. Dia tidak mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah, sehingga terkadang orang yang jahil terhadap agama, akan menyembah Allah sekenanya saja, ia tidak terlalu mempedulikan apakah ibadah yang ia lakukan telah diterima oleh Allah.

    Terkadang, dia beranggapan bahwa ibadahnya telah diterima, sehingga dirinya sangat minim untuk menginstropeksi berbagai amalan yang ia lakukan dan mengukurnya dengan barometer syari’at, dengan barometer yang ditetapkan oleh Allah ta’ala. Hal ini dikarenakan barometer yang ada pada dirinya telah terbalik.

    Berdasarkan hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu agama merupakan sumber dari setiap kebaikan, sedangkan kebodohan terhadap agama ini merupakan sumber dari setiap keburukan.

    Jika kita menyimak ayat-ayat Al Qur-an, maka kita pun akan menemukan bahwa berbagai bentuk kesyirikan –yang notabene adalah dosa terbesar- dan kemaksiatan bersumber dari ketidaktahuan seorang terhadap perkara agamanya. Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,

    وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (١٣٨)

    “Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah sesembahan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Rabb)” (Al A’raaf: 138).

    وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤)أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)

    “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)” (An Naml 54-55).

    Coba anda perhatikan kedua ayat di atas, bukankah permintaan Bani Israil kepada nabi Musa ‘alaihis salam agar dibuatkan sesembahan (berhala) dan tindakan homoseks kaum nabi Luth berangkat dari ketidaktahuan mereka terhadap agama? Oleh karenanya, nabi Musa dan Luth menyatakan bahwa mereka adalah kaum yang jahil!

    Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk menuntut ilmu agama. Siapa pun dia, apa pun profesinya wajib menuntut ilmu agama untuk menghadapi dan melepaskan diri dari berbagai fitnah yang akan dia temui di dunia.

    Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan umat beliau yang berjalan di atas sunnah beliau.

    Penulis:Muhammad Nur Ichwan Muslim

    Artikel www.muslim.or.id


    your comment