• Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ..

    “Khauf adalah cemeti Allah yang digunakan untuk meluruskan orang-orang yang lari keluar dari pintu-Nya.”

    Rasa Takut (Khauf)
    Friday, 09 January 2009 22:17 Andi Rahmanto

    Sesungguhnya rasa takut memiliki kedudukan yang tinggi, dan bermanfaat bagi hati. Takut yang dimaksud adalah rasa takut kepada Allah. Perasaan takut kepada Allah merupakan suatu hal yang wajib ada pada diri setiap orang. Allah berfirman, “…karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran; 175).

    Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman, “Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (QS. Al-Baqarah: 40). Dalam surat Al-Maidah, Allah memerintahkan kita agar jangan takut kepada manusia, “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (QS. Al-Maidah: 44).

    Abu Hafsh berkata, “Khauf adalah cemeti Allah yang digunakan untuk meluruskan orang-orang yang lari keluar dari pintu-Nya.” Rasa takut merupakan pembimbing hati manusia agar selalu berada di atas jalan yang lurus. Bila rasa takut telah hilang dari hati seseorang maka ditakutkan mereka akan tersesat. Hal ini sebagaimana perkataan Dzun Nun, “Manusia akan senantiasa diatas jalan yang lurus selama mereka masih tetap memiliki rasa takut. Bila rasa takut telah hilang, maka jalan mereka akan menjadi sesat.”

    Buah Rasa Takut

    Jika rasa takut kepada Allah tertanam kuat di dalam hati seseorang, maka rasa takut itu akan menghalangi seseorang dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah. Abu Utsman berkata, “Rasa takut yang sejati adalah bersikap wara’ dari dosa-dosa, baik yang lahir maupun yang batin.” Perkataan senada juga pernah diucapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Rasa takut yang terpuji adalah yang membentengi Anda dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”

    Orang yang paling takut kepada Allah

    Orang yang paling takut kepada Allah adalah orang yang paling mengetahui dirinya dan Rabb-nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah. Oleh karena itu, aku (adalah) orang yang paling takut di antara kalian kepada-Nya.” (HR. Bukhari-Muslim). Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28).

    Jika pengetahuan semakin sempurna, maka akan berpengaruh terhadap rasa takut yang kemudian akan mempengaruhi hati dan seluruh anggota tubuh. Rasa takut akan membuat anggota tubuh menghentikan perbuatan durhaka dan mendorongnya untuk taat kepada Allah.

    Cara Menggugah Rasa Takut

    Cara untuk menggugah rasa takut dapat ditempuh dengan dua cara, dimana kedudukan yang satu lebih tinggi daripada yang lain.

    Pertama, takut terhadap azab-Nya. Ini merupakan rasa takut yang secara menyeluruh menghinggapi manusia. Rasa takut ini melemah karena iman yang lemah atau kelalaian yang menguat. Untuk menghilangkan kelalaian ini, bisa dilakukan dengan mengingat dan memikirkan siksa di akhirat, serta memperhatikan orang-orang yang takut kepada Allah dan ikut bergaul bersama mereka.

    Kedua, takut kepada Allah. Tingkatan ini merupakan rasa takutnya para ulama. Allah berfirman, “Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri-Nya.” (QS. Ali Imran: 30).

    Ketakutan Para Salafush Shaleh

    Dalam suatu kisah, Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu mendengar sebuah ayat yang dibaca, lalu dia jatuh sakit hingga beberapa hari lamanya. Lalu, suatu hari dia mengambil segenggam tanah, seraya berkata, “Andaikan saja aku menjadi seperti tanah ini. Andaikan saja aku bukan yang diingat. Andaikan saja ibuku tidak pernah melahirkan aku.” Sementara itu, diwajahnya saat itu terlihat dua garis hitam karena banyak menangis.

    Diriwayatkan bahwa jika Abu Bakar sedang mendirikan shalat, maka seakan-akan dia seperti sebatang pohon yang diam tak bergerak karena rasa takutnya kepada Allah.

    Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat ini, aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka. Mereka (sahabat) adalah orang-orang yang kusut dan berdebu, di antara mata mereka seakan-akan ada iring-iringan orang yang mengantar jenazah. Mereka senantiasa sujud dan berdiri kepada Allah, membaca Kitabullah, pergi dengan berjalan kaki dan mengingat Allah. Mereka tampak seperti pohon-pohon yang condong dan bergoyang pada saat angin berhembus kencang. Mereka selalu menangis hingga kain mereka basah. Demi Allah, sepertinya orang-orang pada saat ini sudah (banyak yang) lalai.” Muhammad bin Waqi’ pernah menangis sepanjang malam dan hampir tidak pernah berhenti.

    Jika Umar bin Abdul-Aziz mengingat mati, maka badannya bergetar seperti burung yang
    gemetar, lalu dia menangis, dan air matanya membasahi jenggotnya. Sepanjang malam dia menangis dan seluruh penghuni rumah pun ikut menangis. Fatimah, istrinya bertanya kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis?” Umar bin Abdul-Aziz menjawab, “Aku ingat tempat kembalinya orang-orang dihadapan Allah. Di antara mereka ada yang di surga dan yang lain ada di neraka.” Setelah itu, Umar bin Abdul-Aziz pun pingsan.

    Begitulah gambaran mengenai rasa takut yang hinggap di hati para salafush shaleh. Mereka takut pada Allah, dan takut akibat dari dosa yang mereka lakukan. Dosa akan menyebabkan hati menjadi keras, dan hati yang keras akan sulit untuk menerima hidayah dan nasehat.

    Sebagian salaf menuturkan, “Aku berkata kepada seorang rahib, ‘berilah aku nasehat!’” Rahib berkata, “Jika engkau sanggup, anggaplah dirimu seperti orang yang berada dalam ancaman terkaman binatang buas atau seekor singa. Tentu saja dia akan merasa takut. Namun dia harus bersikap waspada agar dia jangan sampai lalai sehingga singa itu bisa menerkam atau mengigitnya. Badannya gemetar karena takut, “ nasehati aku lagi! Lalu, rahib berkata, “Rasa dahaga itu sudah hilang dengan sedikit air.”

    Apa yang dikatakan rahib itu memang gambaran seseorang yang berada dalam ancaman terkaman singa. Gambaran tersebut merupakan hakikat seorang mukmin. Barangsiapa yang memandang batinnya dengan cahaya mata hatinya, maka dia akan melihatnya seakan-akan hatinya terancam terkaman singa yang ganas, seperti amarah, dengki, iri, takabbur, ujub, dan riya’. Semua sifat ini bisa menerkamnya jika dia lalai.

    Sumber:

    Minhajul Qashidin Jalan-Jalan Orang yang mendapat Petunjuk, Ibnu Qudamah: Pustaka Al-Kautsar. Obat Hati, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah: Darul Haq.

    http://belajarislam.com


    your comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim …..

    “Ilmu akan menghindar dari pemuda yang merasa dirinya tinggi, Seperti aliran air yang selalu menghindari tempat yang tinggi.”

    Kesalahan yang Wajib Dijauhi Penuntut Ilmu
    Sunday, 23 March 2008 07:55 administrator
    Beberapa Kesalahan yang Wajib Dijauhi Penuntut Ilmu

    1. Hasad

    Artinya membenci datangnya nikmat Allah kepada seorang hamba. Dia adalah ketidaksenangan seseorang terhadap nikmat yang Allah berikan kepada orang lain. Maka ini adalah hasad, baik dia mengharap hilangnya nikmat itu atau tetap ada, akan tetapi dia membenci hal itu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dia berkata, “Hasad adalah kebencian seseorang atas nikmat yang Allah berikan kepada orang lain.”

    Setiap jiwa tidak pernah luput dari sifat hasad ini, yakni terkadang dia mendesak kedalam jiwa, tetapi dijelaskan dalam suatu hadits, “Jika engkau hasad maka janganlah engkau zhalim dan jika engkau berprasangka maka janganlah engkau menyelidiki.” Artinya, seorang manusia apabila dia merasakan ada hasad didalam hatinya kepada orang lain maka wajib baginya untuk tidak berbuat zhalim kepada orang itu, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.

    2. Berfatwa Tanpa Ilmu

    Fatwa adalah kedudukan yang agung, pelakunya mencurahkan pikiran untuk menjelaskan apa-apa yang samar bagi umat tentang urusan agama mereka dan membimbing mereka kejalan yang lurus. Oleh karena itu, kedudukan ini tidak bisa disandang kecuali oleh ahlinya. Maka wajib bagi setiap hamba bertakwa kepada Allah Ta’ala agar tidak berbicara kecuali berdasar ilmu. Sesungguhnya diantara kejahatan terbesar adalah jika seseorang mengatakan tentang sesuatu bahwa ini halal padahal dia tidak mengetahui hukum Allah tentang hal itu. Atau berkata tentang sesuatu bahwa ini wajib padahal dia tidak tahu bahwa Allah mewajibkannya. Sesungguhnya ini adalah kejahatan dan adab yang jelek terhadap Allah Ta’ala.

    3. Kibr (sombong)

    Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menafsirkan makna kibr dengan penafsiran yang jelas. Beliau bersabda, “Kibr (sombong) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).

    Termasuk sombong adalah bila seseorang membantah orang yang mengajarinya, baik dengan memperpanjang pembicaraan ataupun dengan adab yang jelek terhadapnya. Termasuk sombong juga menganggap rendah kepada orang yang belajar kepadanya dari kalangan orang yang lebih rendah daripadanya. Sombong bisa menyebabkan seseorang terhindar dari ilmu seperti dalam sebuah bait sya’ir: “Ilmu akan menghindar dari pemuda yang merasa dirinya tinggi, Seperti aliran air yang selalu menghindari tempat yang tinggi.”

    4. Fanatik Terhadap Pendapat dan Madzhab

    Penuntut ilmu wajib menghindari sikap berkelompok sehingga dia mengikatkan kesetiaan (loyalitas) kepada kelompok atau golongan tertentu. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyimpang dari manhaj salaf. Salafush Shalih tidak bergolong-golongan, tetapi mereka satu golongan.

    5. Merasa Mampu (‘Alim) sebelum Layak

    Diantara hal yang wajib dihindari oleh setiap penuntut ilmu adalah merasa dirinya mampu (‘alim) sebelum layak untuk itu, karena apabila dia melakukan hal itu berbarti dia menunjukkan kepada beberapa hal:

    a. Merasa takjub terhadap dirinya sendiri karena dia merasa mampu

    b. Sesungguhnya hal itu menunjukkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan dirinya karena apabila dia merasa mampu seringkali dia terjerumus kedalam suatu perkara yang tidak dia kuasai.

    c. Sesungguhnya apabila dia merasa ‘alim sebelum dia layak, pasti dia akan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu.

    d. Apabila seseorang merasa ‘alim pada umumnya dia tidak mau menerima kebenaran karena dengan kebodohannya dia menyangka bahwa jika dia tunduk pada orang lain -sekalipun orang itu benar-, maka ini menunjukkan bahwa dia tidak berilmu.

    6. Buruk Sangka

    Diantara hal yang wajib dihindari oleh penuntut ilmu adalah berburuk sangka kepada orang lain. Seperti mengatakan, “Dia tidak bershadaqah kecuali karena riya’.” Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka.” (QS. Al-Hujurat: 12)

    Sumber:

    Panduan Lengkap menuntut ilmu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: Pustaka Ibnu Katsir.

    http://belajarislam.com/materi-belajar/panduan-ilmu/147-kesalahan-yang-wajib-dijauhi-penuntut-ilmu

    ==========


    1 comment
  • Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu…
    Bismillaahirrohmaanirrohiim ….

    IKHLAS

    “Beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia adalah riya’.

    Kekayaan seorang hamba sebanding dengan ketaatannya kepada Allah dan kesungguhannya dalam menyambut seruan-Nya. Keikhlasan dalam beramal merupakan pondasi agama. Suatu perbuatan tidak akan sempurna dan membuahkan hasil yang diberkahi kecuali setelah didasari dengan niat dan tujuan yang baik. Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan manusia untuk senantiasa ikhlas. Allah Ta’ala berfirman, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2).

    Demikian juga dengan firmannya, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.’” (QS. Az-Zumar: 11). Jadi, kebaikan suatu amal karena niat yang baik, sedangkan ketulusan niat dikarenakan hati yang baik. Syarat utama diterimanya suatu amalan di sisi Allah adalah ikhlas dan ittiba’.

    Ibnu Mas’ud berkata, “Suatu perkataan dan perbuatan tidak akan bermanfaat kecuali disertai niat (yang ikhlas); sedangkan perkataan, perbuatan, dan niat tersebut tidak akan bermanfaat kecuali kalau ia sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

    Abu Umamah Al-Baahily radiyallahu ‘anhu berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, bagaimana menurutmu jika ada seseorang yang berperang karena mencari pahala sekaligus nama yang harum, pahala apakah yang akan didapatkannya?’ Beliau menjawab, ‘Ia tidak mendapatkan apa-apa.

    ’ Maka orang itu mengulang lagi pertanyaannya sampai tiga kali, sedangkan Rasulullah tetap menjawab, ‘Ia tidak mendapatkan apa-apa.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali jika ia diamalkan ikhlas karena-Nya dan demi mencari keridhaan-Nya.’” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Allah berfirman, ‘Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa beramal dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, niscaya akan Ku-tinggalkan dia bersama sekutunya.’” (HR. Muslim)

    Suatu amalan─betapa pun banyaknya─ jika tidak dilandaskan dengan akidah yang benar hanyalah akan menjerumuskan pelakunya kedalam neraka, Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23).

    KRITERIA IKHLAS

    Kriteria ikhlas ialah apabila niat Anda dalam beramal hanya karena Allah semata bukan yang lain. Bukan karena ingin dilihat atau supaya didengar orang lain. Jadi, Anda beramal bukan karena menunggu-nunggu pujian orang atau khawatir akan celaan mereka.

    Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Adapun ikhlas itu ialah bila Allah memelihara kamu dari keduanya.” Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.’” (QS. Al-An’am: 162).

    DAMPAK DARI SEBUAH KEIKHLASAN

    Jika keikhlasan telah menjadi warna tunggal dari amalan seseorang, terangkatlah kedudukan orang tersebut ketingkat yang tinggi. Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq tidaklah mengungguli kita karena banyaknya shalat dan shiyam, akan tetapi karena keimanan yang tertanam dalam hatinya, dan keikhlasannya kepada Allah.”

    Amalan yang sedikit bila didasari keikhlasan, maka pahalanya akan berlipat ganda, “Barangsiapa bersedekah mesti sebiji kurma dari hasil jerih payah yang halal, niscaya Allah akan menerima dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia membesarkan (pahala) sedekah tersebut bagi pelakunya, seperti seseorang di antara kalian membesarkan anak kudanya hingga sedekah tersebut seperti sebuah gunung yang besar.” (Muttafaq ‘alaih).
    Allah pun kelak akan menaunginya di bawah naungan ‘Arsy-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka di bawah naungan ‘Arsy-Nya…,” lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan di antaranya, “…dan seseorang yang bersedekah dengan suatu sedekah, lalu ia berusaha menutupinya sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih).

    KEBERKAHAN AMAL YANG IKHLAS WALAUPUN SEDIKIT

    Apabila seorang hamba mengikhlaskan niatnya lalu beramal shalih meskipun sedikit, niscaya Allah akan menerima dan melipatgandakan pahalanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sungguh aku melihat seseorang yang berguling-guling dalam Jannah (begitu nikmatnya) karena ia menyingkirkan sebatang pohon yang berada di jalan yang senantiasa mengganggu kaum muslimin yang melaluinya.” (HR. Muslim)

    Simaklah kisah seorang pelacur Bani Israel yang pekerjaannya adalah berzina, tatkalah ia melakukan suatu amalan yang remeh dalam pandangan manusia yaitu memberi minum seekor anjing, kemudian Allah mengampuni dosanya karena itu, padahal ia seorang pelacur. Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Suatu ketika ada seekor anjing yang berputar-putar di sekitar sumur, hampir saja ia mati kehausan. Tatkala pelacur dari Bani Israel melihatnya…maka wanita itu serta merta menanggalkan sepatunya lalu mengambil air dari sumur dengannya, dan memberi minum anjing tersebut, dan Allah pun mengampuninya karena itu.” (Muttafaq ‘alaih).

    MENJADI SEORANG YANG IKHLAS

    Di antara hal-hal yang dapat menimbulkan keikhlasan yaitu:

    1. Do’a

    Hidayah seluruhnya ada ditangan Allah dan hati manusia berada di antara dua dari jari-jemari Allah yang Maha Pengasih. Ia membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, kembalilah kepada Dzat yang seluruh hidayah berada di tangan-Nya, mintalah selalu dari-Nya keikhlasan. Umar bin Khathab senantiasa berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah amalku shalih semuanya, dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu, dan janganlah Engku jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikit pun.”

    2. Menyembunyikan Amal

    Semakin tersembunyi suatu amalan, maka semakin besar pula peluangnya untuk diterima dan semakin kuat pula untuk dilakukan dengan ikhlas. Orang yang benar-benar ikhlas suka untuk menyembunyikan amalnya sebagaimana ia suka untuk menutup-nutupi kejelekkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka di bawah naungan ‘Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya.

    Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang dibesarkan dalam nuansa beribadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terikat dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah; keduanya bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terpandang lalu (menolaknya dan) mengatakan, “Aku takut kepada Allah,” dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu lalu ia berusaha menutupinya sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaih)

    3. Memperhatikan orang-orang yang amalannya lebih baik

    Dalam beramal shalih, berusahalah untuk selalu meneladani para nabi dan orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah, ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).’ Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.” (QS. Al-An’am: 90)
    Dengan membaca biografi orang-orang shalih dari kalangan ulama, ahli ibadah, orang-orang terpandang, dan orang-orang zuhud, hal itu akan berkesan untuk menambah keimanan di dalam hati.

    4. Menumbuhkan sikap khawatir jika amal-amalnya tidak diterima

    Anggap remehlah semua amal yang telah kita lakukan, kemudian berusahalah untuk selalu khawatir jika amal-amal yang telah kita kerjakan tidak diterima. Konon, para salaf sering mengucapkan dalam do’a mereka, “Ya Allah, kami memohon agar Engkau mengaruniai kami amal shalih dan menjaganya.” Di antara bentuk penjagaan tersebut ialah sirnanya sikap kagum dan bangga terhadap amalan pribadi, namun justru rasa khawatirlah yang tersisa kalau-kalau amalnya belum diterima.

    5. Tidak terpengaruh dengan ucapan orang

    Orang yang mendapat taufik ialah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Kalau orang-orang memujinya ketika melakukan suatu kebaikan, maka hal tersebut justru menjadikannya lebih tawadhu’ dan takut kepada Allah. Ia yakin bahwa pujian orang hanyalah ujian belaka baginya. Tidak ada pujian yang bermanfaat dan celaannya yang berbahaya selain dari Allah semata.
    Sumber:

    Langkah Pasti Menuju Bahagia, Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim: Daar An-Naba’

    http://belajarislam.com/materi-belajar/panduan-ilmu/258-ikhlas

    Tags:


    your comment
  • Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
    Bismillahirrahmanirrahiim….

    Salam itu menunjukkan ketawadhu’an seorang muslim, ia juga menunjukkan kecintaan kepada saudaranya yang lain.

    Oleh Abdul Malik al-Qosim

    Segala puji bagi Allah semata dan shalawat serta salam semoga sentiasa dicurahkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang tiada Nabi setelahnya.

    Sesungguhnya salam itu merupakan sunnah terdahulu sejak zaman Nabi Adam ‘alaihi salam sehingga ke hari kiamat, dan salam merupakan ucapan para penghuni syurga, Dan ucapan mereka di dalamnya adalah salam. Salam merupakan sunnah para Nabi, tabiat orang-orang yang bertakwa dan semboyan orang-orang yang suci. Namun, dewasa ini, benar-benar telah terjadi kekejian yang nyata dan perpecahan yang terang di tengah-tengah kaum muslimin! Jikalau engkau melihat mereka, ada saudara semuslim yang melintasi mereka, mereka tidak mengucapkan salam kepadanya. Sebahagian lagi hanya mengucapkan salam hanya kepada orang yang dikenalinya sahaja, bahkan mereka merasa aneh ketika ada orang yang tidak dikenalinya memberi salam kepadanya, mereka mengingkarinya dengan menyatakan “Apakah anda mengenali saya?”.

    Sedangkan yang sedemikian itu merupakan penyelisihan terhadap perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga menyebabkan semakin menjauhnya hati-hati mereka, semakin merebaknya perangai-perangai kasar dan semakin bertambahnya perpecahan. Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah kalian akan masuk syurga sehingga kalian beriman, dan tidaklah kalian dikatakan beriman sehingga kalian saling mencintai. Mahukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian mengamalkannya nescaya kalian akan saling mencintai, iaitu tebarkan salam di antara kalian.” (HR Muslim).

    Di dalam hadits Muttafaq ‘alaihi, ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam bagaimanakah yang baik?” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali mahupun yang tidak engkau kenali.” (Muttafaq ‘alaihi).

    Maka yang demikian ini merupakan suatu anjuran untuk menyebarkan salam di tengah-tengah kaum muslimin, dan bahawasanya salam itu tidaklah terbatas kepada orang yang engkau kenali dan sahabat-sahabatmu sahaja, namun untuk keseluruhan kaum muslimin.

    Adalah Abdullah Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘anhu pergi ke pasar pada pagi hari dan berkata : “Sesungguhnya kami pergi bertolak pada pagi hari adalah untuk menyebarkan salam, maka kami mengucapkan salam kepada siapa saja yang kami jumpai.”

    Salam itu menunjukkan ketawadhu’an seorang muslim, ia juga menunjukkan kecintaan kepada saudaranya yang lain. Salam menggambarkan akan kebersihan hatinya daripada dengki, dendam, kebencian, kesombongan dan rasa memandang rendah kepada orang lain. Salam merupakan hak kaum muslimin antara satu dengan lainnya, ia merupakan sebab tercapainya rasa saling mengenali, bertautnya hati dan bertambahnya rasa kasih sayang serta kecintaan. Ia juga merupakan sebab diperolehnya kebaikan dan sebab untuk seseorang masuk syurga. Menyebarkan salam adalah salah satu bentuk menghidupkan sunnah Mustofa Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

    Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Lima perkara yang wajib bagi seorang muslim ke atas saudaranya, menjawab salam, mendo’akan orang yang bersin, memenuhi undangan, menjenguk orang sakit dan menghantarkan jenazah.” (HR Muslim).

    Wajib bagi sesiapa yang diberi salam menjawab dengan jawapan yang serupa sebagai bentuk ittiba’ terhadap perintah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abi Sa’id Al-Khudriy Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jauhilah oleh duduk-duduk di pinggir jalan!” mereka berkata, “Ya Rasulallah, kami tidak boleh meninggalkan majlis kami ini dan juga bercakap-cakap di dalamnya.” Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau enggan meninggalkannya, maka berilah haknya jalan.” Mereka berkata, “Apakah haknya jalan itu wahai Rasulullah?” menjawab Rasulullah, “Mennundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan, menjawab salam serta amar ma’ruf nahi munkar.” (Muttafaq ‘alaihi).

    Imam Nawawi Rahimahullah berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya memulai salam itu adalah sunnah, dan membalasnya adalah wajib. Jika si pemberi salam itu jumlahnya ramai, maka yang demikian ini merupakan sunnah kifayah ke atas mereka, maksudnya jika sebahagian telah mengucapkan salam bererti mereka telah melaksanakan sunnah salam atas hak keseluruhan mereka. Jika yang diberi salam seorang diri, maka wajib ke atasnya menjawabnya. Jika yang diberi salam ramai, maka menjawabnya adalah fardhu kifayah atas hak mereka, maksudnya jika salah seorang daripada mereka telah menjawabnya maka gugurlah kewajipan bagi yang lainnya. Namun, yang lebih utama adalah memulai memberi salam secara bersama-sama dan menjawabnya dengan bersamaan pula.”

    SIFAT SALAM

    Berkata Imam Nawawi, “Ucapan salam minima dengan perkataan ‘assalamu’alaikum’, jika yang diberi salam seorang diri, maka minima dia mengucapkan ‘assalamu’alaika’, namun adalah lebih utama jika dia mengucapkannya dengan ‘assalamu’alaikum’, kerana kalimat ini mencakupi do’a bagi dirinya dan yang bersamanya (malaikat, pent.). Dan alangkah sempurna lagi dia menambahkan ‘warohmatullahi’ dan ‘wabarokatuh’, walaupun sebenarnya kalimat ‘assalamu’alaikum’ telah mencukupi.”

    MENJAWAB SALAM

    Imam Nawawi berkata, “Adapun cara membalas salam, lebih utama dan lebih sempurna jika mengucapkan ‘wa’alaikum as-Salam wa rohmatullahi wa barokatuh’, dengan menambahkan huruf ‘waw’ (yang mendahului kata ‘alaikum) ataupun tidak menggunakannya (membuangnya), hal ini diperbolehkan namun meninggalkan keutamaan. Adapun meringkaskannya menjadi ‘wa’alaikumus salam’ atau ‘alaikumus salam’ sahaja sudah mencukupi. Sedangkan meringkaskannya menjadi ‘alaikum’ sahaja, menurut kesepakatan ulama’ tidaklah mencukupi, demikian pula dengan ‘wa’alaikum’ sahaja yang diawali dengan huruf ‘waw’.

    TINGKATAN SALAM

    Salam memiliki 3 tingkatan, tingkatan yang paling tinggi, paling sempurna dan paling utama adalah ‘Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh’, kemudian yang lebih rendah daripadanya ucapan ‘assalamu’alaikum warohmatullah’ dan terakhir yang paling rendah adalah ‘assalamu’alaikum’. Seseorang yang mengucapkan salam (Musallim), boleh jadi mendapatkan ganjaran yang sempurna dan boleh jadi mendapatkan ganjaran di bawahnya, sesuai dengan salam yang dia ucapkan.” Hal ini sesuai dengan kisah tentang seorang lelaki yang masuk ke dalam masjid dan saat itu Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya sedang duduk-duduk, berkata lelaki tadi, “Assalamu’alaikum”, maka Nabi menjawab, “wa’alaikumus salam, sepuluh atasmu”, kemudian masuk lelaki lain dan berkata, “Assalamu’alaikum warohmatullah”, Rasulullah menjawab, “Wa’alaikumus Salam warohmatullah, dua puluh atasmu”. Tidak lama kemudian datang lagi seorang lelaki sambil mengucapkan “Assalamu’alaikum warohmaatullahi wabarokatuh”, maka jawab Rasulullah, “Wa’alaikumus Salam warohmatullahi wabarokatuh, tiga puluh atasmu”. (HR Abu Dawud dan Turmudzi), yang dimaksudkan adalah sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kebaikan.

    ADAB-ADAB SALAM

    1. Disunnahkan tatkala bertemu dua jenis orang di jalan, iaitu orang yang berkenderaan supaya memberi salam kepada yang berjalan kaki, yang sedikit kepada yang ramai dan yang muda kepada yang tua. Bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah salam bagi yang berkenderaan kepada pejalan kaki, yang berjalan kaki kepada yang duduk dan yang sedikit kepada yang ramai.” (HR. Muslim).

    2. Sayogiyanya orang yang hendak memberikan salam kepada kaum muslimin dengan mengucapkan salam dan bukan dengan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘selamat datang’ ataupun ‘hello’, hendak dia memulainya dengan salam kemudian baru dia boleh menyambutnya dengan sapaan yang diperbolehkan di dalam Islam.

    3. Disukai bagi seorang muslim yang akan masuk ke rumahnya, mengucapkan salam terlebih dahulu, kerana sesungguhnya berkah itu turun beserta salam, bersabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika engkau hendak masuk ke rumahmu, hendaklah engkau salam, nescaya berkah akan turun kepadamu dan keluargamu.” (HR Turmudzi). “Dan jika tidak ada seorangpun di dalamnya, maka ucapkan, Assalamu’alainaa ‘ibaadillahish shaalihin.” (HR Muslim).

    4. Sayogiyanya mengucapkan salam itu dengan suara yang dapat didengar namun tidak mengganggu orang yang mendengar dan membangunkan orang yang tidur. Dari Miqdad Radhiallahu ‘anhu berkata : “Kami mengangkat untuk Nabi bahagiannya daripada susu, dan beliau tiba saat malam, mengucapkan salam dengan suara yang tidak membangunkan orang yang tidur dan dapat didengar oleh orang yang jaga.” (HR Muslim).

    5. Dianjurkan untuk memberikan salam dan mengulanginya lagi jika terpisah daripada saudaranya, walaupun hanya dipisahkan oleh tembok. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang di antara kalian bertemu dengan saudaranya, hendaklah dia memberinya salam, dan jika terpisah antara keduanya oleh pohon, tembok ataupun batu besar lalu bertemu kembali, hendakla kalian mengucapkan salam lagi kepadanya.” (HR Abu Dawud).

    6. Ramai ulama’ memperbolehkan seorang lelaki mengucapkan salam kepada seorang wanita, dan sebaliknya, selama aman daripada fitnah, sebagaimana seorang wanita mengucapkan salam kepada mahramnya, maka wajib juga atasnya untuk menjawab salam daripada mereka. Demikian halnya seorang laki-laki kepada mahramnya wajib atasnya menjawab salam dari mereka. Jika dia seorang ajnabiyah (wanita bukan mahram), maka tidaklah mengapa mengucapkan salam kepadanya ataupun membalas salamnya jika wanita tersebut yang mengucapkan salam, selama aman daripada fitnah, dengan syarat tanpa bersentuhan tangan/jabat tangan dan mendayu-dayukan suara.

    7. Daripada hal-hal yang tersebar di kalangan manusia adalah menjadikan salam itu berbentuk isyarat atau memberi tanda dengan tangan. Jika seseorang yang mengucapkan salam itu jauh, maka mengucapkan salam sambil memberikan isyarat tidaklah mengapa, selama dia tidak dapat mendengarmu, kerana isyarat ketika itu menjadi penunjuk salam dan tidak ada pengganti selainnya, juga demikian dalam membalasnya.

    8. Dianjurkan bagi orang yang duduk mengucapkan salam ketika dia hendak berdiri di dalam majlisnya. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian mendatangi suatu majlis hendaklah memberi salam, dan jika hendak berdiri seyogiyanya juga memberi salam, dan tidaklah yang pertama itu lebih berhak daripada yang terakhir”. (HR. Abu Dawud)

    9. Disunnahkan berjabat tangan ketika memberi salam dan memberikan tangannya kepada saudaranya. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah bertemu dua orang muslim kemudian berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni dosanya sebelum berpisah”. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).

    10. Menunjukkan wajah yang ceria, bermanis muka dan tersenyum ketika salam. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Senyummu kepada saudaramu itu sedekah”, dan sabdanya pula “Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun hanya bermanis muka terhadap saudaramu”. (HR. Muslim)

    11. Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sentiasa melakukannya, dan yang demikian ini adalah suatu hal yang menggembirakan mereka, menanamkan rasa percaya diri dan menumbuhkan semangat menuntut ilmu di dalam hati mereka.

    12. Tidak diperbolehkan memulai salam kepada orang kafir sebagaimana di dalam sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah mendahului Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, jika engkau menemui salah seorang daripada mereka di jalan, desaklah hingga mereka menepi dari jalan”. (HR. Muslim) dan bersabda pula Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika ahli kitab memberi salam kepadamu maka jawablah dengan wa’alaikum” (mutafaq alaihi).

    Maka hidupkanlah, wahai hamba Allah sunnah yang agung ini di tengah-tengah kaum muslimin agar lebih mempereratkan hati-hati kalian dan menyatukan jiwa-jiwa kalian serta untuk meraih ganjaran dan pahala di sisi Allah. Semoga salam dan shalawat senantiasa tercurahkan atas Nabi, keluarga baginda dan shahabat-shahabat baginda seluruhnya. Amin..


    Mutiara Salafus Shalih:


    your comment
  • As-salámu ‘alaikum wa rahmatul láhi wa barakátuh!”

    Bismillah Ar Rahman Ar Raheem

    People Whom Allah Loves

    Man's love for Allah is all about striving hard to uphold His Deen and obedience to Him, His Messenger or any system or authority that implements His Rule. In return, Allah's love for man is about being Gracious and Beneficent to man and providing him protection from the harmful consequences of his shortcomings or inadvertent mistakes [See, 3:31-32, 5:54, 9:24].

    In the Quran, various types of people are mentioned whom Allah loves, i.e. who get blessed with His special grace, beneficence and protection.

    Allah loves Muhsineen [2:195, 3:134, 3:148, 5:13, 5:93]

    [Those who do good (to others); who spend (benevolently) in the cause of Allah (2:195)

    in favorable as well as in adverse circumstances; who divert and sublimate their anger and potentially virulent emotions to creative energy and become a source of tranquility and comfort to people; who quickly correct any wrong or indecency that has occurred from them, remember Allah, protect themselves from trailing behind in dignity and refrain from willfully persisting in error. [3:134-135];

    who pardon and forbear [5:13];

    who do not spread corruption on earth [7:56];

    who strive hard for Him [29:69]; who establish As-Salaat [remembering Him (20:14, 62:9) all the time (70:23) and at appointed times (4:103, 62:9), and follow His Guidance in all the affairs] and keep the resources, that He has bestowed upon them, open [for the welfare of humanity]. (2:177, 9:44, 39:33, 92:17-20) [31:3-4];

    who are the believing servants of Allah [37:110-111, 37:121-122, 37:131-132]; who sleep but little at night (reflecting on His Commands and on ways to implement His Commands) and heartily seek to be guarded against imperfections (51:16-18)].

    Allah loves Tawwabeen [2:222][Those who turn to rightfulness and recourse much to Him and His Guidance]

    Allah loves Mutahhareen [2:222, 9:108] [Those who keep their bodies free from filth, minds distant from dirty thoughts and conduct clean from unseemly acts]

    Allah loves Muttaqeen [3:76, 9:4, 9:7]

    [Those who guard themselves against evil and preserve themselves from the inevitable harmful consequences for violating Allah's Commands by carefully abiding by His Guidance, not exceeding His Prescribed Limits and not deviating or departing from His Right Path; those who render service and obedience to Him alone (2:21) and observe the prescribed abstinence (2:183-187);

    those who believe in Him, Divine Books, Aakhrat, Malaika, Prophets, and in the existence of the Unseen, that which is beyond the reach of human perception (by the senses) {Allah (21:49, 35:18, 36:11, 50:33, 67:12), Al-Saa’at (16:77, 32:5-6, 34:3, 72:25-26) when every person will get the recompense for that which he strives (20:15), the day of resurrection (27:65-66) and the everlasting paradise (19:61)}(2:3-4, 2:177);

    those who establish As-Salaat [remembering Him (20:14, 62:9) all the time (70:23) and at appointed times (4:103, 62:9), and follow His Guidance in all the affairs] and keep the resources, that He has bestowed upon them, open [for the welfare of humanity]. (2:177, 9:44, 39:33, 92:17-20) [31:3-4];

    those who give from their wealth to family and relatives, orphans, widows to those left helpless in the society, to those whose hard-earned income fails to meet their basic needs, to those whose running businesses have stalled,

    to those who have lost their jobs, to the one whose life has stalled for any reason, to the disabled, the needy wayfarer, son of the street, the homeless, the one who travels to them for assistance, to those who ask for help, and to those whose necks are burdened with any kind of bondage, oppression, crushing debts and extreme hardship of labour [2:177];

     

    those who spend their wealth for their own tazkiya or personal development and not for favour from anyone to be paid back [92:17-20]; those who are true to their promises and covenants whenever they make a promise or covenant [2:177, 8:56, 9:4, 9:7]; those who remain steadfast in physical or emotional distress and in times of peril [2:177];

    those who avoid great sins and fawahish (yet not ascribe purity to themselves) [53:32]; those who promote the truth and believe therein [39:33]; those who remember Allah immediately, when approached by devil [7:201]; those who strive in the way of Allah by their wealth and lives [9:44]; and those who will be in the pure state when Angels come to take their lives [16:31-32]

    Allah loves Sabireen [3:146][

    Those who have capacity to endure hardship, difficulty, or inconvenience with calmness and self-control;

    those who can exhibit tolerance and restraint in the face of provocation;

     

    those who have calm and tranquil state of mind;

    those who can exhibit composure, equanimity, self-constraint, self-control, steadfastness, determination, perseverance and endurance;

    those who steadily adhere to the statutes of Quran; those who maintain constancy with Allah;

    those who show patience, endurance, equanimity and adherence to the Laws of Allah in harm, injury, mischief damage, poverty, bodily affliction, distress, lack of means of subsistence, misfortune, calamity, fear, hunger, a state of pressing want, loss of money, loss of life or loss of fruits of their toil (2:177, 2:155, 22:35);

    those who show patience and endurance in the face of rejection (6:34);

    those who show equanimity and composure when people make them a laughing stock for their True convictions (23:110-111);

    those who show steadfastness and perseverance in seeking their Lord’s Countenance (13:22);

    those who show equanimity and adherence to Allah’s laws when wealth, fortune, plenty or ease comes after poverty, misfortune, scarcity, or hardship (11:9-10);

    those who show patience, calm and tranquillity of mind while waiting for Allah’s judgement and the results of their actions (7:87); and

    those who show self-constraint and self-control in sexual matters (4:25)]

    Allah loves Mutawakkileen [3:159] [Those who put their trust in Allah and His Laws after seeking His Guidance, deliberation, consultation, decision making, resolution and determination]

    Allah loves Muqsiteen [5:42, 49:9, 60:8][Those who act equitably and justly, and judge and make reconciliation among people with equity, fairness and justice]

    Allah loves those who fight in His way against tyranny, injustice, wrongdoings, aggression and transgression, [61:4]

    [Source:http://quranicteachings.co.uk/whom-Allah-loves.htm]

    


    your comment



    Follow articles RSS
    Follow comments' RSS flux